KBR, Jakarta - Begitu Jero Wacik ditetapkan sebagai tersangka pemerasan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadang Trisasongko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII) mengaku tak terkejut.
Nama Jero Wacik sendiri sudah masuk dalam radar Komisi Pemberantasan Korupsi ketika ada operasi tangkap tangan pada 13 Agustus 2013. Saat itu KPK menangkap tangan bekas Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Migas (SKK Migas) Rudi Rubiandini di kediamannya, Jalan Brawijaya VIII, Jakarta Selatan. Modus pemerasan yang dilakukan Jero Wacik diantaranya dengan melakukan kegiatan rapat fiktif juga pengumpulan dana rekanan.
Menurut Dadang, Jero Wacik adalah tokoh kunci di kasus ini.
Simak wawancara Sarapan Pagi dengan Dadang Trisasongko, Sekjen TII, pada Kamis (4/9/2014) lalu.
Kalau Anda melihat ini sebuah mafia yang luas atau hanya di pucuk-pucuk saja? karena ada yang menduga ini bisa melibas politisi, pengusaha, dan para pejabat di kementerian.
“Itu tergantung pada temuan tentang sebaran uangnya. Artinya kalau dia terima untuk diri sendiri tapi kalau ada aliran dana ke orang-orang lain itu baru ketahuan. Justru melihat sumbernya juga selain aliran uang itu karena kita tahu petanya, jejaring yang memberikan uang itu kepada Jero Wacik.”
Kalau Anda memetakan ini sebetulnya pemain kuncinya siapa?
“Kalau di kementerian kemudian ada menteri yang terlibat dia salah satu tokoh kuncinya.”
Jadi pucuk tertinggi di menteri ya?
“Iya.”
Apakah memang hanya di ESDM atau marak juga di beberapa kementerian?
“Kalau modusnya menggunakan transaksi pengadaan barang dan jasa secara umum di lembaga-lembaga negara yang sampai saat ini sebetulnya belum bisa diatasi dengan baik. Walaupun sudah ada sistem elektronik tapi transaksi itu selalu saja berada di belakang sistem itu.”
Soal transparansi yang terkait dengan suap pihak swasta terkait Kernel Oil untuk menang tender, sisa jatah minyak pemerintah kita juga baru tahu saat Rudi Rubiandini tertangkap. Artinya ada banyak kegiatan transaksi yang terkait keuangan negara justru tidak diketahui oleh publik, bagaimana jerat-jerat lainnya?
“Sebenarnya ada dua masalah yang serius. Pertama perusahaan-perusahaan yang sudah terdaftar apakah yang dilaporkan sesuai dengan apa yang dia ambil minyaknya. Karena itu terkait juga seberapa besar dia harus bayar pajak kepada negara. Transparansi dan akurasi data macam-macam itu belum optimal, menurut saya masih banyak yang bisa diambil oleh negara di luar yang dilaporkan. Di Indonesia kita itu sudah menjadi bagian dari satu transparansi Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif.”
“Jadi ada kewajiban bagi perusahaan-perusahaan yang sudah mengambil sumber daya alam untuk melaporkan berapa mengambilnya. Informasi berapa ambilnya itu yang sering tidak klop dengan faktanya sehingga kewajibannya untuk membayar ke negara itu tidak sesuai, jauh lebih banyak.”
Kita sedang kesulitan anggaran untuk subsidi dan sebagainya. Kalau transaksi kegiatan perminyakan dan gas pemerintah ini disisir, menyisirnya bagaimana untuk bisa mengoptimalkan pendapatan negara?
“Pemerintah sendiri harus punya satu kebijakan dan dilaksanakan secara bijak untuk transparansi itu. Memastikan betul-betul mereka sesuai dengan yang dia laporkan. Artinya monitoring, evaluasi, memastikan sistem yang bisa diakses oleh pemerintah itu yang harus dilakukan. Sebetulnya kita tidak kekurangan dana kalau kita memang bisa mengambil itu. Tapi masalahnya memang sistem ini dipertahankan tidak transparan karena masing-masing berkepentingan, si pengusaha berkepentingan supaya keuntungannya jauh lebih besar tapi di sisi lain pemerintah mempertahankan sistem ini karena ada keuntungan yang didapat.”