Bagikan:

Jateng, Provinsi Pertama yang Menghapus Amplop untuk Wartawan

KBR68H, Jakarta - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo menghapus alokasi dana APBD untuk jurnalis. Juru Bicara Pemprov Jawa Tengah Agus mengatakan langkah ini untuk menjaga independesi wartawan dalam meliput.

BERITA

Selasa, 31 Des 2013 13:37 WIB

Jateng, Provinsi Pertama yang Menghapus Amplop untuk Wartawan

jawa tengah, amplop, wartawan

KBR68H, Jakarta - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo menghapus alokasi dana APBD untuk jurnalis. Juru Bicara Pemprov Jawa Tengah Agus mengatakan langkah ini untuk menjaga independesi wartawan dalam meliput.

“Jadi sejak kepeminpinan pak Ganjar, dia melihat independensi media dalam hal ini pers, di Indonesia ada 4 kekuatan yang harus dihargai, Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan Pers, diharapkan dalam sikap independensi bisa baik,” kata Agus dalam program Pilar Demokrasi KBR68H.

Agus mengatakan, pada kepemimpinan sebelumnya ada dana khusus senilai Rp 400 juta pertahun untuk kegiatan liputan Biro Humas termaksud biaya pengganti transport liputan wartawan. Namun dikoreksi karena ditakutkan akan bias.

“Ada di biaya peliputan sekitar 400 juta pertahun, itu fungsinya membantu transportasi kalau keluar daerah, namun nilai itu tidak untuk wartawan semua,” terangnya.
 
Kata dia dana untuk transport itu akan dialihkan kekegiatan yang bersifat pengembangan profesi wartawan. Semisal lomba penulisan dan karya jurnalistik.

Misalnya Jateng ada masalah peningkatan PHD, itu nanti diberi penyelesaikan masalah dalam bentuk tulisan, nah nanti yang memang diberikan hadiah berupa fasilitas pengembangan kreatifitas profesi wartawan,” terang Agus.
 
Langkah ini disambut  baik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.Koordinator Divisi Etik Profesi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia Willy Pramudya, mengatakan, Jawqa Tengah merupakan Provinis pertama yang menerapkan ini.

“Sepengetahuan kami Jateng pertama, teman-teman yang pro anti amplop mendorong pemerintah daerah dan pusat untuk tidak mengalokasikan APBN untuk wartawan apapun bentuknya,” kata Willy.

Willy mengatakan, pemberian amplop secara terus menerus akan mempengaruhi independensi wartawan dalam menggarap sebuah berita. Karena Kata dia tak ada orang yang memberikan secara cuma-cuma.

“Menerima tangannya di bawah, tidak ada di atas, itu simbol bahwa orang yang memberi pasti ada maksud dan tujuan tidak ada orang yang memberi cuma-cuma,Ketika orang menerima pemberian orang lain secara terus menerus untuk akan mudah dibujuk untuk tidak indepeden,” terang Willy.

Menurut Willy tradisi amplop sudah ada sejak sebelum kemerdekaan. Namun pada saat itu tidak dilandasi untuk keinginan menyogok.
 
“Sudah terjadi 1940 waktu itu tidak dilandasi keingin orang untuk menyogok, tetapi antar kelompok yang ingin memperjuangkan kemerdekaan memberikan fasilitas kepada pemilik media yang memiliki cita-cita kemerdekaan, akhirnya muncul ekses yang tidak memperjuangkan kemerdekaan,” jelas Willy.

Sementara Persatuan Wartawan Indonesia berbeda soal hal ini. Ketua Ketua Umum PWI, Margiono mengatakan justru dana-dana dari pemerintah harus diperbanyak untuk memperkuat profesionalitas wartawan.

“Dihapuskan gimana kita mala memperbanyak peluang kerja sama yang tidak mengikat untuk mengikat profesionalisme wartawan,kita tidak punya dana untuk meningkatkan profesionalisme, jadi bukan dihentikan, justru diperbanyak,” kata Margiono.

Margiono mengatakan anggran dana itu bisa dialokasikan untuk membuat pelatihan jurnalisti terhadap wartawan.

“saya kira itu pikiran sempit jika independensi wartawan dijaga tidak dengan dana anggaran negara, justru anggaran negara memperbayak pendidikan wartawan justru supaya untuk memperkuat,” terangnya

Menurut Margiono negara tidak serius memikirkan nasib wartawan. Itu dilihat dari kecilnya anggaran untuk pengembangan jurnalistik.

“Pers dianggap pilar keempat tetapi negara tidak pernah serius terhadap mengembang dan penguatan pers, anggaran tidak ada, kecil sekali dewan pers diberikan anggaran 17 miliar,” jelasnya. 

Menurutnya Dana ini tak seharusnya ditolak. Namun bisa ditolak jika dana tersebut digunakan untuk kepentingan wartawan sehingga tidak independen.

Justru kita perlu banyak misalnya untuk Uji Kopetensi wartawan UKJ kita baru mampu 6 ribu padahal ada 100 ribu, kalau kita tidak melakukan kerja untuk melakukan penguatan kualitas wartawan, lama untuk ditingkatkan,” terang Margiono.

Menurut Willy pengembangan potensi wartawan tidak dari kas instansi pemerintahan. Karena menurutnya itu menjadi tanggungjawab perusahaan pers.

“karena itu juga dapat mengganggu independensi juga, tidak ada hal yang gratis yang diberikan, kita harus jauh dari hal itu,” terang Willy.

Editor: Doddy Rosadi

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending