KBR, Jakarta - Pengadilan di Papua, beberapa waktu lalu menghukum dua jurnalis Perancis, Thomas Charles Dandois dan Marie Valentine Burrot dengan hukuman 2 bulan dan 15 hari penjara. Kedua jurnalis Arte TV tersebut juga didenda 2 juta rupiah. Mereka dihukum karena dianggap menyalahgunakan visa turis yang mereka dapat untuk melakukan peliputan.
Direktur LBH Pers Nawawi memandang masalah semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, bila pemerintah dan wartawan asing bertindak sesuai perannya. Ia mengkritik pemerintah yang tidak pernah memberikan aturan jelas dan tegas tentang peliputan oleh media asing. Selain memperjelas masalah perizinan, “pemerintah juga semestinya menyatakan secara terbuka kondisi faktual Papua,” ujar Nawawi dalam program Reformasi Hukum dan HAM KBR.
Sementara dari pihak jurnalis sendiri juga harus menghormati kedaulatan yang berlaku di suatu negara. Penyalahgunaan visa turis untuk kepentingan liputan di satu sisi juga tidak bisa dibenarkan. Namun, Nawawi menentang pembatasan penggalian informasi di Papua. “Asalkan wartawan memakai kaidah jurnalistik dengan benar, maka tidak ada alasan pelarangan peliputan,” jelas Nawawi.
Nawawi khawatir alasan situasi politik dan keamanan Papua, menjadi cara memblokir jalan pencarian informasi tentang kondisi riil di lapangan. Menurutnya, publik nasional dan internasional berhak tahu hal positif dan negatif di Papua. "Ada ketidakstabilan politk di papua itu bukan berarti menyembunyikan situasi sesungguhnya, keterbealakang, kemiskinan, ketidakadilan itu yang harus diselesaikan pemerintah kita. Bukan dengan cara menutup informasi," tegas Nawawi.
Pemerintah, tetap bertahan pada kesimpulan bahwa kedua jurnalis tersebut dihukum karena menyalahgunakan visa. Juru Bicara Desk Papua Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Fathan Harun menyatakan, pemerintah terbuka pada upaya peliputan asal mengikuti ketentuan yang berlaku. Kata dia, sepanjang 2013, sebanyak 21 media asing berhasil meliput di Papua.
Selain tertib aturan, Fathan mensyaratkan jurnalis yang meliput juga berkaidah jurnalistik, seperti keberimbangan berita. Fathan mengungkapkan protesnya tentang seorang jurnalis asing yang pernah diperbolehkan meliput Papua. Pemerintah menilai pemberitaan yang ditulis jurnalis bernama McDavis itu tidak berimbang. Namun, pihaknya malas menggunakan hak jawab karena khawatir akan memperbesar permasalahan.
"Dia diperbolehkan, dia memang berimbang saat liputan, tapi ketika memberitakan, dari pangdam, kepolisian, sedikit sekali. Justru yang kasus-kasus lama yang tidak ada dalam liputannya yang diangkat," tutur Fathan.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua Victor Mambor mengakui jurnalis lokal, nasional maupun asing dibatasi dalam melakukan peliputan. Terlebih-lebih jurnalis asing. Menurut pengalamannya, jurnalis asing diping-pong setidaknya ke 12 lembaga hanya untuk memperoleh ijin. Tak jarang, proses ini memakan waktu hingga tiga bulan.
"Persoalannya wartawan asing ini regulasinya tidak jelas juga. Dari pusat tidak jelas mekanisme dan prosedurnya. Wartawan asing dilempar ke sana kemari, selama tiga bulan," ujar Victor.
AJI berupaya terus mengadvokasi jurnalis asing terkait perijinan liputan di Papua. Sementara untuk jurnalis lokal, AJI berusaha meningkatkan kapasitas terutama berbahasa Inggris. Ini dipandang penting, agar jurnalis lokal ini bisa memberikan informasi ke dunia internasional tentang kondisi obyektif Papua.
Editor: Sutami
Penjara Untuk Jurnalis Asing di Papua
Pengadilan di Papua, beberapa waktu lalu menghukum dua jurnalis Perancis, Thomas Charles Dandois dan Marie Valentine Burrot dengan hukuman 2 bulan dan 15 hari penjara.

BERITA
Selasa, 11 Nov 2014 07:38 WIB


Refhuk, Jurnalis dipenjara, Thomas Charles Dandois, Marie Valentine Burrot
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai