KBR, Jakarta - Jumlah penyandang disabilitas yang punya hak suara diperkirakan mencapai 20 jutaan jiwa. Dengan angka sebesar itu, kemungkinan jumlah penyandang yang akan menggunakan hak suaranya bisa menjadi yang terbesar dalam sejarah pemilu di Indonesia. Masalahnya menurut Ketua PPUA Penca, Ariani Soekanwo, penyelenggara pemilu belum optimal dalam memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.
“Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia ada sekitar 20 jutaa di seluruh Indonesia yang memiliki hak suara. Kesadaran penyandang disabilitas sebetulnya sangat tinggi. Hanya saja sosialisasi di daerah sangat kurang. Hanya di kota2 besar saja,” ujarnya.
Menurut dia, meski penyelenggaraan tahun ini lebih baik dari pemilu sebelumnya, namun sosialisasi soal bagaimana kaum difable harus menggunakan hak pilihnya hanya ada di beberapa kota besar saja dan tidak merata di seluruh Indonesia.
“Penyandang disabilitas pada Pileg lalu sangat mengeluhkan soal pelayanan, terutama soal pelayanan di TPS,” ujarnya. Dia berharap ada perbaikan pelayanan di TPS terhadap kaum difabel pada Pilpres 9 Juli nanti. Lagi pula tidak sulit melayani kaum difabel di TPS saat pencoblosan.
“Cukup sediakan tempat TPS yang ramah dengan kaum penyandang berkebutuhan khusus, karena ketika TPS sudah ramah dengan kaum difabel, maka TPS tersebut sudah pasti ramah untuk yang lain,” ujarnya.
Kemudian, Ariani berharap ada simulasi sebelum hari pencoblosan yang digelar. Simulasi ini harus. Tujuannya untuk memaksimalkan sosialisasi tentang tata cara pemilihan saat di tempat pemungutan suara (TPS) dan pengenalan terhadap alat bantu pencoblosan, yaitu 'template braille' bagi tuna netra.
“Simulasi ini juga untuk melatih pihak Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), serta pihak pendamping yang dipercaya oleh pemilih dalam membantu kaum difabel di TPS,” ujarnya.
Kata dia, tahapan simulasi dimulai dari tata cara pencoblosan dengan menggunakan template braille dan memasukan surat suara ke dalam kotak suara. Dalam melakukannya, peserta pemilih didampingi oleh petugas KPPS atau orang yang dipercaya.
“Sosialisasi diperlukan karena banyak kaum difabel belum secara penuh mengetahui tentang informasi dan tata cara pemilu,” ujarnya. Posisi kotak suara juga seharusnya tidak terlalu tinggi supaya tidak menghambat proses jalannya pemilihan di TPS.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Fadli Ramadhanil mengatakan, pihaknya masih banyak menemukan kekurangan KPPS yang tidak mengakomodir keperluan kaum difable. Kata dia, sebenarnya ada hukuman pidana dan denda apabila penyelenggara pemilu tidak memenuhi kebutuhan kaum difable.
“Sebelum mendampingi pemilih, pendamping harus mengisi formulir C3, yang mana berjanji untuk merahasiakan pilihan pemilih. Kalau tidak, menurut Pasal 283 UU no 8 tahun 2012 mengatur larangan menyebarkan pilihan orang lain, dengan dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,” ujarnya.
Kata dia, pendamping harus orang yang dipercayai oleh pemilih difable, siapapun itu, baik dari KPPS maupun dari luar. Pendamping diwajibkan untuk merahasiakan pilihan kaum difabel. Khususnya bagi pendamping yang bukan dari anggota KPPS.
“Hari ini Perludem sedang sosialisasi di Bogor soal TPS di RSJ yang pada pemilu sebelumnya tidak pernah ada. Hal ini penting karena jumlah suara sodara kita penyandang disabilitas cukup signifikan. Oleh karenanya haknya harus dipenuhi,” ujarnya.
Hasil temuan dari Perludem, selama ini petugas KPPS tidak punya perspektif perlindungan difabel. “Sebelumnya tidak ada aturan syarat kartu C3 bagi pendamping, sehingga difabel tidak ada dasar hukum mempersoalkan jika pilihannya bocor,” ujarnya.
Selain itu, petugas KPPS tidak teliti/tidak ramah pada difabel. Pemilih difabel juga kerap diminta buru-buru karena banyaknya antrian. Fadli menambahkan, temuan lain terkait ketidakramahan dan ketidaknyamanan TPS juga sangat masif. “TPS kurang nyaman/tidak aksesibel. Misalnya ada tangga menuju TPS tidak bisa dilewati kursi roda, menyulitkan orang tua. Lingkungan TPS berumput tebal, licin, banyak selokan tanpa titian,” ujarnya. Selain itu, bilik suara tidak bisa dimasuki kursi roda, meja pencoblosan terlalu tinggi, dan letak kotak suara tinggi/sulit dijangkau.
Ketua PPUA Penca, Ariani Soekanwo mengatakan kewajiban pemenuhan kebutuhan kaum difabel juga diperkuat oleh penandatanganan nota kesepahaman antara KPU dengan PPUA Penca.
“Dalam kesepahaman itu, KPU memastikan akan memenuhi hak politik warga negara penyandang cacat dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah. MoU ditujukan untuk meningkatkan dan menjamin terpenuhi hak berpolitik tanpa diskriminasi bagi penyandang cacat,” ujarnya. Kata dia, dengan ini KPU bisa meningkatkan lagi partisipasi para penyandang cacat dalam menggunakan hak suara.
Menutup perbincangan, Ariani berharap siapapun pemenang dalam pemilihan presiden 9 Juli 2014 nanti, bisa memenuhi janjinya memenuhi kebutuhan kaum difabel di seluruh Indonesia. Jika segala yang dibutuhkan terpenuhi, penyandang difabel tidak akan menyusahkan orang lain.
“Sebenarnya bukan kasihan yang kita butuhkan, cukup penuhi kebutuhan dan segala aktifitas kita dalam melakukan aktifitas diruang publik, maka kami pastikan kami akan mandiri,” ujarnya. Dia berharap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kaum Disabilitas bisa segera disahkan pada pemerintahan baru nanti.
Editor: Fuad Bakhtiar
Penyandang Disabilitas Antusias Pemilu
Jumlah penyandang disabilitas yang punya hak suara diperkirakan mencapai 20 jutaan jiwa.

BERITA
Selasa, 08 Jul 2014 12:47 WIB


penyandang disabilitas antusias pemilu, akses penyandang disabilitas, suara disabel
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai