Bagikan:

Dirjen Otda: Kami Terus Lobi Fraksi yang Pilih Pilkada lewat DPRD

Pemerintah ingin meneruskan tradisi Pilkada langsung.

BERITA

Jumat, 12 Sep 2014 10:25 WIB

Author

Nanda Hidayat

Dirjen Otda: Kami Terus Lobi Fraksi yang Pilih Pilkada lewat DPRD

RUU Pilkada, Koalisi Merah Putih, Kemendagri

KBR, Jakarta - Langsung atau lewat DPRD. Perdebatan teknik pemilihan kepala daerah inilah yang tengah mencuat belakangan. Dua kubu di parlemen pasang kuda-kuda dengan sikap mereka masing-masing di RUU Pilkada yang diusulkan oleh Pemerintah ini. Kepada Nanda Hidayat, Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Johan memastikan, Pemerintah memilih untuk meneruskan tradisi Pilkada langsung yang sudah berjalan 10 tahun. 


Bagaimana perkembangan terakhir dari pembahasan RUU Pilkada?


“Kalau perkembangan terakhir pembahasan saat ini sedang dilaksanakan rapat untuk finalisasi. Bentuk rapatnya namanya Rapat Tim Perumus dan Sinkronisasi RUU Pilkada antara pemerintah dengan DPR RI dan juga DPD RI. Di rapat ini akan dirumuskan pasal-pasal terkait RUU Pilkada baik alternatif atau opsi pilkada yang dipilih secara langsung atau pun opsi kedua dipilih lewat DPRD untuk gubernur, bupati, dan walikota.” 


Sikap Kementerian Dalam Negeri sejauh ini seperti apa?


“Posisi pemerintah tetap ingin mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung. Hanya tentu saja harus kita perbaiki segala kekurangannya misalnya ada politik uang, ongkos penyelenggaraan yang mahal, banyak kasus kepala daerah pecah kongsi, ada juga kasus kepala daerah kena proses hukum masuk penjara gara-gara pemilihan kepala daerah secara langsung yang berbiaya tinggi sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dan jabatan.” 


Kementerian Dalam Negeri sudah melakukan kajian, baik buruknya atau hasil kajiannya sementara seperti apa? 


“Ini ada plus minus. Jadi kalau kita memilih kepala daerah secara langsung ada negatifnya ada juga positifnya.”


“Secara langsung positifnya yaitu adanya kepala-kepala daerah yang berprestasi yang hebat seperti Walikota Surabaya, Bandung, Bogor, dan lainnya yang dinilai publik sangat berhasil didalam memimpin pemerintahan daerah. Tapi ada juga kabar buruknya, kabar buruknya itu adalah model dipilih langsung itu makin merajalela politik uang di masyarakat. Jadi ada kecenderungan masyarakat itu memilih karena dipengaruhi oleh money politic. Itu tentu saja tidak baik bagi masyarakat memilih bukan karena calon yang hebat atau program yang bagus, tapi karena dikasih uang atau barang.”


“Kedua kelemahannya biaya yang tinggi, jadi para kandidat termasuk negara mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk penyelenggaraan pilkada. Kalau dari segi kandidat biaya yang besar itu bisa sampair puluhan miliar untuk maju karena dia harus bayar biaya kampanye, saksi-saksi di TPS, sewa kendaraan untuk maju dari partai politik. Itu menelan uang yang tidak sedikit sementara tradisi untuk penggalangan dana dari masyarakat untuk mendapat jabatan publik kan belum berkembang. Jadi kalau running jabatan publik mestinya dari dana publik tapi ini buangnya biaya besar dananya diambil dari kantong pribadi, sponsor, cukong-cukong. Nanti kalau dia sudah menang ingin mengembalikan modal, kasih kompensasi kepada sponsornya. Itu efeknya terjadi penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, pemberian izin-izin yang sembarangan diobral.”


“Lebih jauh efeknya adalah karena proses hukumnya kepala daerah kita sudah 332 orang dari 524 kepala daerah dan wakilnya yang tersangkut soal hukum ini lebih dari 60 persen, itu kelemahannya. Dari segi negara juga kalau pemilihan kepala daerah secara langsung mahal ongkosnya, data kasar sementara bisa sampai Rp 70 triliun untuk pemilihan gubernur, bupati/walikota se-Indonesia. Ini harus juga kita perbaiki karena kita membutuhkan uang untuk membangun daerah. Caranya bagaimana, laksanakan pilkada serentak itu perbaikannya sehingga satu kali pukul dipilih gubernur, bupati/walikota. Dengan demikian bisa terjadi efisiensi dalam biaya negara untuk menjalankan pilkada secara langsung, bisa menghemat sampai 50 persen lebih.” 


Sekarang banyak gerakan di masyarakat menolak pemilihan kepala daerah lewat DPRD karena ini merupakan kemunduran demokrasi, karena kita kembali ke zaman Orde Baru. Tanggapan pemerintah bagaimana? 


“Pemerintah dalam hal ini berpendapat bahwa kita ingin pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat. Masyarakat bisa ikut serta, terlibat dalam seluruh proses pemilihan untuk memilih pemimpinnya maka pemerintah mendukung model mekanisme pemilihan secara langsung.”


“Sekarang memang ada perbedaan dari fraksi-fraksi di DPR RI yang setuju untuk pemilihan secara langsung. Terakhir itu posisinya tiga fraksi yaitu PDIP, PKB, Hanura tapi ada enam lainnya yang setuju menghendaki pemilihan lewat DPRD atau tidak langsung. Pemerintah terus berusaha mengajak fraksi-fraksi yang belum setuju ini untuk bermusyawarah mufakat, bahwa masyarakat faktanya dalam minggu-minggu terakhir ini sangat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung seperti sekarang dengan perbaikan. Kita sedang mencoba persuasi, melakukan lobi-lobi intensif dalam merumuskan RUU Pilkada ini, sehingga apa yang diharapkan masyarakat bisa diterima dan diadopsi oleh fraksi-fraksi yang belum sependapat dengan usulan pemerintah.” 


Perbaikan berarti ada opsi bila nanti diketok palu di paripurna DPR?


“Iya tentu kita masih berkembang masih dalam rapat tim perumusan. Kita ikuti dulu bagaimana pilihan-pilihan yang akan dibuat. Tapi setidaknya memang yang terjadi ada dua opsi, satu mekanisme pemilihan secara langsung dan kedua tidak langsung atau lewat DPRD. Nanti kita coba bahas bersama kedua opsi ini setelah kita selesaikan rumusan pasal-pasalnya. Jadi rumusan pasal-pasal itu nanti ada dua draft, satu yang draft pemilihan secara langsung dan kedua draft pemilihan tidak langsung lewat DPRD. Nanti di ujungnya kita coba membuat kesepakatan kita harus memilih salah satu, mudah-mudahan tidak dengan cara voting tapi musyawarah mufakat.” 


Dari beberapa fraksi yang menolak apa sebenarnya keberatan dari dua opsi yang ditawarkan? 


“Tentu ada alasan-alasannya dari fraksi-fraksi. Terutama tentu yang terkait dengan politik transaksi dan biaya tinggi, mahalnya ongkos pemilihan, penyelenggaraan pilkada yang dilakukan penyelenggara belum profesional. Disamping itu juga ada alasan dari segi aspek masyarakat yang dalam memilih itu dicemari oleh politik uang. Tambah lagi juga ada faktor terjadinya politisasi birokrasi oleh kepala daerah terpilih dengan model pemilihan secara langsung setelah memenangi pilkada, pegawai negeri sipil ini dibawa ke ranah politik akibatnya tidak netral lagi. Sehingga program-program pemerintah menjadi terganggu, jalannya pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat juga. Ini alasan-alasan kalau dipilih secara langsung. Tapi kembali pikiran kita adalah bagaimana tetap mempertahankan dengan perbaikan yang menyeluruh di seluruh electoral process.” 


Kalau bicara fraksi di DPR, biasanya Demokrat selalu mendukung kebijakan pemerintah tapi kali ini berbeda. Tanggapan Anda seperti apa? 


“Inilah dinamika politik. Semula memang kami selalu seiring sejalan dalam usulan-usulan pemerintah tapi sekarang ada perkembangan-perkembangan. Kita juga masih terus melakukan pendekatan dengan semua fraksi, termasuk dengan Fraksi Partai Demokrat.” 


Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tadinya mendukung pelaksanaan pilkada secara langsung sekarang mendukung lewat DPRD dengan alasan bahwa sebaiknya kita menguji dulu seberapa baik proses pilkada langsung itu. Bukankah waktu 10 tahun sudah ada hasil kajiannya? 


“Iya ini soal dinamika politik juga. Soal perkembangan pemikiran pendapat dari fraksi-fraksi yang ada di DPR termasuk PKS. Tapi ini belum final, jadi kita masih ada waktu mudah-mudahan kita kembali ke semangat yang pernah dulu sama-sama  terbangun untuk memilih kepala daerah secara langsung.” 


Poin perdebatannya masih seperti yang Anda katakan tadi atau ada opsi lain?


“Sekarang sudah perumusan pasal-pasal. Jadi kita tidak lagi ada perdebatan, perdebatan sudah kita anggap cukup. Sekarang merumuskan pasal-pasal yang kalau RUU pilkadanya secara langsung mana pasalnya, kemudian kalau mekanismenya pemilihan secara tidak langsung mana pasalnya. Jadi dua draft, kemudian kita satukan kedua draft ini mudah-mudahan pilihan terbaik yang diambil oleh DPR yang sesuai dengan apa yang jadi harapan dan keinginan masyarakat.”


Apa yang Anda ingin sampaikan kepada masyarakat dari Aceh sampai Papua terkait dengan RUU Pilkada?


“Jadi kepada masyarakat kami pemerintah bersama-sama dengan DPR tentu ingin memberikan yang terbaik dalam pembuatan kebijakan yang bernama Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah. Supaya pemilihan kepala daerah kita ke depan berhasil memilih pemimpin pemerintahan daerah yang kompeten, terhindar dari praktik-praktik kotor politik uang misalnya. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan pembangunan daerah, kesejahteraan masyarakat daerah, pelayanan publik yang lebih baik di daerah itu bisa kita wujudkan.”


     

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending