KBR, Jakarta - “Sebenarnya kita sadar kalau banyak produk barang dan jasa sudah berbohong, namun kita tetap saja menggunakannya. Misalnya, mana ada minuman kemasan yang segar layaknya buah asli. Padahal jelas-jelas menggunakan pengawet,” ujar David Tobing, pejuang hak pelanggan sekaligus pengacara konsumen saat menjadi narasumber pada program talkshow Reformasi dan Hukum KBR Utan Kayu, Jakarta Timur.
Kata dia, hak konsumen atau pelanggan untuk mendapatkan suatu barang dan jasa sesuai dengan yang dipromokan produsen sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
“Pelanggan mempunyai hak untuk bersuara untuk mendapatkan haknya sebagai konsumen yang dilindungi oleh UU Konsumen. Tetapi banyak konsumen tidak menyadari hal ini atau enggan berurusan dengan hukum yang berbelit sehingga kerap kali pasrah ketika haknya dilanggar,” ujarnya.
David Tobing mengatakan banyak konsumen tidak faham soal langkah apa yang harus diambil ketika menghadapi masalah tersebut.
“Tujuan saya terus bergerak dibidang ini adalah supaya ada pengakuan soal hak konsumen itu penting dan pelaku usaha jangan semena-mena,” ujarnya.
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), hak-hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Selain itu hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
“Selain itu juga konsumen berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,” ujarnya. David Tobing menilai, rendahnya perlindungan konsumen karena, “Hal itu terjadi karena regulator (Lembaga tertentu) yang ada di Indonesia tidak berjalan dengan baik,” ujarnya.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo menilai ada banyak yang harus diperbaiki dalam regulasi aturan perlindungan konsumen.
“Banyaknya jenis pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha menjadikan UU yang ada kurang mengakomodir. Pengusaha kerap mencari celah, disamping pemerintahnya yang terkesan menutup mata,” ujarnya.
Kata dia, pelanggaran hak konsumen paling banyak terjadi di dunia perbankan. “Perbankan sudah mewajibkan nasabahnya untuk mematuhi klausul yang belum dibuat,” ujarnya.
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan klausul baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. “Klausul baku ini banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak, yang bertujuan untuk melindungi pihak yang memberikan suatu jasa tertentu,” ujarnya.
Lemahnya pengawasan oleh pemerintah membuat kondisi ini semakin buruk. Karena kondisi ini, Sudaryatmo berpendapat, ketika pemerintah menutup mata dan pelaku usaha dengan mudahnya melanggar ketentuan yang sudah ada, hanya keberanian konsumen untuk bersuara menjadi satu-satunya penyelesaian masalah ini.
“Harusnya perlindungan konsumen langsung berada dibawah perlindungan hukum, misalnya seperti di kejaksaan dan kepolisian. Konsumen yang mengadu adalah hak yang dilindungi hukum, selama caranya baik. Jadi jangan serang konsumen yang komplain dengan ancaman hukum,” ujarnya.
Editor: Fuad Bakhtiar
Penegakan UU Konsumen, YLKI: Konsumen Harus Berani Bersuara

BERITA
Rabu, 03 Sep 2014 13:43 WIB


Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai