KBR68H - Melemahnya nilai tukar rupiah membuat pemerintah memutar otak untuk mengurangi defisit perdagangan minyak dan gas (migas) pada September mendatang. Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan konsumsi biodiesel. Pemerintah akan mewajibkan konsumsi solar dari hasil perkebunan hingga 10 persen. Alasannya, pasokan produksi biodiesel dalam negeri lebih dari cukup untuk menjalankan langkah ini. Ide ini sebelumnya pernah dicetuskan pemerintah, namun dalam prakteknya gagal di lapangan. Lantas, bagaiamana prospek kebijakan ini di mata kalangan industri minyak sawit? Simak penjelasan Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom bangun dalam Program Sarapan pagi KBR68H, Kamis (29/8).
Sangat siap untuk memberikan pasokan kalau pencampuran biodiesel ini dinaikkan sampai 10 persen?
Memang dari segi suplai minyak sawitnya sangat mencukupi bahkan lebih dari mencukupi. Juga tentu yang paling berkaitan adalah industri biodiesel itu sendiri, di Indonesia lebih dari dua puluh industri biodiesel dan saat ini karena pasar ekspor juga lesu hanya dua belas pabrik yang beroperasi dan itu pun tidak penuh. Jadi jika ada permintaan meningkat untuk memenuhi kebutuhan, industri ini sudah sangat siap.
Dua belas pabrik ini hanya untuk pasokan dalam negeri ya?
Ada juga ekspor tahun yang lalu lumayan besar walaupun kemudian ada hambatan di negara tujuan sehingga ekspor mengalami penurunan.
Berapa minyak CPO yang terserap di industri biodiesel dari perkebunan?
Untuk tahun lalu misalnya di dalam negeri saja dipakai 669 ribu kiloliter dan ekspor sekitar 1 juta kiloliter, jadi cukup besar. Untuk meningkatkannya misalnya tahun ini diharapkan pemakaian bisa 900 ribu kiloliter sampai 1 juta kiloliter tetapi sampai bulan Agustus saja belum sampai 500 ribu kiloliter yang terserap, penyerapannya yang agak lambat.
Kalau pemerintah menaikkan angka campuran sampai 10 persen ini berarti tambah 5 persen itu bakal menyerap berapa banyak lagi?
Kalau betul-betul 10 persen itu cukup baik. Karena seluruh penggunaan bahan bakar solar atau diesel nasional itu sekitar 33 juta kiloliter, kalau 10 persen berarti 3,3 juta kiloliter. Tapi kita sadar bahwa dalam pelaksanaannya masalah distribusi di luar pulau Jawa dan Sumatera masih sangat banyak hambatan. Karena itu kalau pemerintah berniat meningkatkannya tentu akan bertahap.
Kalau dulu hambatannya apa sehingga sekarang banyak biodiesel mati suri juga?
Hambatannya terutama dalam distribusi dan alat mencampur yang namanya blending equipment belum banyak terpasang. Selain itu saya pikir juga terjadi kurang lancarnya pembelian dari Pertamina kepada pabrik-pabrik itu.
Blending equipment ini ada di Pertamina?
Ada di pihak Pertamina. Itu yang pernah saya sarankan kalau blending equipment kurang apa salahnya campur dengan manual seperti dulu kita minyak campur dua tak.
Anda melihat sekian tahun Pertamina mencoba untuk memproduksi biodiesel ini apakah ada peningkatan secara signifikan terutama dari keterlibatan para petani atau industri perkebunan?
Para petani tentu keterlibatannya dalam hal menjual produksinya, mereka menjual ke pabrik-pabrik buah sawit menjadi CPO. Jadi mereka hanya sebatas itu, kemudian kemana CPO itu dijual umumnya para petani tidak lagi mengetahui.
Jadi kalau mau dibuat campuran bahan bakar, minyak goreng, dan sebagainya tidak tahu ya?
Iya tidak tahu. Mereka hanya tahu jika banyak yang membeli CPO harga naik, mereka dapat buah yang lebih baik itu yang menyenangkan hati mereka.
Kabarnya lagi lesu juga pasar internasional saat ini kalau kemudian CPO banyak terserap di dalam negeri dan ekspornya berkurang, harga naik. Apakah ada jaminan ketika harga naik para pengusaha tidak banyak mengekspor?
Kalau mengenai pembagian ekspor dan kebutuhan dalam negeri ini sudah teratur secara baik menurut mekanisme pasar. Jadi sudah sejak lama tidak pernah ada kekurangan pasokan dalam negeri.
Walaupun ada peningkatan karena dipakai 10 persen?
Kalau 10 persen itu masih sekitar 3 juta ton CPO masih sangat banyak tersedia karena produksi Indonesia sudah lebih dari 27 juta ton.
Kalau para industri minyak sawit diminta masukannya oleh pemerintah untuk membangkitkan lagi industri biodiesel, kira-kira apa yang ingin diusulkan?
Kita mengharapkan penyalurannya lancar sehingga pembelian dari produksi yang dihasilkan pabrik-pabrik biodiesel juga lancar. Dengan demikian pabrik biodiesel membeli CPO secara lancar juga dan CPO tersedia dengan cukup. Harapannya mekanisme berlangsung secara mekanisme ekonomi pasar.
Jadi tidak perlu ada aturan khusus lagi untuk menjaga pasar ya?
Tentu aturannya juga harus diperhatikan, jangan sampai merupakan pengendalian yang dapat menimbulkan distorsi pasar. Kita lebih baik biarkan saja pasar berjalan dengan baik, berapa harga pasar, CPO-nya dibeli. Boleh saja pemerintah atau Pertamina membeli CPO dan menyerahkan pada pabrik biodiesel, kemudian pabrik biodiesel dibayar biaya pengolahan dan sedikit margin itu satu cara yang juga dapat diterima.
Selama ini apakah ada insentif dari pemerintah terhadap para pengusaha atau pekebun kelapa sawit?
Untuk perkebunan kita tidak melihat kalau ada insentif. Bahkan selama ini pihak perkebunan mengeluhkan adanya biaya keluar yang besar, tapi dana yang terkumpul dari pemerintah puluhan triliun rupiah setiap tahun kurang tepat dimanfaatkan untuk mendukung industri itu. Jadi kalau insentif ya tidak terlihat, itu tidak perlu karena industri itu sendiri cukup kuat tanpa insentif untuk keadaan sekarang.
Genjot Konsumsi Biodiesel, Pemerintah Harus Perbaiki Jalur Distribusi
Melemahnya nilai tukar rupiah membuat pemerintah memutar otak untuk mengurangi defisit perdagangan minyak dan gas (migas) pada September mendatang. Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan konsumsi biodiesel. Pemerintah akan mewajibkan konsumsi solar

BERITA
Kamis, 29 Agus 2013 11:09 WIB


Konsumsi Biodiesel, Pemerintah, Jalur Distribusi
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai