Bagikan:

Kandidat Pilkada Langsung Habis Uang Sampai 175 Milyar

BERITA

Kamis, 21 Nov 2013 12:38 WIB

Author

Eli Kamilah

Kandidat Pilkada Langsung Habis Uang Sampai 175 Milyar

Pilkadfa langsung, perwakilan, Kementerian Dalam Negeri

KBR68H, Jakarta-Sejak digelar kali pertama 2005 lalu, pilkada tidak hanya melahirkan pemimpin baru bagi setiap daerah hasil pilihan rakyat, namun juga meninggalkan permasalahan baru. Contoh nyata adalah lahirnya politik uang, sengketa hingga kerusuhan pada pemilihan kepala daerah.

Memang kondisi ini tidak terjadi di semua daerah. Ada pemimpin daerah yang berhasil memimpin daerahnya menjadi lebih baik. Namun Kementerian Dalam Negeri juga mencatat, sejak 8 tahun ini, ada 300an lebih kepala daerah harus menjalani proses hukum, dan lebih dari 86 persen akibat perkara korupsi.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djoermasnyah Djohan mengatakan pilkada langsung sudah digelar sejak 8 tahun lalu, dengan dinamika yang berbeda-beda. Dalam rentang waktu tersebut telah berlangsung lebih sekira 1000an pemilihan kepala daerah secara langsung. Menurut Djoermasnyah, Kemendagri terus mengevaluasi hasil hajatan besar daerah tersebut, mempertimbangkan keberadaannya, perlukah diperbaiki  dan disempurnakan dengan model yang lain.

Kemendagri mencatat, permasalahan yang sering timbul ketika pilkada maupun pasca pilkada diantaranya adalah konflik horizontal dalam masyarakat. Ini bisanya terjadi pada pemilihan yang kandidatnya sangat dekat dengan masyarakatnya. Masalah lain adalah, persoalan penerimaan atau kematangan kandidat untuk siap kalah dan siap menang. Sekitar 90 persen kandidat yang kalah dalam ribuan kali pilkada itu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

“Kalau lewat prosedur hukum sudah bagus. Tapi kalau ada praktik yang jelek, misalnya dengan membeli suara hakim, menghasut pendukung sehingga terjadi konflik yang berkepanjangan? Mulai dari proses pencalonan, sampai pelantikan?” kata Djoermansyah menyuarakan kekhawatirannya.

Djoermansyah menilai selama ini masyarakat yang mencalonkan belum sepenuhnya siap menerima hasil pilkada langsung. Padahal sudah menandatangani kesepakatan siap kalah dan siap menang. Tetap saja, cara-cara ketidakpuasan ditempuh demi menghindari kekalahan. Salah satunya gugatan ke MK, padahal suara per kandidat jauh berbeda. “Perlu pendewasaan aktor (Kepala Daerah-red), perlu pembelajaran bagi masyarakat kita di daerah-daerah,” kata Djoermansyah.

Pengamat Politik Satya Arinanto juga mengungkapkan hal yang sama. Kalah tipis pendukung kepala daerah dengan mudah akan membawa ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Satya perlu adanya evaluasi dalam peraturan pilkada langsung. Jangan sampai untuk melakukan pesta demokrasi, perselisihan, sengketa bahkan berujung kerusuhan antar warga terus mewarnai pemilihan kepala daerah secara  langsung tersebut.

Djoermansyah juga mengaku pilkada langsung juga melahirkan krisis kerusuhan yang berujung kematian. Dalam data Kemendagri tercatat ada 75 orang meninggal, 300an luka-luka, dan kerugian sarana dan prasarana mencapai puluhan ribu. Permasalahan lain termasuk tingginya biaya pilkada yang dikeluarkan kandidat. Mulai dari biaya kampanye sampai biaya pengacara ke MK jika merasa tidak puas, belum termasuk biaya saksi, dan biaya sewa kendaraan partai politik.

Kemendagri mencatat kisaran biaya yang perlu disediakan kandidat bila ingin bertarung dalam pilkada sekira Rp26 miliar-Rp175 miliar. Sementara, data pemerintah daerah, sekitar 4-10 persen dari APBDnya tersedot anggaran untuk pilkada. Kisarannya berbeda-beda di tiap daerah, dari mulai puluhan miliar sampai 1 triliun lebih.

Mahalnya biaya demokrasi dalam pilkada yang harus dikeluarkan calon ataupun pemerintah daerah, menurut Satya disebabkan karena proses persiapan pilkada yang lumayan panjang. Paketnya, kata Satya dari mulai pencalonan sampai penyeleseian sengketa. ”Jadi memang pilkada ini banyak kerusakaannya, tidak hanya segi materi namun birokrasi pemerintahan daerahnya juga.  Padahal kita ingin demorkasi.
Penyeleseian sengketa itu tak murah, pengacaranya, saksinya, ahlinya. Ngga tahu kalau ngasih ke hakimnya, kaya kasus AM,” kata Satya dalam program dialog Daerah Bicara KBR68H (20/11).

Kemendagri juga mengakui bila demokrasi dalam pilkada langsung dimainkan di tengah masyarakat yang belum siap berdemokrasi. Baik dari segi ekonomi ataupun pendidikan. Untuk itu pihaknya, kata Djoermasyah mengusulkan;  pertama, pemilihan kepala daerah bisa dikembalikan lewat model perwakilan, kedua dikembalikan ke konstitusi.  “Dalam pasal 18 ayat 4 mengatakan Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis. Dalam pasal tersebut sama sekali tidak disebutkan demokrasi berarti dipilih secara langsung. Artinya ada ruang kalau menginginkan demokratis bisa langsung dan bisa tidak langsung,” ujar Djoermasyah.

Kemendagri pun akan melihat mana daerah yang berpeluang untuk melakukan pilkada langsung. Misalnya Gubernur di salah satu daerah. Pihaknya akan mempersilakan jika memang kandidat dan masyarakat siap untuk menempuh pesta demokrasi dengan pilkada langsung.

Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Kementerian Dalam Negeri.


Editor: Vivi Zabkie

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending