KBR68H, Jakarta - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat makin tergerus. Rupiah bahkan sempat tembus di posisi Rp11.000 per dolarnya. Hal ini jelas berdampak lanjutan. Mulai makin turunnya daya beli masyarakat, karena sebagian produk turut terkerek pasca-kian gagahnya dolar Amerika. Bagaimana nasib bisnis ritel dan manufaktur Indonesia, seperti pusat penjualan produk-produk elektronik? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Quinawaty Pasaribu dengan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta dalam program Sarapan Pagi.
Tentang rupiah anjlok ini pengaruhnya pada ritel bagaimana?
Sebetulnya sudah ada fase kenaikan dengan adanya kenaikan bahan bakar minyak sebelumnya waktu menjelang lebaran terus setelah lebaran ini kita dikagetkan dengan pelemahan nilai tukar yang begitu drastis. Kalau ini stabil terus sampai kira-kira satu dua minggu lagi pasti tidak bisa ditahan kenaikan harga ini. Ini gejolaknya masih fluktuatif, sementara kita masih memantau dengan para industri pemasok kita. Jadi ritel ini menjual produk-produk hasil industri dalam negeri dan impor. Yang bisa serta merta naik biasanya yang fully impor dan barang-barang elektronik yang mereka impor langsung.
Yang impor langsung itu seperti apa?
Elektronik kita juga banyak. Kita sendiri sementara ini boleh dikatakan hampir 95 persen lebih impor semua.
Kalau di luar elektronik apa?
Contoh buah-buahan impor, daging impor. Sebetulnya niat-niat pemerintah dikeluarkan, itu hanya dikeluarkan saat-saat kita ini terjadi krisis, saat-saat kita ini dikagetkan dengan hal-hal beginian. Kita pelaku usaha, kita hanya lihat riil di lapangan yang menunjukkan tidak ada perbaikan dari apa yang diomongkan.
Harga barang-barang ini berarti yang komoditi dalam negeri masih belum naik ya?
Masih bertahan. Tetapi indikasi kenaikan sudah dibicarakan terus oleh pemasok kita, kita bilang daya beli masih lesu.
Rata-rata berapa mereka bakal menaikkan?
Sekitar 5 persen sampai 10 persen tidak bisa dihindari karena tidak ada bahan baku di Indonesia yang tidak terlepas dari nilai tukar.
Kalau ini bertahan selama dua pekan atau satu bulan ini kemungkinan berapa persen kerugian atau penurunan omzet?
Sementara kalau kita sebut rugi terlalu didramatisir. Memang kita coba bertahan dengan adanya kelesuan ini tetap masyarakat harus membeli karena harus makan. Ini yang kita harapkan jangan sampai daya beli merosot habis-habisan. Bukan hanya kita yang rugi, semua bangsa ini akan rugi pasti akan kacau ini yang kita tidak mau. Sampai seberapa besar pemerintah dapat menahan secepatnya, saya kira memang tidak bisa buru-buru. Yang dikeluarkan paket pemerintah hari ini sangat masih normatif seperti menggalakkan investasi, barang-barang seperti itu perlu waktu jangka panjang.
Kalau jangka pendek yang harus dilakukan apa?
Saya kira harus menjaga kestabilan rupiah secepat-cepatnya, tidak bisa tidak. Kalau fluktuatif seperti roller coaster kita tidak bisa dagang, pelaku usaha kecil ini bahkan bisa rugi kalau tidak tepat. Contoh mereka beli satu produk pada saat si produsen jualnya mahal karena memang dia tidak mau rugi eh tahu-tahu besok rupiah kuat dia juga bingung jualnya. Pelaku usaha ingin kestabilan agar bisa menentukan harga jual, sekarang ini kadang-kadang orang menahan barang bingung dia naikkan barang dia dimaki orang atau pelanggan dia, tapi kalau dia tidak naikkan kalau besok lusa harga barangnya naik dia tidak bisa beli dalam jumlah yang sama.
Pelemahan nilai tukar sudah terjadi beberapa pekan terakhir, dampak penurunan margin yang sudah anda rasakan berapa besar?
Kalau bicara ritel ini kita lihat sudah dari awal kuartal pertama puncaknya di Ramadhan dan Idul Fitri. Teman-teman sudah teriak target-targetnya meleset semua 5 persen sampai 10 persen, berarti mengindikasikan apalagi dengan kurs yang demikian pasti terjadi kenaikan lagi harga-harga barang. Ritel ini terpengaruh oleh ekonomi makro kita, ekonomi makro kita sakit ritel juga sakit. Kelesuan ini sudah mencapai 10 persen. Memang setelah lebaran pasti ada pelemahan daya beli, tapi ini lesunya di luar kewajaran yang biasa kita alami.