Awal Oktober lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh berita penangkapan pemimpin lembaga Hukum Tertinggi, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak tanggung-tanggung, Akil Mochtar ditangkap karena diduga menerima suap miliaran rupiah terkait sengketa Pilkada yang ditanganinya. Banyak pihak menilai, kejadian ini bukan lagi tamparan untuk penegakkan hukum di Indonesia melainkan tsunami. Kasus korupsi macam ini juga merupakan yang kesekian kalinya melibatkan “wakil tuhan” atau hakim. Banyaknya hakim yang ditangkap lantaran menerima suap ini menimbulkan pertanyaan soal perekrutan hakim. Jangan-jangan sistem perekrutan meloloskan mereka yang potensial korupsi.
Sesuai amanat dan mandat dari Undang-Undang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial merupakan lembaga yang berwenang dalam melakukan seleksi pengangkatan hakim.
Perekrutan Hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung saat ini melibatkan sejumlah pihak untuk melakukan tes. Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Aco Nur M.H mengatakan Mahkamah Agung melibatkan beberapa universitas negeri di Indonesia. Keterlibatan kampus tersebut diantaranya, membuat tes untuk calon hakim.
“Jadi Mahkamah Agung hanya sebagai panitia saja, sementara universitas membuat soal, universitas lainnya diberikan kewenangan untuk menguji psikotest dan wawancara. Untuk mengetahui substansi kualitas calon hakim dalam bidang hukum,” ujar Aco Nur.
Dia menambahkan ada beberapa tahap yang akan dilalui calon hakim, setelah lolos tes dari universitas. Maka calon hakim akan berhadapan dengan Ketua Muda Mahkamah Agung atau Hakim Agung untuk penguasaan di bidang hukum.
Keterlibatan Komisi Yudisial untuk ikut menyeleksi hakim memang menjadi perdebatan hingga saat ini. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim ditetapkan oleh DPR pada 2009 lalu. Anggota Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri mengapresiasi keputusan ini. Sebab, banyak masyarakat yang melaporkan adanya praktik suap saat perekrutan hakim di daerah.
“Kalau di daerah perguruan tinggi pasti berteriak yah. saya tidak bisa jadi hakim karena ditagih 300 juta rupiah, jadi memang bau-bau ini ada,” ujar Taufiqurrohman dalam diskusi yang berlangsung di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat (10/10).
Anggota Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri menambahkan keterlibatan dua lembaga dalam perekrutan nantinya untuk saling mengoreksi calon-calon hakim tersebut. Terkait dengan banyaknya laporan soal suap, pada tahun ini Komisi Yudisial memberhentikan 23 hakim lantaran terlibat kasus.
Dia menilai dalam perekrutannya latar belakang hakim sangat diperlukan. Meski tidak mempunyai kewenangan, Komisi Yudisial ikut menyeleksi hakim adhoc berdasarkan permintaan dari Mahkamah Agung. Berdasarkan pengalamannya, Anggota KY Taufiqurrohman mengatakan 80 persen dari hakim adhoc bermasalah.
“Makannya keterlibatan periode KY itu dari ratusan yang daftar KY hanya merekomendasikan empat calon hakim adhoc,” ujar Taufiq dalam siaran tunda Reformasi Hukum dan HAM di KBR68H (14/10).
Sementara itu, DPR menilai dalam menyeleksi calon hakim diperlukan lebih dari satu lembaga untuk saling mengoreksi. Dibuatnya UU mengenai keterlibatan kedua lembaga yakni Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial lantaran banyak laporan mengenai praktik suap. Meski menjadi perdebatan bahkan kedua lembaga saling beradu.
Bekas Ketua Komisi Hukum DPR I Gede Pasek Suardika mengatakan hal ini sangat wajar, karena biasanya lembaga hukum akan bermasalah jika diawasi oleh lembaga lain. Dengan kata lain, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan DPR berpendapat sistem perekrutan dalam seleksi calon hakim sudah terlaksana dengan baik. Namun, banyaknya suap yang melibatkan calon merupakan akibat dari individu calon hakim tersebut.
Namun, Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanji berbeda pendapat banyaknya kasus suap yang melibatkan hakim ini lantaran pendidikan korupsi yang tidak diberikan saat mengenyam perguruan tinggi. Susi mempertanyakan peran pendidikan tinggi yang tidak mengajarkan komitmen anti korupsi kepada mahasiswa.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Komisi Yudisial.
Editor: Vivi Zabkie