KBR68H, Jakarta-25 November hingga 10 Desember setiap tahun diperingati sebagai 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Perempuan memperkirakan terjadi 35 kekerasan pada perempuan setiap hari. Sementara itu, terdapat sejumlah undang-undang dan ratusan peraturan di daerah masih mendiskriminasi perempuan. Diantaranya adalah UU Perkawinan dan Perda larangan membonceng mengangkang bagi perempuan di Lhouksmawe, Aceh. Untuk itu, Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender harus disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk melindungi perempuan dari kekerasan dan menjamin adanya hak dan peluang sama dalam hal gender.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari menuturkan diskriminasi perempuan di Indonesia memiliki akar pada tata pembangunan. Pembangunan di Indonesia tidak setara dalam melibatkan pria dan perempuan. Akibatnya adalah diskriminasi ekonomi pada perempuan yang bahkan mendorong mereka merantau untuk menjadi TKW di negeri lain. “Kontrol dalam pengambilan keputusan dan manfaat yang dirasakan dari hasil pembangunan dinikmati secara adil dari laki-laki dan perempuan, mungkin tidak banyak perempuan yang pergi ke negeri orang mencari nafkah,” ujar Dian Kartikasari.
Diskriminasi terhadap perempuan semestinya tidak terjadi karena Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan laki-laki dan perempuan. Anggota Komnas Perempuan Niniek Rahayu menyayangkan penerapan UU malahan sering diskriminatif terhadap perempuan. “Penegakan hukumya tidak cukup padu, bahkan diskriminsi muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari tindakan, perilaku aparatur negara sampai pada kebijakan yang justru terus diproduksi oleh negara melalui pemerintah, dalam hal ini eksekutif dan legislatif,” papar Niniek Rahayu dalam acara Pilar Demokrasi di KBR68H (25/11). Ia menambahkan, diskriminasi ini bertambah parah dalam era otonomi daerah melalui perda-perda daerah.
Piranti hukum untuk kesetaraan dan keadilan gender dinilai kurang efekti. Dian menilai Inpres 9/2000 soal pengarusutaman gender dalam pembangunan tak cukup. Sebab, peraturan diskriminatif juga muncul dari pihak parlemen, bukan saja eksekutif. Untuk itu, ia menyarankan Rancangan Undang-undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender untuk segera disahkan oleh DPR. Sebab, RUU ini akan mengikat semua pihak untuk mendorong keadilan dan kesetaraan gender, tidak hanya eksekutif. Selain itu, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender bisa memaksa daerah untuk tidak diskriminatif pada perempuan jika disahkan.
Tak Semua Budaya Baik
Meskipun berniat menyetarakan kesempatan dan hak pria dan perempuan, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) banyak mendapat protes karena dinilai akan mengubah budaya. Menanggapinya, Dian menegaskan budaya tidak semuanya baik. Artinya, kebudayaan yang mendiskriminasikan perempuan perlu diubah. Budaya tidak adil, contohnya, pengadilan adat banyak paksa korban perkosaan kawin dengan pemerkosa. Selain itu, laki-laki dapat warisan dan perempuan tidak. “Budaya merupakan produk perubahan dan bisa berubah,” tegas Dian.
RUU KKG juga banyak diprotes karena dituding menyamakan peran laki-laki dan perempuan. “RUU Kesetaraan Gender tidak menyamakan perempuan dan laki-laki karena keduanya memang beda. Namun, RUU ini menjamin hak dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki,” ujar Dian.
RUU KKG jika disahkan juga diharapkan dapat menjadi landasan melakukan perubahan sejumlah Undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan. Anggota Komnas Perempuan Niniek Rahayu menekankan, “parlemen juga perlu aktif menyingkirkan diskriminasi. Contohnya, merubah UU Perkawinan yang diskriminatif pada perempuan.” Pasalnya, RUU Kesetaraan ada pasal yang melarang perkawinan mendiskriminasi perempuan. Singkatnya, RUU KKG bisa menjadi dasar harmonisasi berbagai Undang-undang yang diskriminatif pada perempuan. Dorongan itu diperkuat karena RUU Kesetaraan Gender akan menjatuhkan sanksi bagi individu dan instansi yang menghalang-halangi kebijakan yang pro perempuan. Sanksi administratif dapat berupa pemotongan anggaran suatu instansi dan sanksi individu bisa berupa pidana.
RUU ini jika dapat disahkan dan berjalan dinilai akan menguntungkan juga bagi kaum adam. Dian mengatakan, laki-laki bisa mewariskan harta pada anak perempuan dan yakin anak perempuan tidak jadi korban kekerasan jika RUU ini sah. Anggota Komnas Perempuan Niniek menambahkan, akan muncul generasi laki-laki baru yang sadar gender. “Laki-laki baru itu akan minta dikonseling kalau melakukan kekerasan pada perempuan,” kata ia mencontohkan. Golongan laki-laki itu akan berkomitmen untuk tidak mendiskriminasi perempuan.
Untuk itu, Komnas Perempuan dan penggiat hak-hak perempuan mendesak DPR segera mengesahkan RUU KKG. Dian mengatakan, desakan paling penting adalah dari internal parlemen untuk mengesahkan RUU Kesetaraan Gender. Meskipun begitu, Dian mengaku berbagai organisasi perempuan di antaranya Koalisi Perempuan Indonesia akan terus menyuarakan pada parlemen dan gelar konsolidasi nasional untuk desak RUU Kesetaraan Gender disahkan.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Koalisi Perempuan Indonesia.
Editor: Vivi Zabkie.