KBR, Jakarta - Para pengusaha kena pajak tak lama lagi bisa mengosongkan gudangnya dari faktur yang menumpuk. Pasalnya Dirjen Pajak Kementerian Keuangan sedang menyusun sistem e-faktur, faktur elektronik dan online. Faktur ini tak lagi berupa kertas, melainkan data yang bisa dicetak bila dianggap perlu.
Faktur adalah bukti pungutan pajak terhadap pembeli, yang dibuat penjual atau pengusaha kena pajak (PKP). Faktur ini digunakan dalam mengisi SPT perusahaan. Selama ini faktur harus disimpan selama 10 tahun berdasarkan UU Dokumen Perusahaan. Perusahaan perlu banyak ruang untuk menyimpan faktur-faktur mereka, beserta resiko rusak atau hilang yang tetap ada.
“Resiko faktur kertas fisik itu sangat tinggi,” ujar Fitrina Milla, staf Dirjen Pajak, dalam perbincangan Obrolan Ekonomi KBR.
“Transaksi yang ada per harinya, kita tahu banyak sekali. Faktur akan terus menumpuk, menumpuk, menumpuk, dan harus disimpan sebagai dokumen. Bisa dibayangkan biaya untuk penyimpanan, biaya pembuatan karena harus mencetak kertas,” tambah Milla lagi.
Itulah yang membuat Dirjen Pajak meluncurkan sistem ini pada pertengahan Juni lalu. Sistem yang dikembangkan divisi IT dari Dirjen Pajak ini diklaim lebih mudah dan praktis. Aplikasi ini juga terhubung dengan aplikasi e-SPT yang sidah dilangsungkan sebelumnya. “Di aplikasi ini sudah satu kesatuan,” kata Danil Nurmansyah, staf Dirjen Pajak yang menemani Milla.
“Akan memangkas waktu dan untuk efisiensi juga. Ada jalan pintas,” tambah Danil.
Danil mencontohkan. Di Indonesia, biaya membuat selembar faktur pajak kira-kira 100 ribu Rupiah. Biaya itu muncul antara lain dari biaya mencetak kertas, mengeluarkan tinta cetak, tenaga kerja pembuat, serta biaya penyimpanan seperti gudang atau brangkas. “Dengan e-faktur pajak ini, biaya-biaya 100 ribu itu bisa berkurang,” kata Danil lagi.