Bagikan:

Evaluasi Internal MA, Baru Seleksi Lagi Hakim Tipikor

KBR68H, Jakarta - Dari 289 peserta hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor), Mahkamah Agung (MA) akhirnya hanya meloloskan satu nama.

BERITA

Senin, 02 Sep 2013 16:57 WIB

Author

Doddy Rosadi

Evaluasi Internal MA, Baru Seleksi Lagi Hakim Tipikor

hakim tipikor, seleksi, mahkamah agung, ICW

KBR68H, Jakarta - Dari 289 peserta hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor), Mahkamah Agung (MA) akhirnya hanya meloloskan satu nama. Juru bicara Mahkamah Agung Ridwan Masyur mengatakan, hakim tersebut adalah Timbul Priyadi yang lolos dalam pengadilan banding. Menurut Ridwan, mencari hakim ad hoc Tipikor pada tingkat pengadilan tinggi memang sulit dicari. Lalu apa solusi untuk mengatasi masalah ini? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Novri Lifinus dengan peneliti ICW Tama S Langkun dalam program Sarapan Pagi


Krisis yang dialami Indonesia didalam menyeleksi hakim tindak pidana korupsi sebetulnya pangkal masalahnya ada dimana?

Sebenarnya kita kemarin sudah ke Mahkamah Agung. Artinya Mahkamah Agung meminta atau dalam arti menyeleksi, kita sudah menemuinya dan kita memberikan catatan-catatan. Secara prinsip kita melihat orang-orang yang kemudian lolos lewat seleksi itu sangat tidak kita rekomendasikan dari 40 orang yang lolos. Kenapa, karena ada beberapa di antara mereka justru belum punya atau history terkait dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi.
 
Jadi dari empat puluhan itu tidak ada satupun direkomendasikan oleh ICW?

Iya ICW tidak merekomendasikan satupun. Harapan kita sebetulnya orang-orang yang jadi hakim orang-orang yang punya pengalaman di bidang anti korupsi. Pertama misalnya disebutkan secara syarat ya, syarat di situ 15 tahun bekerja di bidang hukum tapi ada beberapa kita temukan justru belum 15 tahun. Lamanya 15 tahun ini bukan diukur dari lamanya dia lulus kuliah di fakultas hukum, tapi 15 tahun bekerja di bidang hukum. Itu beberapa yang menurut kami belum memenuhi persyaratan, itu baru administratif belum lagi misalkan temuan-temuan lain yang sudah kita sampaikan. Secara prinsip kita tidak merekomendasikan sebelum Mahkamah Agung melakukan evaluasi di internal.

Dari empat puluhan nama itu berapa yang terindikasi tidak lurus jalannya?

Secara persentase memang kita sampaikan dengan sangat terbatas kepada Mahkamah Agung. Tapi secara prinsip kita tidak merekomendasikan, karena ada beberapa juga yang kita anggap job seeker. Ad hoc ini misalnya ada yang pengacara, kita track di tempatnya bekerja tidak banyak klien,tidak banyak terlihat aktifitas kemudian jadi hakim tipikor dan dia lolos seleksi. Seperti ini kemudian tidak melihat penolakan terhadap korupsi, apalagi kita melihat ada beberapa hakim justru selama beberapa tahun terakhir menjadi pelaku tindak pidana korupsi sudah beberapa tersangka ini bahaya. Artinya yang perlu kita kedepankan adalah evaluasi dulu di internal baru Mahkamah Agung melakukan seleksi lagi.

Ada usulan dari beberapa pihak supaya seleksi hakim tipikor dihentikan sementara, apakah anda melihat ini solusi yang bisa kita lakukan?


Saya rasa itu menjadi salah satu alternatif pilihan melihat kondisi yang seperti ini. Artinya gagasan moratorium itu kita rekomendasikan kepada Mahkamah Agung, jadi Mahkamah Agung melakukan evaluasi dulu. Tapi betul soal misalkan hakimnya secara integritas rekam jejaknya bagus, oke dia bisa jadi hakim tipikor. Tapi setelah dia menjalani kemudian ada godaan dan sebagainya berarti kontrol internal tidak berjalan, artinya fungsi-fungsi pengawasan internal tidak berjalan.

Disebutkan juga moratorium sementara, tapi ditengah banyaknya kasus korupsi bagaimana jalan keluarnya?

Sebetulnya ini dilematis. Memang sulit sekali, Undang-undang memerintahkan setiap pengadilan tipikor harusnya memang tidak menjadi kebutuhan. Tetapi kalau kita kembali sebetulnya gagasan awal alangkah baiknya tipikor dibuat beberapa region, tidak dibuat di semua provinsi. Karena seperti ini kasusnya, di satu sisi Mahkamah Agung terbebani mencari hakim-hakim untuk lokasi, penyiapan, dan sebagainya. Belum lagi keluhan datang dari jaksa, misalnya ada perkara korupsi di Merauke dia harus sidang di Jayapura. Ini butuh waktu, artinya transportasi belum lagi berhari-hari, tahanan dititipkan di pengadilan, mereka butuh transportasi, dan sebagainya. Artinya seperti ini ke depan justru melihat jaksa terbebani, hakim terbebani, dan Mahkamah Agung terbebani. Makanya evaluasi dulu yang kita harapkan, jadi dimoratorium dulu karena waktunya masih cukup kalau kita menilai. Tapi harus segera karena sekarang sudah tiga tahun berjalan sedangkan hakim ada lima tahun waktunya, masih ada dua tahun lagi terakhir. Misalnya dari awal kita memantau beberapa lokasi soal seleksi hakim tipikor. Pada saat seleksi terakhir itu kita juga melihat misalnya ada beberapa hakim secara administratif tidak memenuhi syarat. Seperti di Manado misalnya, kita cek ada beberapa hakim yang justru berada dalam pengawasan masyarakat karena terindikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan. Kemudian juga cara dia untuk memenuhi syarat administratif itu diduga ada beberapa yang tidak mendapat rekomendasi dari pengadilannya sendiri, itu terjadi. Tetapi sekarang sudah berjalan dan ini sama sekali luput dari pengawasan, baik dari internal Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial. Kita sebetulnya sangat mengharapkan ada kerjasama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial, dari internal dilakukan upaya-upaya yang sangat serius kemudian juga Komisi Yudisial sebagai pihak eksternal juga evaluasi di sana. Kalau ada hakim-hakim ada pelanggaran kode etik langsung direspon, jadi tidak keburu sampai dia menerima suap dan sebagainya.
 
Tapi kalau alasan KY kekurangan tenaga bagaimana?

Kalau soal itu tentu KY menggandeng masyarakat di sana, kemudian menggandeng pihak-pihak lain yang punya kepentingan pemberantasan korupsi di daerah. Ini juga harus dibangun  hubungannya,sehingga kontrol bersama-sama. Karena yang tahu persis bagaimana kondisi hakim itu kadang-kadang masyarakat, mereka ikut sidang atau memantau sidang. Tetapi putusannya janggal masyarakat eksaminasi atau dari informasi-informasi dugaan suap itu juga dari masyarakat kemudian dimintai uang. Ini terjadi dan kemudian luput, kemudian secara internal di Mahkamah Agung juga kita tidak melihat adanya upaya pembinaan yang berjalan lurus dengan upaya promosi. Ada hakim-hakim yang punya catatannya kurang bagus di daerah justru ditarik ke pusat dan punya posisi. Harusnya hakim-hakim yang kemudian mencederai, kena sanksi itu tidak diberi kesempatan kalau perlu begitu mereka punya catatan sangat serius langsung dicopot. Ketegasan seperti ini yang tidak ada, sehingga hakim-hakim yang punya catatan buruk justru terpelihara.

Anda menyebut dibuat region, kalau menurut ICW berapa jumlah idealnya?

Ya di kota-kota besar saja harapan kita. Selain beberapa region atau misalnya ada di dalam pengadilan negeri mereka, artinya satu tubuh dengan pengadilan negeri tapi memang ada yang khusus di bidang korupsi. Jadi tidak harus betul-betul membentuk satu peradilan kemudian harus menginduk, artinya biaya ATK dan sebagainya.

Perkiraan berapa?

Sejauh ini cukup dites di lima region sehingga kita bisa terfokuskan pada lima tempat. Itu mengontrolnya jauh lebih mudah ketimbang kita mengontrol di tiga puluhan provinsi. Sehingga untuk anggaran bisa dipikirkan bagaimana fokus di lima daerah tersebut, kemudian sidang-sidang juga mulai direncanakan dari Mahkamah Agung misalnya menghubungi kejaksaan-kejaksaan yang dekat dengan lokasi. Jadi kalau ada kejaksaan-kejaksaan yang di daerah ingin menyidangkan itu berkoordinasi dengan jaksa-jaksa yang ada di wilayah yang dekat dengan pengadilan tipikor. Memang mekanismenya tetap akan menimbulkan cost, tapi memang tidak ada pilihan karena Undang-undang memerintahkan demikian. Daripada kemudian tiga puluh seperti sekarang kondisinya sangat sulit misalnya, begitu ada temuan di daerah mana makin kacau jadinya.    

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending