Bagikan:

Parpol Islam Jangan Terus Mengekor Partai Nasionalis yang Berkuasa

KBR68H, Jakarta - Indonesia pernah memiliki partai Islam yang kuat dan berpengaruh bernama Partai Masyumi. Partai ini mendapatkan suara terbanyak kedua pada pemilu 1955. Partai beraliran Islam modern ini bahkan pernah menguasai pemerintahan dengan menempa

BERITA

Kamis, 19 Sep 2013 09:42 WIB

Parpol Islam Jangan Terus Mengekor Partai Nasionalis yang Berkuasa

parpol islam, partai nasional, tokoh islam, PBB, PKB

KBR68H, Jakarta - Indonesia pernah memiliki partai Islam yang kuat dan berpengaruh bernama Partai Masyumi. Partai ini mendapatkan suara terbanyak kedua pada pemilu 1955. Partai beraliran Islam modern ini bahkan pernah menguasai pemerintahan dengan menempatkan M.Natsir sebagai perdana menteri.

Benih Masyumi sebagai partai politik sudah ada sejak zaman belanda. Masyumi berakar pada Majelis Tinggi Islam Indonesia (MIAI) bentukan penjajah Belanda pada 1937. Namun, Belanda membubarkan perkumpulan ini pada 1943 karena tidak kooperatif. Pada 1943, penjajah Jepang membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai kelanjutan dari MIAI.
 
MIAI dan Masyumi bagaimanapun memiliki sejumlah perbedaan dalam gerak organisasi. Pakar politik Siti Zuhro membandingkan, Belanda ketika itu tidak menghendaki ekspresi politik Islam. Selama menjajah, Belanda mengarahkan penghayatan Islam sekedar pada ritual seperti sholat dan naik haji.

“Belanda melarang politik Islam karena cemas mengancam kekuasaan kolonial,” tuturnya, dalam program Agama dan Masyarakat di KBR68H dan Tempo TV, Rabu (18/9).

Pada 1926/27, pemberontakan nasional Partai Komunis Indonesia terhadap Belanda ketika itu memang banyak mengekspresikan diri dalam Islam politis. Larangan memasukan politik dalam Islam dicabut ketika Jepang mendirikan Masyumi. “Jepang mengizinkan politik Islam agar bangsa bisa militan. Tapi, tujuannya untuk membantu Jepang,” kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia tersebut.
 
Partai Bulan Bintang, yang mengklaim sebagai penerus Masyumi, membantah keberlanjutan Masyumi Jepang dengan yang kemudian menjadi partai politik ketika Indonesia merdeka. Ketua Majelis Syuro PBB, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, “3 November 45, ada kongres umat islam dan kesepakatannya mendirikan partai politik baru dan namanya partai politik Islam Indonesia ‘Masyumi’”.

Ketika itu, Agus Salim yang sempat menjadi Wakil Menteri Luar Negeri mengusulkan “Partai Rakyat Islam” sebagai nama. Menurut bekas Menteri Hukum dan Ham itu, kongres memilih nama Masyumi karena terlanjur banyak dikenal. Pada Kongres Nahdatul Ulama di Palembang 1952, kelompok ini akhirnya memisahkan diri dari Partai Masyumi. Sehingga, Partai Masyumi setelah kemerdekaan kehilangan unsur Islam tradisional yang sebelumnya tergabung ketika zaman Jepang. 

Setelah reformasi membuka gerbang kebebasan berorganisasi, Partai Bulan Bintang berdiri dengan niat meneruskan cita-cita Masyumi. Namun, partai ini tidak lolos ambang batas parlemen pada pemilu 2009. Meskipun begitu, partai yang mengambil lambang persis dengan Masyumi ini masih memiliki setidaknya 400 perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketua Majelis Syuro Yusri Ihza Mahendra mengatakan, partai Islam tersebut tidak mampu meraup suara karena kecenderungan pragmatis para pemilih. “Kita tidak bisa samakan dengan tahun 1950an,” katanya. 

Ia mengeluhkan sikap pemilih yang doyan menerima sogokan dalam menentukan pilihan dalam bilik suara. Sementara itu, partai-partai Islam termasuk PBB tidak memiliki uang untuk mengelola media besar dan mendidik masyarakat. Ia membandingkan ketika dulu Masyumi hidup, orang memilih partai karena ideologi. Ketika itu, kelompok Islam yang modernis akan memilih Masyumi dan yang tradisional NU.

Sementara itu, kelompok abangan tertampung dalam Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia. Secara global, Yusril juga menekankan ada perbedaan mencolok. Dulu kelompok Islam modernis dipandang barat sebagai mitra dalam berseteru dengan komunis. Namun, kini kelompok Islam menjadi musuh barat.
Kecenderungan pemilih seperti itu dibenarkan oleh pakar politik Siti Zuhro. Namun, ia yakin partai Islam bisa menjadi setidaknya partai tengah dan bahkan berkembang menjadi partai besar. Syaratnya, partai Islam mesti melakukan terobosan.

“Partai Islam harus introspeksi dan belajar dari sejarah kejayaan Masyumi. Apa yang bikin mereka dulu jaya?” tanyanya.

Menurut Siti Zuhro, jawabannya ada pada tawaran solusi bagi permasalahan-permasalahan masyarakat. Ia mengusulkan partai Islam menjadi partai yang mengusung slogan anti korupsi dan mewujudkan slogan itu dalam berpolitik. Sikap bersih terebut, selain sesuai dengan nilai-nilai Islam untuk mewujudkan masyarakt madani, menjawab kebutuhan tuntutan reformasi akan pemberantasan korupsi.

Partai-partai Islam juga perlu bersatu dan mengusung tokoh-tokoh mereka. Menurutnya, partai-partai Islam tidak kekurangan tokoh. “Di Partai Bulan Bintang ada Yusril dan PKB ada Mahfud,” katanya. Bekas ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud.MD bahkan bisa diterima lintas partai Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan. Dengan begitu, partai-partai Islam bisa merebut kekuasaan dan tidak terus mengekor dalam koalisi ketika partai nasionalis berkuasa.  
Editor: Doddy Rosadi

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending