KBR68H, Jakarta - Pembongkaran vila liar di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, akhirnya terlaksana juga pada pekan lalu. Namun, warga setempat menilai pembongkaran dilakukan dengan tebang pilih. Misalnya saja, vila milik tujuh jenderal di Kecamatan Cisarua, salah satunya milik bekas Wakil Presiden Try Sutrisno masih tetap berdiri kokoh. Ini menjadi salah satu masalah dalam proses pembongkaran vila selama ini. Mengapa masalah ini tak kunjung terselesaikan? Simak perjelasan Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna kepada Agus Lukman dan Rumondang Nainggolan dalam Sarapan Pagi KBR68H, Selasa (10/12).
Rencana pembongkaran vila liar di kawasan Puncak ini sudah didengungkan sejak bertahun-tahun lalu tapi sampai sekarang tidak beres, masalahnya apa kira-kira?
Memang ada orang yang dalam konteks berani melawan undang-undang. Jelas Undang-undang Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 sudah menegaskan, siapa yang membangun tidak sesuai dengan tata ruang bisa dikenai sanksi. Yang menjadi pertanyaan mungkin karena atas nama kekuasaan kita harus akui penegakan hukum itu adalah masalah utama di dalam menjalankan segala bentuk penegakannya.
Berdasarkan hasil diskusi yang pernah kami lakukan terkait penertiban di kawasan Puncak, hampir 90 persen upaya penegakan aturan itu terkendala karena intervensi. Disinilah bentuk intervensi atas nama kekuasaan, atas nama petinggi, atas nama pejabat atau siapapun yang merasa lebih tinggi dari undang-undang itu akar persoalan di kita. Di kita ini yang menjadi masalah undang-undang bisa dibuat, aturan bisa dibuat tapi masih ada orang yang merasa lebih tinggi dari undang-undang itu yang luar biasa.
Selain dari vila tujuh petinggi tersebut setahu Anda itu ada berapa banyak vila lagi atau berapa titik lokasi vila liar yang harus ditertibkan di kawasan Puncak?
Penertiban itu dilakukan jika peruntukan atau kegiatan pembangunannya dilakukan di kawasan yang dilarang diizinkan untuk kegiatan-kegiatan yang terkait kegiatan budi daya artinya kegiatan sosial, ekonomi, dan sebagainya yaitu di atas kawasan lindung dan di atas tanah negara. Kecuali di atas tanah negara itu ada kegiatan hak pengelolaan yang mungkin mendapatkan rekomendasi untuk dimanfaatkan seperti misalnya kebun teh.
Yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa di kawasan lindung atau di atas tanah negara itu bisa berdiri bangunan tanpa izin. Memang inilah persoalan di kita, karena bukan masalah tata ruangnya saja tapi masalah sertifikasi tanahnya mengapa bisa ada keluar sertifikat atau surat-surat lain yang menyatakan tanah itu bisa dimanfaatkan.
Kalau toh ada sertifikat mestinya bisa dibatalkan atas undang-undang ya?
Inilah menjadi masalahnya. Di sana itu ada namanya tanah garapan, tanah garapan digarap oleh masyarakat, masyarakat meminta surat keterangan dari desa bahwa tanah ini digarap untuk pertanian usaha dan lainnya. Surat garapan itu saya dengar katanya diajukan ke BPN untuk mendapatkan namanya Sertifikat Hak Guna Pakai yang lamanya hanya 10 tahun. Itu sebetulnya bukan hak milik tapi atas nama surat itulah terjadi transaksi jual beli.
Disinilah yang menjadi masalah, seharusnya di lahan-lahan garapan tanah negara itu harus hati-hati mengeluarkan surat. Karena dalam faktanya penyebab terbesar terjadinya penyimpangan itu karena masalah pengawasan. Jadi harus diakui tindakan penertiban yang terjadi sekarang, misalnya ada tiga ratus sekian vila lagi yang harus dibongkar.
Itu tadinya niat dari Pemprov DKI Jakarta akan membeli tanah di puncak itu, tetapi atas saran Pemkab Bogor mengatakan tidak bakalan cukup uang kalau dikasihkan ke Pak Ahok untuk beli tanah di sana. Mendingan Pemprov DKI Jakarta membantu dana operasional bagi Satpol PP untuk melakukan penertiban. Akhirnya dibantu dengan anggaran Rp 2,1 miliar untuk menindak dan menertibkan semua vila-vila liar.
Katanya Rp 5 miliar ya?
Iya itu hibahnya Rp 5 miliar tapi Rp 2,1 miliar itu dipergunakan untuk tindakan operasional menertibkan vila itu. Tapi fakta di lapangan inilah yang menjadi kenyataan banyak orang-orang suruhan, orang-orang tidak jelas dari mana dipergunakan untuk melawan petugas. Akhirnya yang terjadi ada benturan, menurut saya harus ditindak yang seperti ini.
Siapa yang menindak dan siapa yang harus ditindak?
Sebetulnya atas nama Undang-undang tidak ada yang kebal hukum di kita. Laporkan saja pejabat yang bersangkutan kan ada KPK, kalau misalnya ada siapapun yang memberikan izin apa dasar pemberian izin apakah ada gratifikasi di dalamnya.
Karena di dalam tata ruang itu ada korupsi tata ruang dalam bentuk adanya pemberian semacam hadiah atau apapun sehingga izinnya bisa dikeluarkan atau sebetulnya tidak ada izin disitu. Yang menjadi pertanyaan mengapa atas nama kekuasaan sudah ada undang-undang masih banyak orang melanggar hukum, di kita ini lucu.
Kalau misalnya pembongkaran vila ini terhambat sebaiknya orang yang memberi izin atau si pemilik ini segera diproses hukum dulu saja?
Harus. Karena kita punya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), jika indikasi disebutkan sudah ada bukti-bukti tinggal laporkan ke pihak kepolisian. Tinggal bagaimana pihak kepolisian ini berani tidak menindak jenderal-jenderal atau di internal mereka sendiri, ibaratnya “jeruk makan jeruk” itu agak berat. Apalagi apakah PPNS itu berani melakukan tindakan, inilah intervensi yang agak memberatkan. Sekarang tinggal keberanian saja atas nama hukum, atas usulan berani tidak.
Bongkar Vila Puncak, Pengamat: Tinggal Keberanian Saja
Pembongkaran vila liar di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, akhirnya terlaksana juga pada pekan lalu. Namun, warga setempat menilai pembongkaran dilakukan dengan tebang pilih. Misalnya saja, vila milik tujuh jenderal di Kecamatan Cisarua, salah satunya m

BERITA
Selasa, 10 Des 2013 14:00 WIB


Vila Puncak, Bogor, Keberanian
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai