KBR68H, Jakarta - Merawat dan membesarkan warisan adalah dua hal yang dilakukan Irwan Hidayat, bos Sidomuncul. Yang dirawat dan dibesarkan bukan sekadar produk buatan pabriknya, tetapi jamu, sebagai warisan leluhur. Melalui strategi jitu jamu bukan hanya bertahan hingga kini di tanah air, tapi bisa dibawa Irwan menembus pasar dunia dari Nigeria hingga Amerika Serikat. Simak perbincangan khsusu dalam segmen Sarapan Bersama Irwan Hidayat, persembahan KBR68H, Tempo TV dan PortalKBR.
Sidomuncul ini salah satu jamu terbesar, cikal bakalnya seperti apa dulu?
Dulu pendirinya itu nenek saya tahun 1951, tiga orang karyawannya. Di logonya itu foto saya dan nenek saya, saya dari kecil ikut nenek saya.
Anda mewarisi bisnis jamu ini, merawat warisan itu kadang-kadang jauh lebih sulit ketimbang memunculkan ide lalu mengembangkan. Bagaimana merawat ini sampai Sidomuncul tumbuh sebesar ini?
Saya mulai menjadi logonya Sidomuncul itu tahun 1951, saya mulai bekerja di Sidomuncul itu ketika usia saya 23 tahun. Jadi tahun 1970 saya bekerja di Sidomuncul, dua puluh tahun pertama karena lulusan SMA, tidak punya pengalaman jadi dua puluh tahun pertama itu tidak ada kemajuan. Saya baru menemukan mulai tahun 1990.
Bagaimana menemukannya waktu itu?
Ya akhirnya saya sadar bahwa bisnis ini terutama jamu, ini obat-obat alam. Itu harus yang dibangun adalah membangun kepercayaan, sejak 1990 yang saya lakukan adalah bagaimana supaya orang percaya sama Sidomuncul. Kalau dia percaya sama Sidomuncul dia akan percaya kepada produknya.
Inovasi-inovasi sebagian besar lahir dari anda sendiri, habis tidur siang kabarnya begitu ya?
Tidak itu cuma guyon. Saya sering tidur di sini, jadi kalau memang dikatakan yang saya baca Tuhan memberkati engkau pada saat engkau tidur. Jadi Tuhan menumbuhkan segala sesuatu pada malam hari, tapi sebenarnya ini kerja keras dari banyak orang.
Benar Rp 3 triliun omsetnya setahun?
Tidak, omsetnya saya belum bisa ngomong tapi yang pasti kami nanti akan IPO.
Sidomuncul itu menguasai pangsa pasar seberapa besar untuk pasar jamu?
Saya tidak tahu. Sebelumnya saya tidak pernah melakukan riset apa-apa, cuma ketemu grosir, ketemu distributor, saya jalan di pasar-pasar. Makanya saya tidak tahu kalau mengenai pangsa pasar, ya mungkin nanti setelah menjadi perusahaan publik kami perlu ya melakukan riset itu kan yang diinginkan investor adalah data-data yang valid. Tapi sekarang ini menjadi perusahaan itu saya lakukan sendiri dengan tim saya.
Sekarang sudah ke mancanegara ya?
Iya. Artinya ada banyak negara misalnya di impor kami punya distributor itu di ASEAN seperti Hong Kong, Amerika, Nigeria, Timur Tengah, Suriname.
Bagaimana mengenalkan rasa yang mungkin aneh bagi mereka?
Jamunya seperti Tolak Angin yang saya jual. Kalau jamu serbuk, banyak diaspora toh orang Indonesia di Hong Kong banyak.
Tidak mudah ya masuk Amerika karena sangat ketat untuk bisa memasukan produk-produk cukup ‘ajaib’ di lidah mereka?
Ya saya punya cara untuk bisa masuk. Kalau Tolak Angin kan enak, kopi juga hal yang umum, kopi kami kopi herbal ditambah jahe, ginseng, jamu-jamu jadi kopi kami lain. Terus Tolak Angin diterima banyak kalangan di seluruh dunia, bahkan kami pernah buat di Hong Kong, Singapura, Australia, Timur Tengah, Eropa. Sebenarnya inspirasi itu didapat dari pengalaman kami, waktu saya pergi ke beberapa negara saya selalu survei, saya masuk ke toko-toko Asia itu kebanyakan yang beli juga orang asing. Makanya saya terinspirasi kalau begitu mesti saya publikasikan di negeri sendiri, ya targetnya pertama membangun kepercayaan. Tapi juga mudah-mudahan itu memberi masukan atau inspirasi kepada siapa saja bahwa produk Indonesia kalau anda membuatnya baik, dengan serius dikelola anda akan diterima di semua negara.
Pak Dahlan Iskan pernah menantang anda untuk mengajak kerjasama dengan para petani. Bagaimana anda menjawab tantangan tersebut?
Jadi sebelum Pak Dahlan kami sudah bekerjasama dengan petani. Jadi kami punya 99 kelompok tani, kemudian waktu Pak Dahlan ya saya tinggal menindaklanjuti. Maksud Pak Dahlan kan menggunakan lahan-lahan di perkebunan, jadi petani-petani di sekeliling perkebunan kalau bisa kerjasama. Jadi nanti kami membeli produknya, bahannya yang ditanam, kami membeli bibit, dan soal keuangannya dari CSR beberapa BUMN. Saya ini memerlukan petani, makanya kami membuat kesepakatan kami beli misalnya kami tetapkan harganya jahe Rp 6, kalau turun kami beli Rp 6 ribu, kalau naik harganya Rp 9 ribu kami ambil harga tengah yaitu Rp 7.500.
Jadi ada kesepakatan di awal?
Ada.
Soal jamu ini orang selalu mengaitkan dengan kajian medis, Kementerian Kesehatan, dan seterusnya. Pemerintah sendiri soal itu bagaimana?
Sekarang ada yang namanya sertifikasi di bidang jamu jadi kami boleh melakukan riset lewat puskesmas. Syaratnya cuma satu, pertama dokternya harus mengikuti kursus tentang herbal sehingga dia bisa praktik dengan dokter herbal. Jadi nanti papan reklame atau plangnya itu ada dua, satu dokter umum satunya dokter herbal.
Di Temanggung juga ada puskesmas jamu yang terkenal itu ya?
Iya.
Apakah Sidomuncul juga sudah masuk ke sana, bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan atau bagaimana?
Bagi saya sebenarnya itu adalah bagian dari membangun kepercayaan. Misalnya kalau jamu kita ngomong tentang pengalaman masyarakat ribuan tahun, tapi zamannya sudah berubah, kami melakukan dua hal. Pertama melakukan uji keamanan produk, kalau produk ini diminum jangka panjang itu aman dan kedua ujia khasiat.
Tapi sudah merambah ke properti bagaimana ceritanya?
Oh properti itu cuma bangun hotel.
Atau memberi ‘mainan’ untuk Mario Hidayat?
Tidak. Saya punya tanah, ada adik-adik saya ya sudahlah dibangun hotel saja. Saya senang pariwisata, maka itu kami masuk di bidang itu dan yang lebih penting lagi kami pakai merek Indonesia kan hotel saya namanya Tentrem. Itu melanggar tradisi yang laku harus hotel pakai nama asing, tapi sudah ada toh beberapa hotel di Indonesia yang pakai nama Indonesia. Ini nama jawa yang belum pernah, sekarang terbukti laku.
Selama 24 tahun mengawal teman-teman pedagang jamu dan keluarganya mudik, ini bagian investasi atau sekadar CSR?
Tahun 1991 sebetulnya belum ada kata CSR. Jadi waktu itu promosi, ya kami juga ingin mengawal mudik tukang jamu supaya dia juga mau jualan produk kita sebagai ungkapan terima kasih. Tapi setelah sekarang ini sepuluh tahun terakhir sebenarnya kami tidak tergantung sama penjual jamu. Jadi produk kami yang dijual di tukang jamu sama yang di luar itu jauh, yang di tukang jamu itu mungkin 10 persen tapi orang mesti punya ciri. Sidomuncul sudah melakukan itu, dua belas tahun pertama kami lakukan itu jadi ya sudahlah ciri khas Sidomuncul mudik lebaran, kami pelopor.
Tentang tukang jamu keliling kabarnya anda sepat keliling juga ya waktu kecil?
Tidak. Dulu waktu tahun 1970-an itu belum ada komunikasi seperti ini, media cuma sedikit, TV ya cuma TVRI. Jadi saya ikut mobil propaganda jualan dimana-mana, itu salah satu komunikasi penjualan yang bisa kami lakukan pada tahun-tahun itu.
Sidomuncul identik dengan anda, kabarnya putri anda yang akan meneruskan?
Tidak. Saya punya anak tiga, keponakan saya sepuluh, jadi generasi keempat ini ada 13 orang.
Tapi masih terus akan memimpin Sidomuncul?
Iya saya berharap terus supaya tidak pikun. Saya sering heran kalau ada orang pensiun, usia jalan-jalan. Wah berat kalau pensiun, orang kehilangan latihan otak ini berat.
Kalau anda tetap bugar seperti ini apa rahasianya?
Saya makan yang seimbang, berpikir yang seimbang, kemudian melakukan hal-hal yang intinya keseimbangan.
Kalau minum jamu apa sehari-harinya?
Saya minumnya kunyit, daun sirsak, manggis, kalau flu demam Tolak Angin.
Irwan Hidayat: Sukses Sidomuncul Berawal dari Membangun Kepercayaan Konsumen
KBR68H, Jakarta - Merawat dan membesarkan warisan adalah dua hal yang dilakukan Irwan Hidayat, bos Sidomuncul. Yang dirawat dan dibesarkan bukan sekadar produk buatan pabriknya, tetapi jamu, sebagai warisan leluhur.

BERITA
Senin, 14 Okt 2013 11:36 WIB


sidomuncul, irwan hidayat, membangun kepercayaan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai