KBR68H, Jakarta - Sejumlah dokter senior mengkhawatirkan keterampilan dan kecakapan dokter-dokter muda dalam menangani pasien. Ini dibuktikan dengan adanya 2.500an lulusan fakultas kedokteran sebelum tahun 2013 yang gagal mengikuti ujian kompetensi dokter Indonesia. Kenapa ribuan dokter itu bisa gagal dalam ujian kompetensi? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Irvan Imamsyah dengan Ketua Bidang Organisasi Pengurus Besar IDI, dr. Adib Khumaidi dalam program Sarapan Pagi.
Kabarnya ada ribuan dokter yang gagal ikut ujian kompetensi dokter di Indonesia ya?
Data terakhir itu 2.500 yang gagal.
Jadi mereka belum boleh praktik ya?
Iya karena syarat untuk praktik bersertifikat kompetensi. Dia sudah selesai fakultas, cuma setelah dia selesai dari fakultas dia harus mengikuti ujian kompetensi. Ini yang kemudian terhambat di ujian kompetensinya itu sehingga untuk mendapatkan sertifikat kompetensi sebagai syarat setelah uji kompetensi dia belum mendapatkan.
Ini terlihat tidak serius ya?
Masalahnya kita tidak bisa menyalahkan para lulusan ini juga. Kalau kita bicara produk berarti bicara pabriknya juga, kalau pabriknya tidak bisa menghasilkan produk yang bagus tentu juga akan seperti itu. Kita tidak bisa juga menyalahkan juga kepada adik-adik lulusan ini, karena banyak faktor yang menyebabkan tidak bisa lulus.
Kabarnya banyak juga universitas mengajukan untuk buka fakultas kedokteran, ini jadi tren seperti untuk mengepul uang saja ya?
Ada indikasi seperti itu juga. Tapi yang jelas mutu institusi pendidikannya yang perlu ditingkatkan, ada masalah di rasio dari sumber daya dosennya, kuota dari jumlah dosen itu ada tapi banyak yang kemudian tidak dilakukan. Sehingga masuknya besar tapi kemampuan dosennya sedikit.
Jadi sebelum tahun 2013 ini output yang sudah lulus uji kompetensi dokter berapa?
Sebenarnya kalau secara total, jadi penyelenggaraan uji kompetensi dari tahun 2007. Dari tahun 2007 itu sampai kemudian sekarang sebenarnya sudah menghasilkan 40 ribu dokter. Kalau kemudian dihitung sebenarnya tingkat ketidaklulusan di Indonesia sebenarnya lebih kecil, kurang dari 5 persen, bandingkan dengan India yang 30 persen. Cuma ini akumulasi dari evaluasi yang tidak dilakukan sehingga muncul baru sekarang total 2.500 ini akumulasi dari 2007-2012 yang tidak dievaluasi.
Kalau anda melihat sebetulnya kita akan mengalami krisis dokter?
Dari sisi jumlah kalau kita lihat produk yang dihasilkan seluruh fakultas kedokteran sebenarnya tidak. Karena setiap tahun produksi dokter bisa sampai 5.000 dari 72 fakultas. Cuma sekarang bagaimana kita harus menjaga mutu kompetensinya ini sehingga tidak ada istilahnya dari pendidikan dengan pelayanan itu saling melengkapi. Apa yang dihasilkan dari pendidikan dokter bisa masuk dalam sistem pelayanan itu saling terkait.
Kalau ujiannya sudah standar ya?
Iya kalau dari sisi ujian memang standarisasi menjadi prasyarat. Karena untuk menghasilkan dokter yang dari 72 fakultas ini sama. Masalahnya dari standar yang diharapkan itu terjadi disparitas mutu dimana dari fakultas kedokteran A dengan fakultas kedokteran B akan berbeda dalam menghasilkan seorang dokter. Karena ada disparitas dalam mutu pendidikan kedokteran itu.
Apakah universitas-universitas yang memang lulusannya tidak layak ini dihentikan sementara kegiatan fakultasnya atau bagaimana?
Kita harus evaluasi kaitannya terhadap akreditasi terhadap institusi pendidikan. Artinya ini harus terkait dengan semua stakeholder, pendidikan kedokteran tidak hanya selesai pada sebuah institusi pendidikan kedokteran saja. Tapi terkait juga organisasi profesi, terkait juga dengan rumah sakit sebagai tempat untuk mereka.
Ini lewat Undang-undang profesi kedokteran atau apa?
Kalau di pendidikan kedokteran itu ada Undang-undang praktik kedokteran dimana di situ ada kendali mutu. Kendali mutu itu dari sisi dia setelah jadi dokter, itu nanti tanggung jawab organisasi profesi kita di Ikatan Dokter Indonesia. Tapi kemudian sekarang ada Undang-undang pendidikan kedokteran yang baru disahkan, jadi mencakup semua stakeholder seluruh institusi pendidikan, organisasi profesi, institusi rumah sakit.
Dengan kondisi semacam ini apakah nanti selera masyarakat untuk berobat ke dokter makin surut karena banyak dokter muda yang kompetensinya masih dipertanyakan?
Jadi sebenarnya bukan masalah tingkat awareness terhadap dokter terhadap masyarakat kurang. Ini permasalahan pada kita ada standarisasi nasional terkait dengan lulusan dokter. Karena ini yang jadi tuntutan bukan hanya tuntutan masyarakat tapi tuntutan global untuk standarisasi global. Permasalahannya sekarang umpamanya ada keinginan dari masyarakat terkait masalah pelayanan. Output yang dihasilkan di pendidikan juga nanti harus diikuti dengan perilaku pada saat dokternya melakukan pelayanan. Kalau kita di profesi ada dua hal adalah dalam proses kedokteran berkelanjutan sebagai syarat untuk sertifikat kompetensi yang berikutnya, ada juga permasalah etika dokter yang selalu kita awasi.