Bagikan:

FSGI: Pemerintah Tidak Siap, Siswa Jadi Korban

KBR68H, Jakarta - Pemerintah dinilai tak menepati janjinya untuk tak memberatkan siswa, khususnya untuk siswa SMA dalam penerapan kurikulum baru

BERITA

Selasa, 27 Agus 2013 13:47 WIB

Author

Doddy Rosadi

FSGI: Pemerintah Tidak Siap, Siswa Jadi Korban

kurikulum baru, bayar buku, FSGI, pemerintah tidak siap

KBR68H, Jakarta - Pemerintah dinilai tak menepati janjinya untuk tak memberatkan siswa, khususnya untuk siswa SMA dalam penerapan kurikulum baru. Para siswa mesti membeli sembilan buku pelajaran yang tak didanai negara. Kementerian hanya menyiapkan buku panduan untuk tiga mata pelajaran, matematika, bahasa Indonesia, dan sejarah. Apakah pemerintah telah mengingkari janjinya? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Sutami bersama  Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti dalam program Sarapan Pagi

Kabarnya ada yang membebani siswa untuk membeli buku untuk kurikulum 2013 ini ya?

Banyak laporannya. Karena Kemdikbud ini membagi buku untuk kurikulum 2013 ini hanya pada sekolah-sekolah yang ditunjuk kementerian. Jadi SD 5 persen, SMP 7 persen, SMA 10 persen, dan SMK 10 persen. Problem pertama misalnya adalah sekolah yang ditunjuk ternyata jumlah siswanya tidak sesuai, tidak dapat bukunya. Misalnya kaya sekolah ini ditunjuk SMAN 13 murid kami yang kelas 1 itu 360 buku. Tapi kami hanya mendapatkan 278 buku berarti ada puluhan anak tidak mendapatkan buku. Akhirnya di-fotocopy, harganya mahal karena tebal. Kemudian ketika menghitung mana anak yang harus beli mana, awalnya kami menetapkan mereka nge-print atau fotocopy dari buku yang ada bab pertama dulu. Kedua ini sekolah yang tidak ditunjuk, kalau untuk sekolah-sekolah yang tidak ditunjuk ini akan mengalami pembelian karena tidak disediakan. Yang tidak disediakan saja kekurangan buku apalagi yang tidak disediakan. Misalnya ada beberapa di daerah seperti Batam diwajibkan oleh dinas pendidikannya walaupun tidak ditunjuk, DKI juga awalanya begitu. Sekolah-sekolah yang tidak ditunjuk ini kemudian disuruh menerapkan bahkan pakai MoU, mereka “dipaksa” oleh dinas pendidikan. Ketika bebannya tinggi banyak laporan, kami menerima laporan dari orang tua murid SMP 73 dia katanya mem-fotocopy satu pelajaran saja. Itu ada sepuluh untuk SMP, ya namanya orang tua tidak melek internet otomatis dia ke warnet, download di warnet lama, bayar internet. Begitu nge-print ada dua warna ya jadi ketika di-print dia tidak tahu kalau harus hitam putih warnanya. Akhirnya orang tua ini harus bayar Rp 250 ribu untuk biaya itu, kalau sepuluh buku harus bayar berapa jadi ini dibebankan kepada orang tua. Pada tanggal 15 Juli ketika pertama kali masuk sekolah mereka yang tidak ditunjuk menerapkan yang 2006. Sehari setelah itu kepala sekolah rapat dengan dinas pendidikan dan mengatakan bahwa harus menerapkan kurikulum 2013 maka semua yang sudah disiapkan diganti. Begitu libur Idul Fitri dan masuk kembali tanggal 19 Agustus tahu-tahu diumumkan kembali lagi ke kurikulum 2006 lewat surat edaran. Ini terjadi di Kendal dan Malang, sekolah-sekolah yang tidak ditunjuk kembali ke kurikulum 2006.

Jadi pemerintah mestinya tidak gembar-gembor bahwa buku ini gratis begitu ya?

Ya buktinya tidak. Memang kalau yang ditunjuk, tapi pemerintah di Permen menyediakan bahwa sekolah yang tidak ditunjuk tapi ingin menjalankan secara mandiri dipersilahkan. Akibatnya sekolah swasta berpikir soal mutu, nanti dibilang tidak bermutu kalau tidak pakai kurikulum ini, maka mereka ganti akhirnya beban jatuh ke orang tua. Sekarang mau beli bukunya dimana karena tidak ada yang jual, berarti mereka harus download jalan satu-satunya dan fotocopy. Di Batam bahkan ada sekolah negeri yang ditunjuk itu tidak dapat satu pun akhirnya harus fotocopy, ada biaya fotocopy yang dibebankan kepada orang tua.
 
Artinya anda menafsirkan ini ketidaksiapan pemerintah?

Sangat. Seperti FSGI berulang kali bilang pemerintah tidak siap dan terburu-buru, untuk apa terburu-buru seperti kebelet sekali dan akhirnya anak-anak dikorbankan. Ini soal buku belum yang lain-lain, ini baru soal buku luar biasa pengaduan ini apalagi sekolah-sekolah yang dipaksa tiba-tiba dikembalikan lagi ke 2006 setelah kadarnya tinggi. Jadi tidak sederhana dampaknya, ini sekarang yang jadi problem pada level lapangan. Jadi menteri iya-iya saja mungkin bawahannya laporannya oke-oke saja padahal tidak oke-oke juga di level bawah.

Kabarnya juga ada sensus ya?

Iya. Kalau buat FSGI ini agak aneh kenapa tiba-tiba harus disensus padahal bisa sampling, ini pemborosan uang negara dan tidak efektif. Kedua kenapa harus disensus sekarang? dilaksanakan saja belum, ini masih dalam tahap awal. Paling tidak evaluasi kalau mau bentuk sensus itu dilakukan setelah enam bulan, kalau 1,5 bulan sementara libur Idul Fitri tiga minggu berarti baru dilaksanakan tanggal 19 Agustus. Buat kami ini terlalu mengada-ada, yang diperlukan sekarang adalah kehadiran pendamping di kelas, bukan sensus. Perjanjiannya adalah guru-guru ini setelah pelatihan tidak dilepas tapi didampingi, para pendamping ini sampai hari ini tidak pernah hadir di kelas-kelas kami. Yang ditunggu-tunggu oleh guru adalah pendamping ini untuk ngajarin guru-guru, bukan sensus. Ini aneh, jadi kalau mau disensus terserah pemerintah mau melakukan itu tapi rasional dilakukan paling tidak enam bulan atau satu semester.            

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending