KBR68H, Jakarta - Selain pemiskinan, upaya untuk mencari efek jera dari pada koruptor, yakni penghapusan hak-hak politiknya. Koruptor, selain dipidana atas tindak pidana yang dilakukannya, juga perlu diberi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik, sehingga setelah bebas dari penjara kelak, dia tidak bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPR yang mengawasi penegak hukum. Bisakah aturan ini diterapkan? Simak perbincangan pemyiar KBR68H Agus Luqman dan Sutami dengan juru bicara KPK Johan Budi dalam program Sarapan Pagi
Soal pencabutan hak politik para koruptor, sebenarnya apa dasar hukumnya?
Sebenarnya KPK menggunakan aturan yang ada di dalam Undang-undang terutama di Pasal 18 Undang-undang KPK yang mengacu pada Pasal 18 KUHP. Dimana di sana ada namanya tambahan pidana, hukuman dalam konteks dakwaan atau tuntutan kepada seorang terdakwa. Dalam Pasal 10 KUHP adalah mencabut hak memilih dan dipilih, bukan hak politik sebenarnya. Jadi ini hukuman tambahan, tujuannya adalah menurut KPK dan ke depan ini dalam rangka mencapai efek jera orang sudah dituntut penjara, ganti rugi yang besar ditambah lagi dicabut hak memilih dan dipilih dengan kaitan pejabat publik. Karena pelaku tindak pidana korupsi telah mencederai masyarakat.
Jabatan publik maksudnya mulai level pemerintahan sampai jadi anggota DPR?
Betul.
Kalau di Undang-undang Pemilu persyaratan menjadi calon anggota legislatif misalnya setia pada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, proklamasi dan sebagainya. Koruptor jelas mencederai syarat ini ya?
Kalau di dalam konteks syarat Undang-undang di politik memang ada syarat-syarat itu. Tapi dalam praktiknya anda masih ingat ada seorang pidana yang kemudian menjadi Setda kembali meskipun akhirnya dia tolak, kemudian ada juga terpidana yang mencalonkan diri jadi caleg tidak jadi juga. Ini menjadi tujuan efek jera dalam penanganan kasus korupsi jadi biasa saja. Kalau orang mau berlaku tindak pidana korupsi harus ada hukuman, bahwa kita sepakat korupsi itu kejahatan luar biasa, melanggar HAM.
Jadi tidak ada salahnya kita mencabut hak dia yang dianggap melanggar HAM karena dia melanggar HAM kita duluan?
Iya melanggar HAM jutaan orang.
Itu konsekuensi ya?
Ini ada dasar hukumnya, KPK tidak ngawur. Seperti saya sampaikan ada di dalam Undang-undang Tipikor.
Bisa diterapkan kepada semua koruptor atau tidak ada batasan tuntutan hukuman?
Kalau di dalam aturan Undang-undang itu yang berkategori berat sehingga bisa diusulkan ada tambahan hukuman. Tapi ini memang pertama kali dipakai oleh KPK.
Tuntutan pertama disampaikan kepada Pak Djoko Susilo terdakwa dalam kasus simulator SIM dan pencucian. Ada tuntutan serupa selain Pak Djoko?
Ke depan tentu semaksimal mungkin tujuan KPK adalah satu membuat efek jera sehingga korupsi menjadi hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi menjadi hal yang sangat menakutkan. Kedua memiskinkan, jadi sebanyak mungkin KPK berusaha agar sebesar mungkin harta negara yang dikorup bisa dikembalikan juga sebesar mungkin kepada negara. Tidak hanya sebatas pada ruang lingkup korupsi yang dituduhkan satu kasus. Tapi banyak yang lain dimana harta yang dia peroleh tidak wajar itu juga harus dipertanggungjawabkan oleh si empunya harta itu karena pakai pasal-pasal TPPU.
Berarti bola sekarang ada di tangan hakim? KPK sendiri optimis?
Kita bagaimana juga menghormati proses hukum di pengadilan. KPK semaksimal mungkin berusaha menghadirkan bukti-bukti yang kuat, mencoba untuk lebih keras dalam kaitan melakukan pemberantasan korupsi. Sehingga perasaan masyarakat, pesimistis masyarakat bisa dikembalikan menjadi sebuah harapan. Jadi mereka bisa berharap lebih besar, bahwa pelaku tindak pidana korupsi bisa jera.
Untuk para terpidana lain misalnya Nazaruddin ini tidak bisa dijerat dengan tuntutan yang sama?
Kalau kasusnya masih dalam proses pengusutan bisa digunakan. Kalau sudah lewat ya tidak bisa diulang kembali.
Berarti jaksa penuntut umum nanti yang harus meyakinkan hakim bahwa ini pantas diberikan hukuman?
Betul.
Sudah siapkah jaksa sejauh ini?
Yang kami lakukan bahwa menghadirkan bukti-bukti yang kuat, tidak lagi dua bukti tapi kalau bisa berlapis-lapis. Sehingga hakim menjadi yakin, kemudian hakim memutus apa yang didakwakan KPK terhadap terdakwa.
Mungkinkah kalau orang-orang yang sudah terpidana dalam kasus korupsi kemudian ketika misalnya terpilih lagi menjadi pejabat publik dia akan terlibat kembali di dalam korupsi?
Kemungkinan itu bisa saja. Filter untuk itu sebenarnya berlapis kalau kita lihat soal aturan menjadi legislator tidak melanggar Pancasila, sumpah jabatan, dan sebagainya. Masyarakat juga diberi pemahaman juga, kalau anda menganggap bahw pelaku korupsi itu sebuah kejahatan luar biasa ya jangan dipilih lagi. Kalau dari fakta data yang ada ada satu atau dua kepala daerah yang berstatus sebagai tersangka di dalam tahanan, kemudian dia bisa ikut pilkada dan menang. Ini tanda tanya besar, bagaimana persepsi publik terhadap orang baik, pimpinan baik itu seperti apa dan yang harus dipilih seperti apa. Dalam faktanya ada dua, kepala daerah yang berstatus tersangka bahkan berada di dalam tahanan dan menang, luar biasa itu. Ada juga anggota DPR waktu itu sudah tersangka kemudian publik juga membaca itu dan mereka bisa menang lagi.
Karena itu ini filter dari putusan hakim yang terakhir memberi kekuatan hukum tetap begitu ya?
Ini komitmen semua pihak. Pemberantasan korupsi tidak bisa lingkupan pada satu atau dua institusi, tapi ini komitmen yang sama. Ada anggota DPR yang dinonaktifkan, bahkan dulu pernah kita lihat ada yang sudah berstatus tahanan, ini kembali pada publik.