KBR68H, Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM mengubah konsep sekolah deradikalisasi teroris di Sentul Bogor, Jawa Barat menjadi penjara. Sebelumnya sekolah deradikalisasi itu dibuat dengan konsep pusat pelatihan non penjara. Pusat deradikalisasi itu akan dibuat menjadi penjara khusus teroris karena kesulitan menangani narapidana kasus terorisme. Mengapa sekolah deradikalisasi malah dijadikan penjara? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Sutami dengan Pengamat Terorisme Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie dalam program Sarapan Pagi?
Berbahaya atau tidak kalau disatukan semuanya dalam satu penjara?
Secara konseptual menjadikan seluruh narapidana terorisme dalam satu tempat relatif punya risiko yang cukup signifikan. Karena keberadaan mereka semua di satu tempat akan membuat mereka bisa mengorganisir diri dengan lebih rapih.
Walaupun mereka berasal dari kelompok berbeda?
Iya.
Dan walaupun berbeda sel?
Tentu saja tapi selalu ada kesempatan untuk melakukan interaksi sosial di antara mereka. Artinya di konsep seperti ini ada resiko dimana konsolidasi dilakukan, penyebaran pengaruh dari pemimpin ideolog kepada kelompok menengah sangat mudah dilakukan. Sehingga ada kekhawatiran mereka bisa membentuk semacam pemerintahan bayangan, menyebarkan ideologi di antara mereka sendiri sehingga semakin kokoh dan ada kecenderungan untuk mempengaruhi petugas juga. Karena petugasnya juga akan ada di sana terus sepanjang waktu, maka kalau mereka tidak punya target untuk radikalisasi terhadap napi lain mereka bisa melakukannya terhadap petugas. Tentu saja hal ini perlu diwaspadai mengingat di antara beberapa narapidana teroris terdapat beberapa tokoh kunci yang menjadi ideolog. Artinya saya kira konsep ini perlu dikaji ulang oleh pemerintah.
Tapi kalaupun mereka disebar ke penjara-penjara lain kemungkinan untuk menularkan ideologi ke yang non teroris juga bisa terjadi bagaimana?
Betul. Artinya yang perlu dilihat adalah bagaimana mengatur komposisi penempatan kalau menurut saya jika masih konsisten dengan penyebaran mereka di beberapa titik lembaga pemasyarakatan. Konteksnya harus ada pemisahan yang signifikan, yang berada di kategori follower, simpatisan mereka bisa mendapatkan treatment yang cukup dengan interaksi sosial dengan narapidana lain. Tapi untuk kalangan yang lebih punya peran signifikan untuk penyebaran ideologi sebaiknya mendapatkan treatment khusus juga. Saya setuju jika kemudian pemisahan itu menjadi lebih berdasarkan kemampuan mereka mempengaruhi napi lain atau kemampuan mereka mendapatkan jaringan. Jadi semakin tinggi tingkatannya akan semakin bagus pengawasan dan kontrolnya, semakin rendah tingkatannya harus ada treatment yang membuat mereka berinteraksi dengan narapidana lain. Saya kira yang lebih cocok adalah kebijakan ganda seperti ini, treatment yang berbeda.
Ketika yang tahanan teroris level-nya rendah berinteraksi dengan senior-senior bisa jadi pentolan di suatu saat nanti?
Secara teoritis begitu. Karena ada kelas sosial di dalam sistem narapidana teroris yang berlaku di kalangan mereka dan diketahui oleh kelompok radikal di luar penjara. Bahwa seseorang ketika masuk penjara menempati kelas yang lebih bawah sampai kemudian dia belajar dari seniornya dan naik kelas. Ketika keluar mereka justru akan mendapat kesempatan untuk mengekspresikan pelajaran-pelajaran yang dia peroleh dari dalam penjara.
Apakah anda menduga ini kemungkinan seperti Guantanamo?
Ada kekhawatiran kesana meskipun ada konsep yang saya pelajari baru-baru ini untuk lebih memanusiakan mereka dengan beberapa fasilitas komprehensif. Mulai dari fasilitas kesehatan, olahraga, kunjungan yang memadai interaksi dengan istri, anak, dan seterusnya. Tapi persoalan di penjara Indonesia saya kira mekanisme kontrol dan pengawasan. Hal ini tidak mudah karena misalkan ada beberapa yang sudah dipindah ke Nusakambangan tapi kapasitas mereka untuk melakukan radikalisasi masih sangat luar biasa. Bahkan dengan instrumen yang sangat terbatas misalnya dengan tulis tangan, kunjungan yang masih berlangsung tiap minggu ini membuat episentrum radikalisme kembali berada dalam penjara. Dalam riset saya sebelumnya di periode 2005-2007 episentrum radikalisme dimana banyak orang datang untuk mencari ilmu dari tokoh-tokoh penting seperti Aman Abdurrahman misalnya itu berlangsung dengan sangat signifikan. Artinya kalau kemudian besok penjaranya dipindah ke Sentul, kunjungan masih berlangsung, interaksi sosial masih berlansung. Artinya kurang lebih situasinya akan sama dengan resiko yang lebih tinggi. Pada sisi lain di luar penjara pada saat ini banyak kalangan muda yang di website maupun di forum online mendiskusikan mengenai tema-tema pembebasan tahanan yang memicu mereka bagaimana membebaskan tahanan di dalam penjara. Kalau kemudian mereka ditempatkan di penjara berbeda-beda mereka harus memilih siapa yang harus dibebaskan. Tapi kalau kelompok mereka bisa membebaskan seluruh tahanan kalau dari dalam juga melakukan hal yang sama berupa pemberontakan terhadap petugas yang ada di sana.
Anda lebih condong ke penyatuan atau tetap dalam kondisi seperti sekarang?
Saya kira pemisahan dalam beberapa lapas lebih krusial dengan beberapa catatan. Pertama perlu treatment yang berbeda pada masing-masing entitas, ideolog dipisah, kemudian yang follower, simpatisan di-treatment yang berbeda pula dengan mekanisme interaksi sosial yang baik dengan narapidana lain. Dalam konteks tertentu bisa dipilih narapidana sebagai partner mereka. Saya melihat kalau mereka disatukan dengan pencuri atau perampok saya kira kurang efektif karena mereka secara sosial lebih tinggi stratanya. Tapi kalau dicoba dengan mereka disatukan, dibuatkan medium interaksi dengan narapidana politik atau narapidana kasus korupsi dimana ada “diskusi” antara mereka tentang konsep negara, ide-ide itu akan produktif. Artinya ada tantangan ide mereka dengan narapidana politik atau korupsi yang cukup cerdas. Tapi kalau dengan narkoba atau pencuri biasa akan kalah karena mereka lebih punya pengaruh dan membalik keadaan.
Berisiko, Menggabungkan Semua Napi Terorisme dalam Satu Tempat
KBR68H, Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM mengubah konsep sekolah deradikalisasi teroris di Sentul Bogor, Jawa Barat menjadi penjara.

BERITA
Selasa, 27 Agus 2013 10:41 WIB


sekolah deradikalisasi, berubah konsep, napi terorisme
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai