Bagikan:

Ketika Perkawinan Lintas Agama Digugat

"Negara seharusnya hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan umum saja. Jangan mencampuri hal-hal yang menyangkut privasi masing-masing warganya."

BERITA

Senin, 22 Sep 2014 19:05 WIB

Author

Bambang Hari

Ilustrasi - Sejumlah pasangan pengantin nikah massal menunjukkan buku nikah seusai melakukan ijab qa

Ilustrasi - Sejumlah pasangan pengantin nikah massal menunjukkan buku nikah seusai melakukan ijab qabul yang diadakan oleh Depertemen Agama Kota Pasuruan (FOTO: Antara)agama, pindah agama, uji materi

KBR, Jakarta - "Negara seharusnya hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan umum saja. Jangan mencampuri hal-hal yang menyangkut privasi masing-masing warganya."

Ungkapan itu disampaikan oleh Damian Agata Yuvens. Pemuda yang sehari-hari dipanggil Damian itu saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, FHUI. Bersama rekannya-rekannya, mereka mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi, MK.

Pasal yang didaftarkan untuk diujimaterikan adalah Pasal 2 Ayat (1) yang bunyinya "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu."

Menurut Damian, pengaturan dalam undang-undang itu akan berdampak pada tidak sahnya perkawinan beda agama. Sebab, negara dituding memaksa setiap warga negara dalam mematuhi hukum agama dan kepercayaannya dalam hal perkawinan. Damian beranggapan, ini melanggar Pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan warga untuk memeluk agama sesuai kepercayaannya.

"Pasal tersebut akan berimplikasi pada warga yang ingin sudah memiliki pasangan, tapi berbeda keyakinan. Pada banyak kasus, orang dengan keyakinan berbeda akan dipaksa memilih satu agama agar pernikahannya direstui oleh otoritas agama, serta mendapatkan akta nikah. Tanpa pengakuan tersebut, kantor catatan sipil tidak memungkinkan pencatatan pasangan beda agama," sebut Damian dalam Perbincangan Agama dan Masyarakat di KBR dan TV Tempo.

Lagipula menurut Damian, tugas negara dalam hal perkawinan adalah hanya mencatatkan perkawinan setiap warganya. Faktanya, dengan adanya undang-undang tersebut, negara seolah-olah menjadi penilai terhadap norma-norma yang berlaku di setiap agama.

“Misalnya ada pasangan berbeda keyakinan yang ingin mengajukan pernikahannya ke pegawai pencatat perkawinan. Maka pegawai pencatat perkawinan itulah yang memutuskan boleh-tidaknya perkawinan antaragama dilangsungkan. Dalam hal ini, pegawai pencatat perkawinan mewakili negara,” ujarnya. “Bahkan keputusan boleh tidaknya perkawinan lintas agama dilakukan diambil berdasarkan perspektif keyakinan yang dianutnya.”

Menanggapi hal tersebut, peneliti dari Setara Institut, Ismail Hasani menyebut, apabila dipandang dari perspektif hak asasi manusia, Pasal 2 Ayat (1) dalam Undang-Undang Perkawinan memang memunculkan diskriminasi. Khususnya bagi mereka berkeinginan untuk menikah tidak sesuai dengan kehendak dari apa yang disebutkan dalam pasal itu. “Sementara, hak untuk terbebas dari diskriminasi adalah hak dijamin oleh konstitusi. Karenanya, gugatan ini memang bermaksud untuk mengembalikan negara ke tempatnya,” katanya.

Lebih jauh ia mengatakan, dalam sejarahnya sejumlah pasal dalam Undang-Undang Perkawinan merupakan salah satu undang-undang yang favorit diujimaterikan. Ismail mencatat setidaknya sudah ada lima kali beberapa pasal dalam UU yang dibuat tahun 1974 itu diujimaterikan. “Beberapa diantaranya pasal yang mengatur ketentuan batas minimum usia perempuan untuk menikah. Lalu sekarang, giliran Pasal 2 Ayat (1) yang diujimaterikan.”

Sementara itu, salah satu rekan Damian, Rangga Sujud Widigda menilai aturan dalam pasal tersebut dinilai menimbulkan banyak masalah dalam kehidupan warganya. Khususnya dalam hal memeluk agama tertentu. Sebab, banyak orang yang akhirnya memutuskan untuk berpindah keyakinan sementara agar pernikahannya disahkan oleh pencatatan sipil. “Ada juga orang yang secara terpaksa memutuskan berpindah agama hanya untuk menikah. Padahal, untuk memeluk suatu keyakinan, tidak boleh dipaksakan. Hal itu tentu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang menjamin setiap warganya untuk menentukan keyakinannya tanpa tekanan.

Untuk itu Damian, Rangga, serta rekan-rekannya yang lain optimistis gugatannya akan dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

"Kami hanya mengusahakan yang terbaik. Yang akan menentukan untuk mengabulkan adalah hakim konstitusi," ujar Damian.


Editor: Fuad Bakhtiar

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending