Tujuh puluh lima persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal. Ini berdasarkan pemetaan Kemendikbud terhadap 40 ribu sekolah. Selain itu, nilai rata-rata uji kompetensi guru hanya 44,5. Padahal yang diharapkan adalah 70. Ini merupakan hasil uji kompetensi terhadap 460 ribu guru.
Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesoema mengakui kualitas guru secara akademik masih belum memuaskan. Untuk itu dia meminta pemerintah rajin memberikan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan para guru.
Selain itu pemerintah harus menertibkan lembaga pendidikan guru yang hanya sekedar meluluskan siswanya, tanpa memerhatikan kualitas. Berikut penjelasan Doni Koesoema kepada KBR.
Rata-rata nilai uji kompetensi guru hanya 44,5 dari skala 70 yang diharapkan. Seburuk itukah guru-guru kita?
Ya memang dari hasil uji kompetensi memang itulah kenyataannya. Memang kualitas guru kita secara akademik masih belum memuaskan dan ini memang harus perlu di-upgrade dan ditingkatkan.
Bukan hanya dengan cara menguji terus setiap tahun tetapi pemerintah juga punya kewajiban untuk mengembangkan secara profesional dengan memberikan pelatihan terutama pengayaan metode pengajaran, lalu membereskan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Artinya membereskan tempat dimana guru itu dididik.
Apa sebetulnya yang menyebabkan banyak guru kita yang tidak kompeten?
Ya ini kan pertama karena kita selama hampir 10 tahun ini tidak mengembangkan guru. Jadi kebijakan pendidikan kita tidak memberikan pengembangan kepada guru. Dari berbagai macam pelatihan yang kami lihat banyak guru hampir mau pensiun dia tidak pernah mendapatkan pelatihan.
Pelatihan apa?
Pelatihan untuk pengembangan. Jadi dilatih untuk mengajar biologi, matematika itu tidak dilatih mereka. Jadi dibiarkan saja guru itu berjuang sendiri.
Pelatihan seperti apa yang diinginkan supaya bisa meningkatkan kualitas guru kita?
Jadi yang dibutuhkan guru itu adalah pelatihan pengembangan kapasitas berupa pelatihan metodologi pengajaran. Jadi guru harus dipaparkan dengan berbagai macam metodologi mengajar yang sangat bervariasi, kemudian berbagai macam teknik evaluasi dan penilaian, lalu berbagai macam metode pembelajaran yang sifatnya kolaboratif. Jadi mulai dari cara-caranya juga evaluasi.
Guru-guru itu kan sekarang banyak kerja sendiri-sendiri. Misalkan matematika ada guru senior yang sangat bagus muridnya senang, terus ada guru matematika junior, kenapa tidak berbagi ilmu di dalam lingkungan sekolah. Kemudian di lingkungan satu rayon.
Pak Anies kan bilang guru harus musyawarah guru mata pelajaran harus ditingkatkan dan kepala dinas harus turun melihat apa yang dilakukan di sana. Itu sebenarnya metode terpadu untuk mengembangkan kapasitas yang harus dilakukan dan ini tidak dilakukan.
Kalau melihat angka kompetensi yang muncul tetapi di sisi lain kita masih kekurangan jumlah guru. Bagaimana?
Sebenarnya kalau dilihat dari rasionya itu satu guru mengajar 16-18 anak, kecil. Masalah kita sebetulnya distribusinya yang tidak merata. Karena di kota menumpuk yang di daerah terpencil kekurangan. Jadi sebenarnya kalau dikatakan kekurangan guru sebenarnya tidak, pemerataannya yang kurang. Distribusinya yang tidak jelas karena kebijakan politik banyak mempermainkan profesi guru.
Kenapa pemerataan kurang?
Karena kebijakan pendidikannya tidak memberikan insentif yang bagus untuk prioritas daerah-daerah tertinggal. Jadi modelnya seperti Pak Anies dengan “Indonesia Mengajar” itu sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah ini gagal untuk mendesain sistem pengembangan pemerataan guru di seluruh Indonesia.
Selama masih ada model Indonesia Mengajar atau Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SMP3T) yang dari pemerintah itu berarti pemerintah tidak serius mendesain kepentingan guru yang baik sebagai prioritas di daerah-daerah tertinggal itu.
Menyoroti juga soal kesejahteraan guru, gaji guru di Indonesia rata-rata Rp 34 juta per tahun kalau per bulan Rp 2 juta lebih. Bagaimana?
Memang situasi gaji guru di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Katakanlah yang ada Rp 2 juta per bulan tetapi ada yang di bawah itu masalahnya sehingga jaring keamanan kesejahteraan guru ini tidak diatur oleh pemerintah.
Maka sebenarnya pemerintah harus mengatur ini, membuat regulasi bahwa siapa pun guru yang masuk kelas, berapa pun jam mengajarnya dia harus diberi standar kesejahteraan minimal yang pantas sesuai dengan biaya hidup di daerahnya.
Karena seringkali menghitungnya jam pelajarannya berapa, akhirnya guru-guru honorer ya cuma Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu. Karena itu sistemnya hitung-hitungan bukan sistemnya bahwa ini memanusiakan guru, guru yang seperti ini bagaimana dibantu dengan diberi kesejahteraan yang minimal.
Tentu saja kalau ada kesejahteraan minimal tentu ada kewajiban-kewajiban minimal yang harus dipenuhi dan itu harus didefinisikan dengan jelas supaya tidak membingungkan guru akan tuntutan kewajibannya ketika sudah digaji secara wajar.
Selain diperbanyak pelatihan, kompetensi guru, kesejahteraan apa lagi yang dibutuhkan oleh para guru untuk meningkatkan kualitas?
Sebenarnya guru butuh sebuah sistem yang mendukung kinerja dia. Karena misalkan guru-guru yang sangat kreatif itu akhirnya hanya mengajar untuk meluluskan anak, untuk tes karena sistem evaluasinya Ujian Nasional masih seperti sekarang. Jadi kualitas guru ini juga tergantung dari sistem struktur regulasi yang mengatur kinerja guru, termasuk kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 itu banyak sekali kelemahannya, kalau misalkan Pak Anies bilang guru harus berkualitas, ya itu kurikulum 2013 harus dibereskan. Karena kalau kurikulum 2013 tetap dijalankan percuma dia ngomong peningkatan kualitas guru, guru yang punya motivasi pun akhirnya bisa frustasi gara-gara kurikulum 2013 yang tidak relevan tidak bermakna bagi proses pembelajaran di kelas.
Terlalu berat dan terlalu sentralistis, juga secara fundamental konsep-konsepnya banyak yang keliru. Apalagi yang untuk SD itu akan lebih parah karena komposisi bangunan pengetahuannya akan lemah dengan kurikulum 2013 ini.
Kalau dari FSGI ini apakah juga ada upaya melobi agar para serikat guru bersama-sama mencari jalan keluar kemudian diusulkan kepada pemerintah begini yang kami mau?
‘
Sudah. Jadi pada pertemuan hari Senin tanggal 15 November Ibu Retno sudah diundang untuk diminta masukan, analisis tentang situasi pendidikan dan kurikulum tapi Pak Anies tidak mendengarkan. Bahkan di dalam tim evaluasi yang waktu itu dikatakan ada guru, tidak ada satu pun guru sekarang yang mengevaluasi kurikulum 2013.
Jadi kurikulum 2013 sekarang ini dievaluasi oleh orang-orang birokrat semuanya, dari 12 orang itu hanya 4 orang yang dari luar. Jadi Pak Anies yang mengatakan harus melibatkan publik harusnya dia sendiri yang melaksanakan dalam kementeriannya.
Jangan menyuruh dinas pendidikan untuk melibatkan orang lain tapi di Kemendikbud sendiri tidak direvolusi mentalnya. Pasti kurikulum 2013 akan jalan karena orang-orang lama semua dan kami sudah memberi masukan tapi tergantung diterima atau tidak. FSGI sangat kolaboratif dengan Pak Anies tapi ternyata Pak Anies tidak kolaboratif dengan suara-suara publik, itu yang jadi masalah.
Kalau Anda melihat institusi pendidikan yang mencetak para guru bagaimana? apalagi sekarang banyak yang cenderung komersil?
Bukan hanya komersil tetapi sudah kelebihan jumlah guru. Jadi pemerintah Pak Anies harus mengatur LPTK yang sangat liar berdiri dimana-mana, jumlah LPTK sekarang itu sekitar 300 dan hampir 200 abal-abal semua artinya itu tidak ada kualitasnya, hanya merekrut mahasiswa.
Jumlah mahasiswa sekarang sudah hampir 1 juta yang calon guru, padahal setiap tahun yang pensiun itu rata-rata 65 ribu. Artinya LPTK itu kalau tidak dibereskan dan mereka itu bernafsu merekrut calon-calon guru mereka nanti begitu lulus tidak ada pekerjaan karena tidak ada tempat untuk mereka.
Harusnya Pak Anies merevisi atau mengelola LPTK hanya mereka yang pintar, cerdas dan dipetakan sesuai kebutuhannya. Universitas-universitas harus kerjasama untuk mendesain matematika, biologi, sosial.