Bagikan:

Habibie & Ainun: Sisi Romantisme Sang Pembuat Pesawat

BERITA

Kamis, 20 Des 2012 11:32 WIB

Author

Doddy Rosadi

Habibie & Ainun: Sisi Romantisme Sang Pembuat Pesawat

habibie, ainun

“Maukah kamu menemani saya ke Jerman, mendampingi saya dan menjadi istri saya,”kata Habibie kepada Ainun.

Kalimat itu dilontarkan Habibie muda ketika mereka berdua tengah naik becak menuju rumah Ainun di Ranggamela, Bandung. Ainun adalah teman SMA Habibie. Mereka sempat lama tidak bertemu saat Habibie melanjutkan studi ke Jerman. Ketika kembali ke Indonesia, Habibie jatuh hati kepada Ainun yang sempat dihinanya sebagai perempuan yang “jelek, hitam dan seperti gula jawa”.

“Saya tidak bisa, karena saya tidak bisa janji menjadi isteri yang baik bagimu. Tapi saya bersedia untuk menjadi pendampingmu dan menemanimu ke Jerman,”jawab Ainun.

Itulah penggalan percakapan antara Habibie muda dengan Ainun muda dalam film “Habibie & Ainun” yang diproduksi MD Enterianment. Film ini diangkat dari buku dengan judul sama yang ditulis oleh Bacaharudin Jusuf Habibie, Presiden RI ketiga. Buku ini ditulis sebagai upaya Habibie untuk “survive” sejak ditinggalkan Hasri Ainun.

Film ini bercerita tentang perjalanan hidup Habibie, sejak SMA, kuliah di Jerman, kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Ainun serta kiprahnya sebagai Menteri hingga diminta Presiden Soeharto sebagai Wakil Presiden pada 1997 dan puncaknya menjadi Presiden RI ketiga.

Habibie diperankan dengan apik oleh aktor pendatang baru Reza Rahadian sedangkan Bunga Citra Lestari juga tidak kalah memukau tampil sebagai Hasri Ainun.

Setelah lamarannya diterima, Habibie langsung menikahi Ainun dengan menggunakan adat Jawa. Lalu, mereka berdua langsung terbang ke Jerman. Ainun rela mengubur sementara mimpinya membuka praktik sebagai dokter untuk menemani sang suami ke negeri orang.

“Saya janji akan membuatkanmu sebuah pesawat terbang,”kata Habibie kepada Ainun di atas pesawat yang membawa mereka ke Aarchen, Jerman.

Ainun hanya tersenyum.

Habibie merupakan sosok pemuda yang pintar. Di usia 23 tahun, dia sudah bisa meyakinkan para insinyur Jerman untuk menggunakan rancangan kereta api yang dibuatnya.

“Negaranya saja masih mengimpor kereta api dari Jerman, bagaimana bisa kita percaya sama dia untuk membuat kereta api model baru,”kata salah satu insinyur Jerman.

Habibie menjawab semua keraguan itu dengan karyanya yang brilian. Singkat cerita, Habibie berhasil meraih sukses di negeri orang. Namun, semuanya itu tidak didapatnya dengan mudah. Saat baru kembali lagi ke Jerman, Habibie belum menerima upah yang cukup sehingga suatu ketika dia terpaksa jalan kaki dari tempat dia bekerja ke rumah, menembus salju yang turun hingga salah satu kakinya berdarah.

Ainun juga sempat merasa kasihan kepada suaminya. Ketika kehamilannya mulai besar, Ainun minta untuk kembali ke Indonesia.

“Kalau saya kembali ke Indonesia, akan membantu meringankan Bapak, lagipula saya sudah tidak kuat lagi karena kehamilan ini,”kata Ainun.

“Ibu, hidup kita ini seperti kerbau yang sedang masuk ke dalam terowongan gelap. Tidak tahu ke arah mana yang harus ditembus. Namun, yang pasti, akan ada cahaya di ujung terowongan. Saya berjanji akan membawa kita berdua ke cahaya itu,”kata Habibie.

Kalimat Habibie itu mampu meluluhkan hati Ainun, hingga akhirnya mereka melahirkan dua orang anak. Film ini tidak hanya bercerita tentang cinta Habibie kepada Ainun, tetapi juga kepada Indonesia. Di salah satu adegan, Habibe mengirimkan surat kepada salah satu pejabat di Indonesia. Isi surat itu, Habibie memperkenalkan diri sebagai insinyur dan ingin kembali ke Indonesia untuk membuat pesawat terbang.

Harapan yang membuncah untuk bisa kembali ke Indonesia sirna ketika surat itu dibalas dengan jawaban, Indonesia belum siap untuk membuat pesawat. Hingga suatu ketika, muncul pengusaha Ibnu Sutowo. Dia meminta Habibie kembali ke Indonesia dan Presiden Soeharto sudah menjamin akan memenuhi semua permintaan Habibie untuk membuat pesawat terbang.

Itulah awal Habibie kembali ke Indonesia dan diberi jabatan sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Janji Habibie untuk membuat pesawat terbang akhirnya terpenuhi ketika IPTN berhasil membuat pesawat N-250, yang uji cobanya disaksikan langsung oleh Presiden Soeharto.

Tepat tengah malam setelah launching pesawat N-250, Habibie memberikan kue ulang tahun kecil kepada Ainun.

“Ibu, ini kue untuk ulang tahunmu. Kado untuk ulang tahunmu sudah mengudara 14 jam lalu, mengelilingi angkasa,”kata Habibie.


Komedi dan Intrik

Film ini juga menyelipkan unsur komedi. Seperti di adegan ketika Habibie datang ke rumah Ainun dengan menggunakan becak. Dia tidak tahu, bahwa di rumah Ainun sudah ada lima pria yang juga ingin bertemu dengan pujaan hatinya itu. Semuanya menggunakan mobil.

Ketika turun dari becak, Habibie ditegur oleh salah satu supir.

“Kok naik becak,”tanyanya

“Loh, memang kenapa?”jawab Habibie

“Huh, dasar miskin,”kata sang supir.

“Biarin aja,”kata Habibie berlalu.

Lalu, ketika Habibe sampai di depan pintu, ayah Ainun langsung menyambutya.

“Oh, Rudi, Ainun sudah lama menunggu kedatanganmu. Kamu ajak Ainun jalan-jalan di luar saja yah,”kata Ayah Ainun.

Ucapan ayah Ainun itu membuat lima pemuda yang sebenarnya ingin bertemu dengan Ainun hanya bisa termangu.

Sutradara Faozan Rizal juga memasukkan tokoh antagonis Sumohadi (Hanung Bramantyo) sebagai makelar proyek yang berulang kali berusaha untuk menyuap Habibie. Dari mulai memberikan jam tangan mewah hingga uang segepok. Habibie bergeming dan dia langsung mengusir Sumohadi dari kantornya.

“Saya kembali ke Indonesia bukan untuk mencari uang. Kalau uang, saya pasti memilih tinggal di Jerman karena disana saya bisa menerima upah lebih besar. Tapi, saya kembali untuk membantu Indonesia agar bisa membuat pesawat terbang sendiri,”kata Habibie kepada ibu kandungnya.

Klimaks film ini bukan ketika MPR menolak laporan pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden RI ketiga. Namun, saat Ainun tengah dalam kondisi kritis dan sudah menjalani tujuh kali operasi untuk menyembuhkan kanker ovarium yang sudah memasuki stadium empat.

“Ibu, mari kita berduo kepada Tuhan YME karena telah memberikan kita waktu bersama selama 48 tahun,”ujar Habibie kepada Ainun yang tidak sadarkan diri dan masih dilengkapi alat bantu pernafasan.

10 hari setelah perayaan hari pernikahan ke-48, Ainun meninggalkan Habibie. 


“Saya tidak kuat. Pernah suatu malam, saya terbangun dan memanggil ibu, ibu. Lalu dokter memeriksa saya dan hasilnya, semua anggota tubuh saya tidak berfungsi karena kesedihan yang terlalu mendalam. Lalu saya diminta untuk dibawa ke RSJ. Dokter hanya memberi opsi, ke RSJ, meminta bantuan orang dekat untuk melupakan kesedihan atau berusaha sendiri untuk melupakan kesedihan itu,”kata Habibie, usai pemutaran perdana “Habibie & Ainun” di Plaza Senayan XXI, Rabu (19/12).

Kata Habibie, dia menulis semua kenangannya bersama Ainun. Kumpulan tulisannya itu yang kemudian dijadikan sebagai buku dan kemudian diadaptasi ke layar lebar.

“Film dengan durasi 2 jam ini tidak bisa menggambarkan seluruh perjalanan hidup saya bersama Ainun. Tapi, film ini sudah bisa menampilkan rasa cinta saya kepada Ainun dan juga kepada Indonesia,”pungkas Habibie. 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending