KBR, Jakarta – The Nature Conservancy (TNC) adalah lembaga internasional yang fokus di soal lingkungan, misalnya soal perubahan iklim dan terakhir, soal kebencanaan. Sapto Sakti dari TNC mengaku masih ingat apa jawaban warga setiap kali ditanya soal bencana alam. “Kita nrimo saja,” ujar Sapto menirukan jawaban warga.
Menurut Sapto, bencana alam itu sebetulnya bisa dicegah, sehingga warga sebaiknya tidak hanya bersikap pasrah alias nrimo. Kata Sapto, pola pikir yang pasrah akan membuat warga enggan berubah menjadi pribadi yang tangguh dalam menghadapi bencana. Padahal Indonesia adalah daerah rawan dengan 13 jenis bencana, mulai dari gempa, longsor, kebakaran hutan, dan sebagainya. “Mindset-nya harus diubah dari sekarang,” kata Sapto.
Bencana, kata Sapto, tak hanya soal kerugian lingkungan, tapi juga soal kerugian ekonomi. Sapto masih ingat ketika Jakarta dilanda banjir besar pada 2013 lalu dan ia sendiri ikut terjebak. “Berapa milyar yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi, dan berapa milyar pula transaksi bisnis pada hari itu yang harus tertunda?”
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat kerugian ekonomi akibat bencana pada 2013-2014 mencapai sekitar Rp 30 triliun. Rinciannya seperti ini: kerugian dari banjir Jakarta Rp 5 trilyun, banjir Pantura Jawa Rp 8 trilyun, banjir bandang Manado Rp 2,8 trilyun, erupsi Gunung Kelud Rp 1 trilyun, kebakaran hutan dan lahan di Riau Februari-April 2014 Rp 20 trilyun.
Sapto yakin kalau solusi bencana alam ada di alam itu sendiri. “Untuk menghadapi resiko perubahan iklim ini ada yang namanya solusi alam, atau nature solution dan natural defense,” katanya. Kata Sapto mekanisme ini lebih mudah perawatannya dan murah investasinya. Misalnya mengandalkan jaringan karang, yang berdasarkan penelitian terbaru TNC, saat badai mampu mengurangi tinggi gelombang air 80 persen dan energinya 50 persen.
Kata Sapto, pertahanan alami perlu diprioritaskan di daerah pesisir. “Ada sekitar 110 juta warga tinggal di 60 kota besar di Indonesia yang semuanya letaknya di pesisir,” kutip Sapto. Saat ini lembaganya masih melakukan penelitian untuk membangun natural defense di pesisir. Lembaganya masih mencari lokasi yang benar-benar tepat dan bisa mengundang perhatian pemerintah.
Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan kalau perlu kerjasama yang erat untuk menanggulangi bencana. “Bencana adalah urusan bersama pemerintah, masyarakat dan dunia usaha,” kata Sutopo. Karena itu, dia mengajak industri memasukkan aspek-aspek risiko bencana dalam rencana kelanjutan bisnisnya. Sutopo mencontohkan Krakatau Steel yang berkonsultasi dengan BNPB tentang ancaman gempa dan tsunami di Selat Sunda, lokasi pabriknya. Kata Sutopo, BNPB membuka sebesar-besarnya ruang dialog industri untuk keperluan tersebut.
Sapto dari TNC mencatat banyak perusahaan bergerak sendiri-sendiri saat membantu korban bencana. Hal ini membuat bantuan jadi terpusat di lokasi-lokasi tertentu saja, sementara korban di tempat lain tidak kebagian. Kata Sapto ini tak lebih untuk kepentingan perusahaannya saja. Dia menyarankan perusahaan tunduk pada koordinasi BNPB sebagai pusat komando.
Sapto meyakini kalau sistem penanganan bencana perlu diperbaiki tapi yang lebih penting adalah mengubah cara pandang masyarakat. Sapto bercerita anak-anak Selandia Baru dilatih menghadapi gempa sejak usia Sekolah Dasar, dan ini perlu dimulai di Indonesia. “Investasi memang butuh puluhan tahun, tapi lebih baik segera dimulai dari pada tidak sama sekali.”