KBR68H- Aksi teror masih berlanjut di Poso, Sulawesi Tengah. Kasus terbaru adalah tewasnya tiga polisi dari kesatuan brimob ditembak gerombolan tidak dikenal saat sedang berpatroli di wilayah Desa Tambaran, Poso Pesisir, Sulawesi Tengah, kemarin. Polisi menduga kelompok penyerang adalah anak buah dari buron teroris bernama Santoso. Santoso merupakan buron kasus terror nomor satu dan namanya selalu muncul dalam kasus terorisme. Ia merupakan bagian dari jaringan Abu Tholut yang diyakini polisi sebagai panglima Jaringan Jamaah Anshorut Tauhid. Bagaimana jaringan teroris ini bekerja? Simak ulasan Direktur Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, dalam perbicangan berikut.
Anda sempat menyatakan kalau ini merupakan kelompok lama, tapi khusus untuk di Poso sendiri dugaannya kemana?
Saya mencatat, bahwa ketika operasi-operasi yang dilancarkan polisi sejak bulan September-Oktober kemarin belum tuntas. Maka kemungkinan besar, kelompok yang melakukan aksi kekerasan di sana adalah bagian dari kelompok Santoso dan kawan-kawan yang memang punya kecenderungan untuk selalu menggunakan kesempatan yang mereka punya sekecil apapun untuk bagaimana tetap eksis dan melakukan penyerangan terhadap polisi yang dianggap musuh utama pada saat ini.
Jadi ini bagian dari konsekuensi yang harus dihadapi oleh kepolisian, terutama ketika ada kegagalan operasi atau belum tuntasnya suatu operasi. Ini hampir sama dengan ketika ada buronan dalam sebuah kasus terorisme, biasanya buronannya berhasil kabur dan biasanya berhasil melakukan proses penyusunan kembali kekuatan, melakukan rekrutmen baru dan seterusnya ini yang perlu diwaspadai.
Kalau Santoso ini dekat dengan kelompok siapa?
Santoso sebetulnya orang Jawa yang ada di sana. Dia bagian dari anak transmigran yang menderita ketika konflik terjadi 10 tahun yang lalu, saya kira pernah dekat dengan kalangan JI pada masa lalu. Tapi sekarang dikabarkan punya kedekatan khusus dengan Ansharut Tauhid, meskipun secara formal Ansharut Tauhid membantahnya. Tetapi seperti kelompok JAT ini tidak terlalu signifikan, karena kemudian mereka Santoso dan teman-temannya berada dalam garis ideologi yang lebih radikal dan lebih militan ketimbang kelompok JAT, ini lintas kelompok.
Peserta pelatihan yang pernah diadakan beberapa waktu lalu terutama di 2011 itu berasal dari beragam kelompok dan sebagian besar didominasi oleh orang-orang atau anak-anak muda yang berasal dari luar Poso, terutama Jawa dan Bima. Masyarakat setempat saya kira tidak terlalu banyak karena mereka punya trauma tersendiri terhadap Poso, agar tidak terjadi konflik lagi dan anak muda setempat sudah kenyang menghadapi konflik jadi tidak mudah terpancing tawaran-tawaran kekerasan.
Dari catatan Anda, Santoso perannya seberapa penting dalam setiap aksi terorisme?
Kalau di luar Poso saya belum melihat seberapa signifikan peran Santoso. Tapi untuk di konteks Poso sendiri, dia menjadi tokoh sentral karena pelatihan bersenjata yang pernah diadakan. Jadi disamping sebagai ideolog, dia juga menjadi komandan dan manajer pelatihan bersenjata itu sendiri.
Perannya lebih lokal, meskipun ada beberapa konektor dari peserta pelatihan itu katakanlah kelompok Depok, kelompok di Solo, dan kelompok di Medan pada tahun lalu itu lebih karena jaringan individu dan mungkin hubungan kerjasama saling menguntungkan. Tapi peran Santoso di kelompok-kelompok lain tidak terlalu kelihatan, kecuali pada kelompoknya sendiri yang berbasis di Poso.
Anda menyebut ideologinya lebih radikal, maksudnya seperti apa?
Saya melihat bahwa pemahaman yang lebih radikal ketimbang kelompok lain. Karena pertama mereka bergerak tidak hanya di wilayah dakwah saja tapi lebih ke praktik, kalau kelompok lain mendakwahkan jihad melalui kajian-kajian, mereka melakukan praktik. Praktik ini bagi mereka adalah melakukan aksi pembalasan, serangan terhadap musuh mereka yang biasa mereka sebut thaghut. Saat ini bagi mereka representasi thaghut yang paling tepat adalah polisi, dia adalah aparat hukum yang memerangi mereka, menangkap mereka, menyiksa merek, membunuh mereka.
Pada sisi lain, polisi misalnya selalu melakukan tindakan yang menurut mereka menggagalkan rencana mereka. Ini yang menjadi basis kenapa polisi menjadi target yang signifikan. Secara strategis, menyerang polisi itu lebih mudah ketimbang melakukan serangan skala besar karena praktis, mudah, murah, dan bisa dikerjakan oleh sedikit orang.
Santoso ini hasil didikan siapa? Apakah dari luar Poso atau seperti apa?
Kalau dilihat dari catatan, ada peristiwa dimana dia mengenal cukup dekat Abu Tholut di periode tahun 2009-2010 yang menjadi penguat ideologi yang kemudian dikembangkan oleh Santoso sendiri. Diluar itu sebetulnya pengalaman-pengalaman personal seseorang yang pernah terlibat dalam konflik Poso di masa lalu, membuat Santoso memiliki pandangan yang mengkristal untuk terus menekuni jihad.
Peran Abu Tholut saya kira di proses ideologisasi itu, itu yang membuat Santoso tetap katakanlah radikal dan militan sejak dua tahun terakhir. Memang perlu dicatat tersendiri, bahwa perasaan atau semangat untuk tetap melakukan jihad, untuk tetap memiliki kapasitas militer dan seterusnya itu didominasi oleh kalangan pendatang di Poso yang menganggap Poso strategis dan nyaman bagi mereka untuk mengembangkan ideologi itu. Sedangkan masyarakat lokalnya saya kira tidak seantusias masyarakat pendatang, karena mereka punya psikologi trauma tertentu.
Mengapa tidak ada dugaan ke yang lainnya misalnya Upik Lawanga atau Taufik Bulaga?
Kalau tidak salah Taufik Bulaga sudah ditangkap di Kalimantan Timur, ada satu pemberitaan kira-kira dua bulan yang lalu. Tetapi pada dasarnya aktor-aktor penting di masa lalu yang pernah terlibat dalam konflik Poso maupun insiden terorisme di luar Poso, tidak semuanya punya relasi dengan signifikan. Artinya kalaupun terkait dengan Upik Lawanga mereka sudah terpisah, apalagi kabar terakhir Upik Lawanga sudah berhasil ditangkap.
Kalau bisa kita petakan untuk wilayah Poso, wilayah mana saja yang rawan disusupi oleh teroris?
Saya kira di daerah basis mereka. Terutama di kawasan Poso Pesisir, kemudian daerah Tambarana, Tamanjeka, Gunung Biru, dan Gunung Malino. Itu tempat mereka terakhir terlihat dan saya kira mereka karena penguasaan medan yang baik, memanfaatkan kondisi geografis yang mereka sudah kenal dengan baik untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sambil sekali waktu mencuri kesempatan untuk menyerang, itu pola gerilya yang mereka kembangkan saat ini.
Pengamat: Santoso Tokoh Sentral Pelatihan Bersenjata di Poso
Aksi teror masih berlanjut di Poso, Sulawesi Tengah. Kasus terbaru adalah tewasnya tiga polisi dari kesatuan brimob ditembak gerombolan tidak dikenal saat sedang berpatroli di wilayah Desa Tambaran, Poso Pesisir, Sulawesi Tengah, kemarin. Polisi menduga

BERITA
Jumat, 21 Des 2012 17:02 WIB


Terorisme Poso
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai