KBR68H, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri siap melakukan terobosan sebagai solusi untuk pemberhentian kepala daerah (Kada) yang jadi calon anggota legislatif (caleg) dan sudah masuk daftar calon tetap (DCT). Mereka menilai, terlalu lama jika pemberhentian harus menunggu sidang paripurna dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Apakah rencana Kemendagri itu tidak melanggar UU? Simak perbincangan penyiar KBR68H Sutami dan Rumondang Nainggolan dengan pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin dalam program Sarapan Pagi.
Kepala daerah yang masuk secara DCT itu pengunduran dirinya harus melewati proses paripurna terlebih dahulu namun akan di-bypass oleh Kemendagri. Secara tata negara bagaimana?
Jadi filosofi jabatan itu adalah kewajiban yang harus dijalankan seseorang. Jadi ketika seseorang terpilih sebagai bupati atau gubernur maka esensinya dia sedang melakukan kontrak pada warga negara itu untuk menjalankan tugasnya selama lima tahun. Kalau dia mau menjadi menteri, menjadi calon presiden, calon legislatif maka sebaiknya dia tidak mengabaikan institusi yang bernama DPRD itu. Maka memiliki basis konstitusional ketika proses pengunduran diri tersebut harus melalui DPRD. Pertanyaannya sekarang bagaimana kalau pemerintah pusat mem-bypass itu, tergantung apakah konstruksi Undang-undang itu memberikan ruang yang seperti itu atau tidak. Kalau tidak memberikan ruang seperti itu maka pemerintah tidak memiliki basis cantolan konstitusional untuk memotong leher kepala daerah itu. Kecuali misalnya kepala daerah itu minta izin ke pemerintah pusat namun pemerintah pusat tidak mengizinkan maka itu memiliki cantolan konstitusional. Tapi itu pun kalau tidak diizinkan tidak otomatis pemerintah pusat melakukan bypass terhadap pranata kepala daerah yang sudah dipilih oleh rakyat di daerah itu. Suatu saat kalau seperti ini rakyat daerah bisa jadi tersinggung sama pemerintah pusat, bagi rakyat tidak masalah dia mau nyaleg.
Dikhawatirkan juga kalau dia masih menjabat menjadi kepala daerah ini juga ambigu posisinya atau dapat memanfaatkan jabatannya bagaimana?
Kalau memanfaatkan jabatannya bisa ditangkap dia.
Berarti proses pengawasannya yang harus diperkuat?
Ya iya dong itulah gunanya ada institusi pengawasan ada namanya Bawaslu, polisi, jaksa, KPK. Bagaimana kalau presiden nyalon lagi untuk periode berikutnya boleh tidak, apakah dia harus mundur jadi presiden.
Kalau mengajukan cuti bagaimana?
Tidak ada cuti-cuti kan kewajibannya lima tahun.
Jadi tidak perlu melakukan pengunduran diri dari jabatan itu?
Tidak, kalau pengunduran diri silahkan tapi kalau mem-bypass jangan. Mengundurkan diri silahkan disetujui tidak oleh DPRD dan pemerintah pusat. Saya kasih contoh ya, tiba-tiba ada gubernur di republik ini calon presiden, bisa tidak langsung dicopot jabatannya dari gubernur.
Tapi aturan sebelumnya kalau dalam konteks ini adalah pengunduran diri yang disyaratkan KPU kepada kepala daerah tersebut bagaimana?
Iya pengunduran diri boleh tapi apakah KPU berwenang mengatur rezim pemerintahan daerah itu persoalannya.
Berarti prosesnya tetap harus berjalan ada mekanisme paripurna seperti disetujui baru boleh begitu ya?
Logika konstitusionalnya begitu, kecuali Undang-undang berkata lain. Tapi sampai sekarang sepengetahuan saya tidak ada Undang-undang yang begitu . Kalau peraturan di bawah Undang-undang mungkin banyak, itu yang tidak boleh.
Artinya kalau mau bypass mau tidak mau pemerintah mengajukan judicial review terlebih dahulu?
Bukan soal judicial review, jangan bypass itu saja. Bayangkan kalau ada gubernur mencalonkan diri jadi presiden dicopot dia oleh pemerintah pusat, masyarakat marah.