Bagikan:

Pencabutan Hak Politik, Hukuman Tambahan untuk Koruptor

KBR68H, Jakarta - Pekan Lalu Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan tuntutan Jaksa penuntut KPK untuk mencabut hak memilih dan dipilih atau hak poliitk bekas petinggi Polri Djoko Susilo.

BERITA

Senin, 23 Des 2013 17:18 WIB

Author

Doddy Rosadi

Pencabutan Hak Politik, Hukuman Tambahan untuk Koruptor

hak politik, dicabut, koruptor

KBR68H, Jakarta - Pekan Lalu Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan tuntutan Jaksa penuntut KPK untuk mencabut hak memilih dan dipilih atau hak poliitk bekas petinggi Polri Djoko Susilo. Dalam putusan tersebut, Pengadilan Tinggi DKI jakarta memperberat vonis Djoko Susilo menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 milyar dan membayar uang pengganti Rp 32 milyar. 


Penahanan ini lebih lama ketimbang vonis pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI jakarta yang menghukum dirinya selama 10 tahun penjara dan denda 500 juta. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menganggap Djoko sebagai pejabat negara yang berlaku tidak amanan sehingga pihaknya perlu menghilangkan hak politiknya.Apakah putusan ini menjadi pemicu hakim lainnya untuk menjerat para koruptor lainnya dengan menghilangkan hak politiknya?


Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai sebenarnya pencabutan hak politik bukanlah merupakan hal yang baru. Tetapi, selama ini hukuman tersebut tidak pernah diterapkan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting mengatakan misalkan saja pada Pasal 10 huruf b angka 1 KUHP sudah mengatur adanya pidana tambahan, pidana tamnbahan itu diantaranya pencabutan hak-hak tertentu dan Pasal 35 KUHP mengatakan hak tertentu itu salah satunya adalah hak memilih dan dipilih, Kemudian UU tindak pidana korupsi juga menyebutkan pidana tambahan selain KUHP terhadap terdakwa kasus korupsi, bisa juga dikenakan pidana tambahan di salah satunya pencabutan hak politik. 


“Jadi ruang di dalam hukum positif kita membuka celah untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi untuk mencabut hak politik tersebut,”ujar Miko saat berbincang di program Reformasi Hukum dan HAM KBR68H dan Tempo TV.


Dia menambahkan akan menjadi persoalan ketika hukuman tambahan ini bisa diterapkan, tetapi apakah hukuman itu menjadi salah satu upaya untuk pemberantasan korupsi. Dia menilai KPK menerapkan hukuman pencabutan hak politik ini lantaran korupsi berada di ruang politik, dilakukan pejabat politik. Sehingga untuk memberantas hal itu untuk mencabut gak politik. Ini seharusnya juga dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian untuk memberantas korupsi. 


“Pencabutan hak politik ini lebih baik jika diterapkan pada kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik. Kalau ancaman pidana dan kasusnya tidak besar tidak usah diterapkan,”Kata Miko.


Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pemberantasan korupsi harus mencakup dua hal yakni, menimbulkan efek jera dan mengembalikkan uang negara sebesar-besarnya. Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan ada beberapa hal yang dilakukan KPK dalam penindakan dalam periode saat ini. Misalkan saja dalam penuntutan, ada penerapan hukuman yang tinggi, penyitaan asset dengan menggunakan UU Tindak pidana pencucian uang dan pencabutan hak politik dan pencabutan jabatan publik.


Tujuan penerapan ini karena masih banyaknya pejabat publik yang telah dihukum dalam kasus korupsi, kembali menjabat dalam posisi-posisi strategis. Diantaranya, kepala dinas dan lain-lain. Hal Ini mengusik hati nurani masyarakat.


“Kalau kita semua di sini sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, maka penanganannya juga harus luar biasa dong. Kalau komitmen ini dibarengi dengan penegak hukum yang lain, saya kira pemberantasan korupsi menimbulkan efek jera. Tidak hanya di kasus DJoko Susilo tetapi di kasus impor sapi kita gunakan,”ujar Johan Budi. 

Penerapan hukuman ini juga sama sekali tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Kata Juru Bicara KPK Johan Budi, penerapan hukuman ini ada di UU. Sehingga KPK hanya menegakkan aturan yang sesuai dengan UU. 


“Saya kira tidak ada ham yang dilanggar yah, ini yang dituntut KPK dalam pasal 18 UU Tipikor itu diaturannya ada. Memang kalau melihat hak-hak asasi manusia, orang ditahan juga kalau diukur dari situ yah melanggar hak asasi manusia, tetapi dia kan melanggar hukum,”kata Johan.


Ini dibenarkan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting. Kata dia, ada beberapa ketentuan yang menyatakan hak asasi seseorang dapat dibatasi dalam beberapa hal tertentu dan syarat yang dipenuhi. Misalkan saja, hak asasi dicabut oleh Hakim atau pemeriksaan pengadilan yang objektif, tidak memihak dan berimbang. Selain itu juga pencabutan hak asasi ini menggunakan jangka waktu. 


Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting berharap semua elemen penegak hukum menerapkan sanksi hukuman tambahan untuk para koruptor agar menerapkan efek jera. Selain itu juga, Jaksa Penuntut menggunakan UU ini agar nantinya Hakim menjatuhkan hukuman yang setimpal. 


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending