KBR68H, Jakarta - Sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Kekerasan seksual tersebut terjadi baik di lingkungan rumah, di tengah-tengah masyarakat maupun dilakukan oleh aparat negara.
Eksploitasi seksual dan pelecehan seksual adalah 2 dari 15 jenis kekerasan seksual yang dialami perempuan Indonesia. Kenapa angka kekerasan seksual tinggi? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Rumondang Nainggolan dengan Komisioner Komnas Perempuan, Arimbi Heroepoetri dalam program Sarapan Pagi.
Selama 2013 anda punya catatan seberapa banyak kasus yang terselesaikan?
Jadi setiap tahun memang Komnas Perempuan menjalankan 16 hari kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang dimulai 25 November sampai dengan 10 Desember. Itu sebenarnya memang untuk meningkatkan kesadaran mengenai isu kekerasan terhadap perempuan. Bahwa setiap tahun Komnas Perempuan membuat catatan perempuan mengenai kekerasan terhadap perempuan iya. Tapi kalau catatan tahunan itu adalah memantau kasus-kasus yang terselesaikan yang dilaporkan oleh mitra Komnas Perempuan. Tahun 2013 belum jalan pemantauan itu karena dia akan selesai nanti bulan Februari. Jadi kalau ditanya mungkin punya data dari tahun lalu, tapi beberapa kasus yang masuk yang diselesaikan oleh mitra seperti polisi, pengadilan negeri, pengadilan agama, lembaga pemantau lainnya itu sekitar 14 ribu kasus yang terpantau. Tapi kami tidak fokus pada jumlah, karena kita tahu pelaporan kasus yang diselesaikan itu sukarela, mereka mau sharing informasinya silahkan kalau tidak ya tidak apa-apa. Kalau jumlah itu semakin lama semakin meningkat bukan berarti kekerasan terhadap perempuan semakin lama semakin banyak tapi lebih dari keinginan untuk berbagi informasi semakin ada dan sistem pendokumentasian di berbagai macam lembaga layanan semakin baik.
Banyak anggapan masyarakat bahwa perempuan sebagai korban kekerasan masih enggan untuk melapor ke aparat hukum, karena sanksi yang kurang menimbulkan efek jera bagi pelaku. Anda melihat masih terjadi hingga tahun-tahun terakhir ini?
Itu masih ya karena memang masalahnya budaya penyangkalan masih banyak dan jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan cukup banyak dan bervariasi. Tidak semua itu diatur oleh hukum, artinya ada bagian-bagian yang masih kontroversi yang masyarakat menganggap itu tidak kekerasan terhadap perempuan tapi Komnas Perempuan bilang itu kekerasan terhadap perempuan. Kenapa juga korban masih enggan untuk melaporkan karena memang kekerasan yang dialaminya itu biasanya kategorinya adalah aib, kalau aib ada pandangan yang masih kuat di masyarakat tidak boleh dibuka.
Dari pantauan-pantauan selama ini apakah anda melihat Undang-undang kita ini belum cukup kuat untuk menjerat para pelaku dan perlu direvisi?
Misalnya kalau Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita misalnya hanya mengenal dua jenis, misalnya perkosaan dan pencabulan. Perkosaan pun misalnya itu definisinya adalah penetrasi tapi tidak melihat serangan pada tubuh ataupun yang merendahkan martabat seseorang, itu tidak masuk. Komnas Perempuan misalnya mengenali setidaknya ada 15 jenis kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia.
Yang terakomodasi di Undang-undang cuma ada dua itu saja?
Di KUHP itu dan juga mungkin di Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ada juga. Tapi misalnya yang kontroversi soal pelarangan busana tertentu terhadap perempuan, bagi kami itu kekerasan juga tapi tidak ada aturannya. Kemudian misalnya aborsi paksa yang terjadi karena orang-orang yang dianggap tidak boleh melahirkan seperti penyandang HIV, disabilitas latar belakang penyakit mental itu juga aturannya belum jelas. Kontroversi lebih lanjut sunat perempuan misalnya, Komnas Perempuan sudah menyatakan itu kekerasan terhadap perempuan tapi banyak anggapan masyarakat itu kewajiban bagi perempuan untuk menjalankan lsunatnya.
Terkait busana perempuan tadi kerap kali perempuan dijadikan objek penyebab masalah, misalnya aparat penegak hukum mengatakan bahwa pemerkosaan terjadi karena anda memakai busana yang tidak etis. Komentar anda?
Itu menurut kami cara pandang yang salah. Seseorang mengalammi pemerkosaan bukan karena busananya, saya kira testimoni dari aparat kepolisian kasus-kasus yang masuk ke kita pemerkosa misalnya orang yang dikenal dan tidak ada hubungannya dengan busana. Sebenarnya itu yang melatarbelakangi kenapa kita punya Undang-undang KDRT karena kekerasan terhadap perempuan itu tidak ada hubungan dengan pakaian, sekolah atau tidak sekolah, kaya atau miskin siapapun bisa mengalami itu. Sehingga Komnas Perempuan selalu tekankan ini bukan soal busana, bukan soal kaya miskin, cantik atau jelek, tua atau muda tapi relasi kekuasaan. Ketika bicara relasi kekuasaan memang itu menjadi perdebatan panjang, karena pemahaman mengenai itu belum cukup lama terbangun di masyarakat kita.
Anda melihat tidak semua kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan diakomodasi di Undang-undang, apakah ada usulan misalnya rencana aksi perbaikan terhadap peraturan hukum kita?
Salah satu yang Komnas Perempuan gagas dan usulkan harusnya ada Undang-undang mengenai kekerasan seksual. Pertama mengakomodir jenis-jenis kekerasan yang ditemukan Komnas Perempuan itu, kemudian membangun sistem hukum yang membuat jera pelaku dan juga harusnya ada sistem pemulihan bagi korban. Sistem hukum kita misalnya kalaupun KUHP kita punya penghukuman bagi pelaku kekerasan tetapi kita tidak punya sistem hukum maupun sistem sosial bagi korban kekerasan. Jadi bisa saja pelaku dihukum 15 tahun tapi korbannya tidak ada rehabilitasi, tidak ada pemulihan dan dia menghadapi trauma seumur hidup tanpa pendampingan atau perlindungan siapapun.
Ada usulan kira-kira korban ini perlu apa?
Usulan kami Rancangan Undang-undang kekerasan seksual itu pertama mengakui bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang sebagian besar belum terakomodir dalam Undang-undang yang ada. Kedua memberi efek jera kepada pelaku, ketiga rehabilitasi kepada korban. Rehabilitasi dan pemulihan itu tentu saja berbeda, karena trauma yang dialami korban satu dengan yang lain berbeda. Misalnya ada korban merasa kalau pelakunya dihukum dia akan terpulihkan, ada yang merasa kalau dapat bantuan sosial untuk menghidupi dirinya dan anaknya lahir sudah cukup terpulihkan. Bagi kami sebenarnya pada saat yang sama trauma healing terhadap korban-korban kekerasan itupun harusnya juga terbangun. Yang penting ada koridor hukum pemulihan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan.
Desakan-desakan beberapa poin yang anda katakan sudah disampaikan ke DPR atau dalam waktu dekat akan disampaikan?
Level kami terus terang masih dalam sosialisasi. Jadi harapan kita tahun depan ada semacam naskah akademis, kampanye kita soal kekerasan terhadap kekerasan seksual baru kami mulai tahun 2010 jadi ada waktu lima tahun kita kampanye dan tahun 2014 ada naskah akademis. Karena bagi kami bukan sekadar ada Undang-undang tapi bagaimana masyarakat umum termasuk para pengambil keputusan dan kebijaksanaan paham substansi Rancangan Undang-undang itu.
Di Komisi VIII ini apakah ada beberapa tokoh kunci yang siap mendukung?
Seharusnya. Karena kita sebenarnya punya kontak dengan teman-teman DPR, tapi lagi-lagi memang sosialisasi dan pemahaman kekerasan seksual masih kontroversi dan bagi kita itu memang sesuatu harus kita sebagai bangsa mengambil keputusan terhadap isu-isu ini.
Ada 15 Jenis Kekerasan yang Dialami Perempuan di Indonesia
KBR68H, Jakarta - Sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Kekerasan seksual tersebut terjadi baik di lingkungan rumah, di tengah-tengah masyarakat maupun dilakukan oleh aparat negara.

BERITA
Selasa, 03 Des 2013 10:10 WIB


kekerasan, perempuan, indonesiaa
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai