Bagikan:

Dua Kubu Klaim Kemenangan, Syafii Maarif: Negara Harus Hadir

Kalau Presiden tidak berlaku adil, maka dia akan dikutuk sejarah.

BERITA

Kamis, 10 Jul 2014 05:29 WIB

Dua Kubu Klaim Kemenangan, Syafii Maarif: Negara Harus Hadir

Syafii Maarif, quick count, Prabowo, Jokowi

KBR, Jakarta – Hasil hitung cepat di Pemilu Presiden rupanya ikut terbelah dua, ada lembaga survei yang memenangkan kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ada juga yang memenangkan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ditambah lagi, kedua kubu sama-sama mengklaim kemenangan dan mengumumkannya di depan publik. 


Banyak pihak yang khawatir kalau “perpecahan” hasil quick count ini bakal terbawa sampai ke akar rumput dan menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Menurut tokoh Muhammadiyah Syafii Maarif, hasil hitung cepat dari lembaga survei yang punya kredibilitas tinggi seperti Litbang Kompas dan LIPI sebetulnya sulit dibantah. Meski begitu, Buya Syafii juga menangkap kekhawatiran kalau perbedaan ini bisa memicu konflik di tengah masyarakat. 


Simak wawancara dengan Syafii Maarif dalam Siaran Khusus KBR “Presiden Pilihan Rakyat” berikut ini. 


KPU baru umumkan real count pada 22 Juli, dan itu masih lama. Bagaimana kita bisa menahan diri?


“Kedua belah pihak harus jaga diri. Menurut saya survei yang dilakukan Kompas, LIPI, sudah sulit membantahnya. Yang lain-lain ini kan… ya sudah lah ya…”


“Yang saya takut, yang kalah nggak terima. Oleh karena itu negara harus bertindak, negara tidak boleh diam.  Negara harus bertindak kepada siapa pun yang melanggar hukum. Yang melakukan kekerasan harus diproses secara hukum.  Siapa pun yang tidak terima kekalahan, lalu melakukan keonaran, melakukan kekerasan, negara harus hadir ketika itu. Nggak boleh tidak. Kalau tidak, kacau masyarakatnya, terjadi konflik horizontal, negara berdarah-darah. Kita nggak mau dong. Negeri ini negeri beradab semestinya. Jangan sampai terjadi.”


“Sudah ada yang agak khawatir. Ada kelompok garis keras yang bilang sudah mau bergerak. Mau bergerak ke mana? Terima lah. Kalau sudah kalah, kalah saja, terima dong, mereka kan sudah bekerja keras.”


Ada suara seperti itu?


“Saya sudah terima macam-macam. ‘Tinggal komando’ segala macam. Negara harus hadir. Harus mengantisipasi ini semua. Lindungi semua masyarakat kita. Dan yang salah katakan salah, tegakkan hukum.” 


Masalahnya, negara yang direpsentasikan oleh Presiden itu jadi pendukung salah satu kubu…


“Ya biar saja… tapi dia masih Presiden Indonesia toh? Dia harus adil, kalau nggak, dia akan dikutuk oleh sejarah. Sampai Oktober dia masih Presiden, kepala pemerintahan, panglima besar tertinggi angkatan bersenjata… Kalau dia tidak adil, sejarah akan mengutuknya, kalau negara tidak hadir saat terjadi konflik yang tidak kita inginkan sama sekali.”


Apa yang bisa dilakukan oleh tokoh masyarakat?


“Tokoh masyarakat harus memberikan himbauan. Terlalu penuh resiko bangsa ini kalau dibiarkan berdarah-darah lagi. Saya sudah terima macam-macam, ada kelompok garis keras yang bilang ‘sudah mau gerak’. Mau gerak ke mana? Itu karena kalah toh?”


“Dulu kan sudah ada perjanjian kalau kedua kubu siap menang, siap kalah. Ditepati itu, laksankan itu. Itu saja, tepati janji, siapa pun mereka.”


Kita sebetulnya tengah senang karena partisipasi pemilih tinggi sekali dan baru kali ini… malah pemimpinnya yang tidak memberikan contoh yang benar… 


“Mungkin syahwat untuk menang terlalu besar. Tapi sudah lah..  memang rakyat maunya begini, gimana? Di daerah saya, Sumatera Barat, saya malu betul… di sana nomor 2 kalah telak karena negara berpihak dan berkampanye gencar sekali untuk kalahkan nomor 2. Luar biasa, termasuk di kampung saya, saya jadi malu. Kalau kalah wajar, nggak papa… Jadi kalau milih pasangan nomor 2 disebut kafir, itu di mana-mana. Itu memang instruksi tidak resmi, tapi itu yang terjadi – dari gubernur, walikota sampai bawah terlibat semua.”


Aparat, pemerintah, negara yang berpihak itu sebetulnya tidak boleh terjadi….


“Itu seperti Orde Baru.”


Jadi apa yang harus kita lakukan? Misalnya oleh tokoh yang didengar masyarakat.


“Kembali saja tepati janji, siap menang, siap kalah. Yang menang jangan besar kepala, yang kalah legowo. Dan Negara jangan diam kalau terjadi apa-apa. Negara harus fair, harus adil.” 


Kami dengar massa relawan berkumpul di Tugu Proklamasi, tapi Jokowi nyatakan ‘tunda dulu’… 


“Jangan mabuk kemenangan, tunggu saja KPU dulu. Tapi kan quick count juga penting untuk antisipasi kalau terjadi macam-macam lagi di penghitungan suara dari TPS ke Kecamatan dan segala macam, quick count itu membantu mengantisipasi itu, supaya jangan menyimpang.”


Langkah yang dilakukan Jokowi itu berarti tepat ya… untuk tenangkan massa?


“Ya, saya setuju. Jokowi harus tenangkan pengikutnya, jangan bersorak-sorak dulu sampai tunggu hasil KPU. Andai nanti KPU nyatakan Jokowi menang, biasa-biasa saja, katakan ini kemenangan rakyat Indonesia. Dan dirangkul kembali. Siapa pun yang jadi Presiden, Jokowi atau Prabowo, itu Presiden Republik Indonesia, bukan presiden golongan, bukan presiden partai, bukan presiden koalisi.


Bahkan bukan presiden relawan… 


“Bukan presiden relawan.. walaupun relawan bergerak luar biasa saat mesin partai kurang jalan, relawan yang bergerak.” 


Berarti betul ya kalau mesin partai tidak berjalan… 


“Mungkin mereka kehabisan amunisi. Tapi relawan kan bergerak dari hati. Anda lihat konser di GBK, itu luar biasa itu. Mereka bawa  makanan ke sana… siapa yang tidak terharu dong? Mereka tampil otentik, itu yang mengharukan.”




Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending