KBR68H, Jakarta - Pasca Mahkamah Agung membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol, setiap Peraturan Daerah (Perda) yang melarang peredaran miras kembali dibolehkan. Bahkan, dengan dicabutnya Keppres tersebut, maka kewenangan pemerintah untuk mengatur distribusi minuman keras hilang.
Karenanya, DPR tengah menyusun draf UU Larangan Minuman Beralkohol. Dalam rancangan awal RUU Beralkohol itu bahkan ditegaskan adanya larangan secara Nasional. Bukan itu saja, RUU itu juga mengancam pengkonsumsi minuman beralkohol dengan pidana dua tahun penjara atau denda Rp 200 juta. Bagaimana upaya daerah untuk menyikapi pencabutan Keppres Miras ini?
Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati mengatakan, soal pengaturan tentang minuman keras (miras) Indonesia perlu belajar dari negara lain yang memiliki budaya meneguk miras.
Menurutnya, perlu ada banyak hal yang dicermati. Antara lain, tentang budaya profesionalitas dan produktivitas. Jika dua budaya itu sudah menjadi budaya yang lebih kuat dari pada tradisi meminum miras, berbagai akibat yang bisa ditimbulkan dari konsumsi miras tentu akan dapat dieliminir.
“Negara yang membebaskan peredaran miras itu juga menetapkan aturan-aturan yang ketat. Semisal, waktu, dan usia yang diperbolehkan untuk meneguk miras. Namun, persoalannya di masyarakat kita, yang sebenarnya secara iklim juga tidak terlalu tepat, diawali lebih banyak karena melihat budaya barat yang dilihat dan ditonton mengenai meminum minuman keras. Hal ini menjadi persoalan. Persoalannya yaitu akibat efek dari penggunaannya ketika misalnya mereka berkendara, yang nanti tentu bisa mencelakai diri sendiri ataupun orang lain, “ terang Devie Rahmawati dalam program perbincangan Daerah Bicara di KBR68H, Rabu (07/8).
Devie menuturkan, setiap daerah punya kekhasan dan memiliki tradisi yang berbeda mengenai aturan miras.
“Tiap daerah punya ciri khas masing-masing. Itu terlihat ketika munculnya perda-perda syariah. Saya rasa hal-hal yang demikian secara inisiatif juga akan diusulkan oleh berbagai daerah, yang menilai bahwa penggunaan miras itu tidak sesuai dengan kultur mereka. Tapi, mungkin di beberapa daerah yang mungkin sudah biasa, hal ini mungkin akan menjadi hal yang biasa, semisal daerah timur Indonesia,” jelasnya.
Pemerintah, ujar Devie, harus menghimbau dengan berbagai cara dan media untuk memberikan pemahaman tentang penggunaan miras.
“Persoalan miras bisa dikatakan tidak bahaya jika disertai kesadaran yang tinggi dan tanggung jawab. Misalnya ketika itu digunakan di ruang-ruang privat yang memang penggunanya sadar bahwa dia nanti tidak akan berhubungan dengan publik. Dimana ketika dia nanti berhubungan dengan orang lain dapat membahayakan orang lain juga, itu tidak masalah. Jadi, memang harus disertai juga dengan sosialisasi yang benar. Jadi, apa pun keputusannya, ketika itu diperbolehkan atau tidak, itu tidak akan berakibat fatal.”
Devie menilai, jika peredaran miras ini sepenuhnya dihentikan, ia khawatir aturan tentang miras hanya akan menjadi macan ompong.
“Undang-Undang ini dikhawatirkan hanya akan menjadi formalitas saja. Yang selalu menjadi kekhawatiran di Indonesia adalah bukan persoalan undang-undangnya, tetapi implementasinya. Akhirnya hanya akan menjadi macan ompong.”
Daerah, kata Devie, adalah yang paling tahu apa yang paling dibutuhkan untuk daerah itu sendiri, serta kultur masyarakatnya. Ia yakin, di banyak daerah, inisiatif itu justru bisa muncul dari masyarakat sendiri. Untuk itu, tidak benar jika pemerintah pusat khawatir akan ada kekosongan hukum di daerah pasca tidak diberlakukannya Keppres tersebut.
Menurutnya, yang paling tidak dewasa dalam menyikapi Undang-undang terkadang adalah aparat itu sendiri.
“Aparat kadang bersikap tidak dewasa. Ketika Undang-Undang sudah ada, tapi, aparat seakan-akan menutup telinga dan membutakan matanya. Inilah menjadi persoalan sebenarnya,” tegas Devie.
Untuk mengatur lebih jauh tentang peredaran miras di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah merancang draft RUU dan naskah akademik untuk Undang-undang Pengendalian Minuman Beralkohol.
Anggota Komisi Hukum DPR, Dimyati Natakusuma menuturkan, pengaturan tentang peredaran miras perlu dilakukan untuk menghindari tindak pidana atau kecelakaan yang diakibatkan oleh konsumsi alkohol.
“Selama ini hanya diatur di daerah, dan seolah-olah minuman alkohol itu bebas beredar di Indonesia. Padahal, banyak sekali tindak kejahatan, atau kecelakaan yang disebabkan oleh konsumsi alkohol. Seperti yang dialami oleh salah satu artis yang menabrak orang ketika mengendari mobil, karena konsumsi alkohol. Begitu pula dengan kejahatan yang dilakukan setelah orang mengkonsumsi alkohol, semisal merampok, memperkosa, membunuh dan lainnya, karena dalam kondisi tidak sadar,” ujarnya.
Peraturan peredaran miras, kata Dimyati, tidak cukup hanya diatur dalam Peraturan daerah (Perda). Karena, Perda hanya untuk mengatur daerah-daerah tersebut saja.
“Oleh sebab itu perlu diatur mulai dari peredaran, dari hulu ke hilir. Dari mulai pembuatan, pendistribusian, peredaran, dan juga penggunaan. Ini perlu diatur. Kenapa aturan ini perlu dibuat di Indonesia, karena 95 persen penduduk Indonesia beragama muslim. Tapi, saya yakin di agama lain juga dilarang untuk meminum minuman keras.”
Namun, kata Dimyati, RUU ini nantinya akan memberikan pengecualian terhadap daerah-daerah yang memiliki budaya dan adat tertentu.
“Daerah-daerah yang memiliki adat meminum minuman keras, akan dipertimbangkan untuk pemberlakukan UU ini. Namun, itu akan diinventarisir terlebih dulu adat dan daerah mana saja yang memiliki budaya itu. Karena, secara hirarki hukum, adat harus dihormati. Untuk itu UU tidak boleh bertentangan dengan hukum. Pertimbangan itu nanti agar UU ini tetap berguna,” tegasnya.
Editor: Antonius Eko