KBR, Thailand – Eni Lestari Andayani mengangguk haru, ia mendapatkan banyak pelukan dan jabat tangan, sesaat setelah membacakan pidato dalam perhelatan besar Konferensi Perempuan Asia Pasifik: Beijing+20 di Bangkok, pekan lalu.
Eni merupakan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia yang bekerja di Hongkong. Ia dipilih oleh organisasi masyarakat sipil dan organisasi perempuan se-Asia Pasifik untuk membacakan pidatonya dalam acara ini karena kegigihannya dalam berjuang membela buruh migran selama ini.
“Ketika saya lahir, saya mempunyai mimpi dan harapan seperti masyarakat kebanyakan. Saya ingin sekolah kemudian melanjutkan kuliah dan kemudian memberikan kontribusi saya untuk masyarakat. Namun nasib mengatakan lain. Saya kemudian tak bisa sekolah dan tak bisa melanjutkan mimpi saya. Saya harus menjadi PRT, melewati jalan panjang hingga kini.”
Selepas SMA di Kediri, Jawa Timur, pada 2000, ia kemudian pergi ke Hongkong dan bekerja sebagai PRT hingga sekarang. Ia bekerja di rumah majikannya. Pekerjaannya adalah bersih-bersih rumah. Dia juga mengorganisir buruh migran di Hongkong. Ini dilakukannya untuk menghidupi ibu dan adiknya yang masih sekolah.
Eni Lestari kini menjadi ketua buruh migran “International Migran Alliance” di sana. Setelah sebelumnya ia menjadi ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong serta menjadi anggota Organizing Comitte for Labour and Migration dari Asia Pasific for Women, law and Development (APWLD).
Tak lelah ia mengadvokasi buruh migran yang sedang berkasus. Keprihatinan pada sesama buruh di sana yang membuat ia serius menemani buruh keluar masuk kantor polisi, kantor imigrasi dan pengadilan di Hongkong.
Di sela waktu istirahat dalam konferensi di Bangkok 17-21 November lalu, Eni Lestari bercerita bagaimana kehidupan para buruh migran di Hongkong:
Apa persoalan yang masih mendera para buruh migran di Hongkong?
Pemerintah Indonesia masih kami nilai gagal dalam memberikan orientasi tentang bekerja di luar negeri. Orang bekerja menjadi buruh di luar negeri seharusnya mendapatkan jaminan perlindungan dari pemerintah, Namun hingga sekarang kita masih menyaksikan bahwa buruh migran kita masuk ke sebuah negara, harus melalui agen dan calo-calo. Ini yang menyebabkan kita kehilangan orientasi. Ini persoalan yang masih mendera buruh migran kita.
Penanganan pada persoalan buruh migran mengalami kemunduran. Lalu kehadiran Anda dalam konferensi ini?
Saya ingin merepresentasikan pengalaman-pengalaman yang dialami para buruh migran Indonesia (BMI). Pidato para buruh migran dalam konferensi ini paling tidak bisa memberikan data lain dibandingkan data yang dibuat oleh pemerintah. Kami memberikan data tentang buruh migran.
Perempuan migran mengalami persoalan kemiskinan dan harus bekerja ke luar negeri. Itu karena apa? Karena ia harus memberi makan anaknya. Buruh migran Indonesia mayoritas adalah perempuan, di Hongkong jumlahnya hingga 70%. Mereka bekerja sebagai PRT karena tidak punya keahlian dan tidak terlindungi secara hukum.
Salah satu isu yang dibawa dalam konferensi Beijing+20 menyoal ekonomi Perempuan termasuk buruh perempuan di dalamnya?
Konferensi Perempuan Beijing+20 ini terus terang merupakan isu baru buat kami. Sebelum datang ke sini, kami mendiskusikan ini dan kami memutuskan untuk berangkat menghadiri konferensi. Disini kita bisa berjaringan dengan organisasi masyarakat sipil yang tersebar di Asia hingga Pasifik.
Fakta bahwa ada 3 utusan BMI yang menjadi pembicara dalam konferensi ini, ini menandakan bahwa negara-negara Asia Pasifik mengakui bahwa organisasi buruh Indonesia adalah organisasi yang progresif dan kuat.
Bagaimana yang dilakukan pemerintah Indonesia di Hongkong saat ini?
Menurut saya yang dilakukan pemerintah Indonesia masih tambal sulam. Namun saya cukup senang dengan pidato Pemerintah di dalam forum Konferensi Beijing ini, pemerintah Indonesia berjanji akan memberikan perlindungan dan pelatihan dari keberangkatan buruh migran hingga bekerja disana.
Yang harus dilakukan saat ini adalah pembangunan hukum dan perlindungan yang maksimal bagi buruh migran. Kita lihat saja sejauh mana pemerintah akan mengimplementasikan ini dan laporan-laporan yang ada dalam konferensi ini.
Saya sendiri masih sanksi apakah pemerintah cukup obyektif dalam laporannya, karena tidak ada proses konsultasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam forum ini.
Namun saya tetap berharap, pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai pelapor saja namun sebagai pengambil kebijakan yang real bagi para migran di luar negeri. Jadi, tak tuntas hanya dengan memberikan laporan.
Pada pemerintahan baru Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla kali ini, Anda punya harapan besar untuk pemerintah?
Pemerintahan Jokowi harus meyakini ini sebagai persoalan yang harus diselesaikan, dan selanjutnya membuat mekanisme dari pucuk pimpinan pemerintah. Sehingga ia bisa meyakinkan rakyat bahwa kasus-kasus yang terjadi pada buruh migran tak akan terjadi lagi. Jangan menjadi pemerintahan yang ekslusif dan tidak mau menerima masukan. Jika ini yang terjadi maka ini bukan pemerintahan demokratis yang selama ini kami harapkan.
Apakah konferensi ini sudah cukup merepresentasikan organisasi masyarakat sipil?
Organisai masyarakat sipil mempunyai data, fakta yang kemudian diadvokasi, namun tidak semua yang dilaporkan terepresentasikan dalam konferensi ini. Yang harus kita lakukan adalah terus berjuang, fakta kita penting untuk membandingkan laporan pemerintah.
Lalu apa yang akan Anda lakukan untuk sosialisasi hasil Konferensi ini?
Dari sini kami akan membuat catatan dan kemudian sharing dan mensosialisasikan hasilnya pada BMI dis ana. Kemajuan teknologi membuat kami lebih meluas dalam menyebarkan informasi.
Editor: Antonius Eko