Bagikan:

Awasi Dana Parpol

KBR68H- Pada pemilu 2009, partisipasi masyarakat dalam menentukan nasib bangsa hanya mencapai 70%. Angka ini semakin turun jika memperhatikan pemilukada baru-baru ini.

BERITA

Selasa, 24 Sep 2013 06:59 WIB

Awasi Dana Parpol

parpol, pemilu, pendanaan

KBR68H- Pada pemilu 2009, partisipasi masyarakat dalam menentukan nasib bangsa hanya mencapai 70%. Angka ini semakin turun jika memperhatikan pemilukada baru-baru ini. Anggota Badan Pengawas Pemilu Nelson Simanjuntak mencermati, angka partisipasi masyarakat kebanyakan hanya 60%. Ini bisa muncul karena masyarakat semakin tidak percaya pada partai politik. Bagaimana tidak, Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut parlemen sebagai salah satu lembaga negara terkorup karena banyak anggotanya yang tersandung korupsi.

Wakil Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan, penelitian ICW menemukan partai politik mengkorupsi anggaran negara untuk menghidupi kegiatan-kegiatan politiknya. Ini karena sistem pendanaan di partai politik, terutama untuk keperluan kampanye, tidak berjalan semestinya. Sementara itu, aturan pendanaan kampanye partai milik Komisi Pemilihan Umum diperkirakan memiliki banyak celah. 

Partai Indonesia Gemar Mengaku Miskin


Indonesian Corruption Watch mencermati ada kejanggalan dalam laporan dana keuangan partai-partai politik. Laporan keuangan partai tidak mencerminkan pengeluaran partai yang sesungguhnya. “Kami amati, partai pendapatan mengaku kecil tapi pengeluaran besar,“ ungkap Wakil Koordinator lsm anti-rasuah tersebut. Ia menambahkan, partai-partai di Indonesia gemar mengaku miskin.

Anggota Badan Pengawas Pemilu Nelson Simanjuntak mengatakan, kejanggalan semacam itu bisa terjadi karena partai politik menggunakan celah peraturan laporan dana kampanya. Ia mencontohkan cara partai politik mengakali batasan penyumbang maksimal.

“Perusahaan bisa lampaui batas sumbangan maksimal ke partai lewat anak perusahaannya,” kata Nelson. Ini karena aturan tidak terang membedakan sejauh mana pengertian perusahaan berbeda dengan grup perusahaan. Meskipun Komisi Pemilihan Umum membuat kemajuan dengan memaksa penyumbang perseorangan membeberkan identitas dan menyebut uang itu bukan hasil korupsi, ia mencermati partai masih mengakali celah itu dengan memecah uang sumbangan.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan membenarkan hal itu. “Penyumbang biasanya dipecah-pecah. Ada sopir kepala dinas pernah menyumbang puluhan juta dalam pilkada Banten,” kata Ade mencontohkan.

Menuju Partai Politik Tanpa Korupsi

ICW mengaku pernah meneliti penyebab kader-kader partai melakukan korupsi di DPR. Wakil Koordinator ICW Ade Irawan mengatakan, kader berduit yang banyak menyumbang pada partai biasanya akan mendapatkan posisi strategis dalam struktur kepemimpinan. Sebaliknya, kader berkantong cekak tidak akan mendapat posisi strategis meskipun memiliki integritas baik. Ini menyusul sumber pendanaan partai yang hanya mengandalkan uang dari anggotanya di jabatan publik seperti parlemen.

“Idealnya partai didanai anggota dan konstituen sehingga mesti bertanggungjawab pada konstituen mereka,” tuturnya. Ia optimis korupsi akan semakin minim jika pendanaan partai dengan cara itu berhasil mencukupi kebutuhan partai. Namun, banyak partai enggan mendidik kadernya dan memilih jalan pintas dengan korupsi dan mencari dana dari pengusaha besar. Akibatnya, kandidat yang terpilih tersandera oleh pengusaha yang menyumbang dana. Ironisnya, tidak jarang pengusaha itu tengah haus berburu penerbitan-penerbitan izin.

Ade menambahkan, aturan KPU mesti memuat sanksi tegas bagi mereka yang melakukan pelanggaran terhadap dana partai. Selama ini, KPU baru sekedar menjatuhkan sanksi sosial dengan mengumumkan pada publik mereka yang tidak transparan dalam pengelolaan dana.

Anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak menambahkan, aturan tegas tentang dana partai ini sebenarnya sudah ada. “Ada sanksi pidana jika partai tak kembalikan uang yang dilarang menjadi sumber pendanaan kampanye,” tambahnya. Namun, aturan ini tidak didukung dengan sistem pengawasan yang ketat.

Ia mencontohkan, audit terhadap dana kampanye partai memang dilakukan oleh auditor independen. Sayangnya, metode audit baru sebatas sampling dan tidak investigatif. Akibatnya, para auditor itu tidak mudah menemukan kejanggalan dari dana tersebut.

Selain itu, batas waktu penyelidikan terlalu mepet. Bawaslu hanya diberi waktu kurang dari seminggu untuk menemukan bukti-bukti adanya pelanggaran. Akibatnya, banyak temuan kecurigaan dana lolos. Nelson mencontohkan, pada pemilu presiden lalu ada calon yang menerima dana asing sebesar Rp 2,5 miliar. Padahal,  sumber pendanaan asing tidak diizinkan untuk kampanye dan mesti dikembalikan pada negara. Namun, tim ini menghilangkan sumber ini dalam laporan dana kampanye.

Editor: Suryawijayanti 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending