Bagikan:

Perlu Penegak Hukum Etika sebagai Garda Terdepan Pencegah Kejahatan

KBR68H, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempersiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu), salah satunya untuk mengatur seleksi hakim Mahkamah Konsitusi (MK).

BERITA

Senin, 07 Okt 2013 14:50 WIB

Author

Doddy Rosadi

Perlu Penegak Hukum Etika sebagai Garda Terdepan Pencegah Kejahatan

penegak hukum etika, suap MK, cegah kejahatan

KBR68H, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempersiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu), salah satunya untuk mengatur seleksi hakim Mahkamah Konsitusi (MK). Rancangan Perppu akan dibahas bersama DPR, dan Mahkamah Agung. Di dalamnya juga akan diatur pengawasan terhadap proses peradilan di MK.

Sebelumnya, pengawasan KY kepada MK sempat dihapus oleh MK pada 2006 lalu. MK menghapus kewenangan KY untuk mengawasi kinerja hakim agung dan hakim konstitusi. Lalu, Agustus tahun ini kembali muncul wacana pengawasan hakim MK oleh KY, akan tetapi lagi-lagi ditolak.  Apakah MK memang tidak perlu diawasi? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Rumondang Nainggolan bersama pakar hukum Irman Putra Sidin daam program Sarapan Pagi.

Apa memang selama ini Mahkamah Konstitusi seperti malaikat yang tidak perlu diawasi?

Bukan soal itu tapi soal Undang-undang Dasar kalau soal pengawasan itu. Karena bukan hanya Mahkamah Konstitusi seperti Komisi Yudisial lembaga pengawas eksternalnya siapa? BPK siapa? KPK siapa? Komnas HAM siapa? pengawas perilaku presiden dan kabinetnya etiknya siapa? jadi bukan perdebatannya apakah mau  tidak diawasi tapi sistem ketatanegaraan kita. Pada prinsipnya memang semua lembaga harus bisa diawasi, itu prinsip. Semua perilaku kekuasaan harus bisa diawasi, khusus lembaga pelaku kekuasaan seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, DPR, dan presiden itu lembaga negara yang lahir dari Undang-undang Dasar, lembaga-lembaga utama dalam proses bernegara.
 
Jadi tidak boleh ada lembaga negara yang bebas dari pengawasan?

Prinsip-prinsip seperti itu tapi yang kita perdebatkan saat ini bukan MK diawasi atau tidak tapi perilaku hakim MK bisa diawasi atau tidak.

Bukankah sudah ada Majelis Kehormatan yang dibentuk jika ada penyimpangan yang ditemukan? itu tidak cukup menurut anda?

Cerdas anda bertanya. Berarti dengan adanya Majelis Kehormatan ini institusi pengawasan perilaku hakim MK itu ada. Tinggal kita sekarang memperdebatkan adalah apakah cukup dengan institusi internal atau perlu institusi eksternal. Selama ini hakim MK perilaku itu diawasi, kalau hakim MK melanggar lalu lintas polisi boleh menilangnya, kalau dia terlibat narkoba BNN bisa. Sekarang perilaku hakim MK etika itu ada institusi internal yang mengawasinya, banyak lembaga negara seperti ini ada Badan Kehormatan DPR, ada Komite Etik KPK, dan lembaga lainnya. Tinggal kita memperdebatkan sekarang adalah perlu tidak pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim itu seperti KY terhadap hakim-hakim di Mahkamah Agung. Sekarang pertanyaannya adalah bisakah KY ditunjuk oleh presiden melalui Perpu untuk mengawasi perilaku hakim MK. Kemarin nampaknya itu Menkopolkam keliru menafsirkan tentang pengawasan MK itu, dia mengatakan bahwa putusan MK tidak boleh salah jadi kalau salah harus ada yang mengawasi. Bukan begitu maksud perdebatan republik ini, hakim MK yang diawasi perilakunya itu yang jadi perdebatan. Nampaknya pemerintah pun tidak paham apa perdebatannya. Karena ada putusan, benar putusan itu tapi perilaku dibalik misalnya ada hakim suka selingkuh, putusannya bagus-bagus semua. Perilaku ini yang mau kita perdebatkan siapa yang mengawasi hakim MK itu apakah cukup dengan Majelis Kehormatan sekarang atau perlu kita pikirkan lembaga yang sifatnya permanen atau kita tunjuk Komisi Yudisial. Untuk menunjuk Komisi Yudisial nampaknya inkonstitusional, karena itu Undang-undang Dasar sudah mengaturnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006. Bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi perilaku hakim MK, hubungan antara Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi bukan hubungan check and balance yang suka disebut pimpinan lembaga negara sekarang itu. Jadi kalau polisi menilang hakim MK itu bukan check and balance, ini hubungan tentang pengawasan perilaku individu yang sifatnya kemitraan. Oleh kemudian materi konstitusi kemarin menafsirkan bahwa KY tidak berwenang mengawasi hakim MK. Ini yang kemudian sekarang menjadi hambatan untuk menunjuk Komisi Yudisial sebagai institusi eksternal mengawasi perilaku hakim MK, bukan mengawasi putusan. Ini yang saya dengar kemarin dari pemerintah Menkopolkam itu, salah besar dia.

Sekarang ini pasti kita akan bicara tentang kekurangan dan kelebihan, kalau misalnya kita perlu ada lembaga eksternal untuk mengawasi perilaku hakim?

Bukan hanya perilaku hakim yang harus kita awasi, seluruh perilaku kekuasaan perlu kita kembangkan pranata etika itu. Sebab penegak hukum etika ini berdiri di garda terdepan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Jadi kalau ada pejabat negara atau hakim yang sudah bertemu dengan pihak-pihak yang bisa mempengaruhi pelaksanaan kewenangannya itu sesungguhnya sudah bisa diingatkan oleh sistem etika bernegara kita.

Siapa yang mestinya memerankan posisi ini?

Itulah namanya pengawas-pengawas etika yang kita harus pikirkan membangun itu lebih besar. Kalau seperti ini terjadi ini akan mengurangi beban penegakan hukum yang lebih besar, tidak perlu orang itu melakukan kejahatan dulu. Kalau ada orang sudah bawa golok mau membunuh orang polisi etika ini langsung mencegah, tidak perlu orang itu terbunuh dulu kemudian polisi turun tangan, tidak perlu penegak hukum itu bekerja lebih keras karena ada pembunuhan. Tapi dengan adanya polisi etika ini maka dia baru bawa golok keluar rumah langsung diingatkan buat apa bawa golok. 


Siapa kira-kira yang bisa memainkan menjadi ‘polisi etika’? 


Ini yang perlu kita pikirkan membangun sistem yang lebih besar. Makanya pertemuan kemarin pimpinan lembaga negara itu harusnya berpikir pada sistem penyelamatan negara yang lebih besar. Kasus yang di MK ini bisa jadi arisan para lembaga-lembaga kekuasaan, jadi terlalu kecil kalau dia berbicara penyelamatan MK. Bagaimana kita mencegah kejahatan itu terjadi, kebetulan kemarin pimpinan lembaga negara itu ketemu harusnya bicara yang lebih besar, kemudian apa yang harus kita keluarkan. Itu yang harus dipikirkan bukan memberikan aspirin kalau orang sakit kepala, cari persoalannya apa seolah-olah hanya MK padahal ini warisan perilaku kekuasaan kita sejak dulu. Penegakan hukum sekarang bebannya berat, puluhan ribu perkara masuk di Mahkamah Agung, masuk di pengadilan. Kita kuatkan peran-peran penegakan hukum, kode etika ini yang perlu kita bangun sistemnya lebih besar dalam setiap lembaga-lembaga kekuasaan yang ada.

Jadi perlu dibentuk suatu lembaga di luar KY untuk mengawasi perilaku para hakim Mahkamah Konstitusi?

Tapi itu kerangka desain bernegara kita yang lebih besar, tidak bersifat seperti sekarang ini. Itu perlu mendudukkan 12 kekuatan politik peserta Pemilu 2014 dan pimpinan lembaga negara sekarang.



Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending