KBR68H, Jakarta-The United Nations Population Fund (UNFPA) atau Badan Kependudukan PBB, memperkirakan pada 2050 jumlah lanjut usia diseluruh dunia mencapai 80 juta jiwa. Sementara di Indonesia menurut sensus penduduk 2010 lalu, penduduk lanjut usia (lansia) sekitar 18 juta jiwa. Jumlah terus bertambah, sayang tak didukung oleh fasilitas dan sarana bagi mereka. Padahal UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia khususnya pasal 8 menyatakan pemerintah, masyarakat dan keluarga bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan lanjut usia. Meski sudah dimandatkan UU, tapi lansia tak kunjung sejahtera. Sebabnya adalah tak ada fasilitas yang ramah bagi lansia.
Kota ramah lansia lah yang bisa mewujudkan kesejahteraan lanjut usia. Sekretaris Komnas Lansia Heru Martono, mengatakan kota ramah lansia, bukan hanya dilihat dari segi fisik, seperti dukungan sarana publik untuk lansia, akan tetapi partisipasi masyarakat ada didalamnya. Partisipasi ini ada dalam salah satu konsep badan kesehatan dunia atau WHO. Dalam konsep itu, sebanyak 70 persen partisipasi dan peran masyarakat mampu mewujudkan kota ramah lansia. Selain itu, terdapat juga peran relawan yang seringkali mengajak para lansia untuk memiliki konstribusi di lingkungannya.
Masyarakat, keluarga dan pemerintah bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan lansia. Pihaknya kata Heru, sedang mengenjot partisipasi masyarakat dan keluarga untuk mewujudkan hal tersebut. Pasalnya pemerintah sudah terlebih dahulu memberikan ruang sampai aturan untuk mewujudkan kota ramah lansia, termasuk mengembangkan kedua peran tersebut.
”Dukungan masyarakat bisa berupa melibatkan lansia dalam kegiatan sehari-hari mereka. Seperti memberikan keterampilan kepada masyrakat. Para lansia ini tidak dituntut untuk bekerja secara penuh Namun, bertujuan untuk active aging, artinya lansia aktif berbuat tetapi menjadi sehat. Bukan tujuan mencari uang tetapi hanya terlibat dalam kegiatan tersebut,” jelas Heru dalam perbincangan Daerah Bicara KBR68H (06/11).
Heru mengaku masyarakat belum paham betul tentang konsep peran mereka terhadap kota ramah lansia. Heru mengaku pemahaman itu sangat rendah, termasuk peran keluarga. Pihaknya bakal terus mensosialisasikan pemahaman tentang kota ramah lansia, yang perlu didukung tidak hanya faktor fisik namun keterlibatan masyarakat di dalamnya.
”Sebanyak 35 persen menganggap negatif lansia, menganggap bodoh dan merepotkan, tetapi 65 persen tidak, ” kata Heru soal anggapan umum masyarakat soal lansia.
Beberapa provinsi sudah punya perda dan beberapa kabupaten juga sudah punya aturan soal peran masyarakat dalam mewujudkan kota ramah lansia. Namun, menurut Heru, tanpa aturan pemerintahpun, masyarakat sebenarnya sudah berbuat dalam mewujudkan hal tersebut. Seperti pelibatan kegiatan dalam RT/ RW di daerah. Bahkan pemerintah tengah mencanakankan lomba kota ramah lansia tahun depan.
Pemerintah juga punya cara lain dalam melibatkan kota ramah lansia, salah satu contohnya bekerja sama dengan pemuka agama. Contohnya di Kota Kupang, pihaknya seringkali mengajak pemuka agama yang akan berkhotbah, baik Kristen, Islam, Budha dan Hindu untuk memberikan materi seputar lansia. Heru mengaku saat ini hampir seluruh daerah sudah menuju kota ramah lansia.
Pemerintah juga terus berupaya melibatkan keluarga dalam mewujudkan rumah ramah lansia. Salah satunya pemberian santunan bagi keluarga lansia yang tak mampu.
Pemerintah berharap aspek fisik yang dilakukan pemerintah dan aspek non fisik berupa partisipasi masyarakat perlu di sinergikan untuk mewujudkan kota ramah lansia tersebut.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Komnas Lansia.
Editor: Vivi Zabkie.