KBR68H, Jakarta- Polri baru saja merayakan HUT Bhayangkara ke-67. Semoga kinerja Polri makin lebih baik lagi, sebagai garda terdepan pelayan masyarakat.
Bicara soal kinerja Polri, masih banyak rapor merah alias belum memuaskan. Sebut saja satu diantaranya soal penanganan kasus anak dan perempuan. Tengok saja kasus pencurian yang dilakukan bocah 11 tahun berinisial DS beberapa waktu silam. Atas tudingan itu Pengadilan Negeri Siantar, Sumatera Utara menghukum pidana DS selama 66 hari atau 2 bulan penjara.
Belum lagi kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) yang juga sedikit dituntaskan oleh polisi. Lihat saja Catatan Tahunan LBH APIK Jakarta yang menyebutkan sepanjang tahun 2011 LSM ini mendampingi 706 Kasus kekerasan terhadap perempuan hanya ada dua kasus yang selesai proses hukumnya. 25 kasus perkosaan dan KDRT diantaranya mandeg di kepolisian.
Sebagai salah satu negara yang ikut meneken Konvensi Hak Anak dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), bagaimana kinerja polisi kita agar menjadi aparat penegak hukum yang profesional dan berkompeten dalam penanganan kasus perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum?
Kepala Divisi Humas (Kadivhumas) Mabes Polri, Ronny Frenky Sompie menjelaskan, perlu dilakukan antisipasi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini, perlu dicermati tidak hanya oleh polisi, tapi oleh Kementerian dan Lembaga terkait, semisal Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
“Perlu sinergitas kegiatan antar lembaga, agar membangun pengetahuan perempuan dan anak tentang hak-hak mereka, dan melakukan upaya pencegahan di rumah sebelum terjadi kekerasan tersebut. Karena, umumnya kekerasan di rumah itu kan tertutup. Dinilai dapat membuat malu keluarga, padahal budaya kita menempatkan laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Harus ada langkah maju untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Polisi yang menangani laporan semacam itu adalah bagian Reserse, atau Bareskrim. Namun, jika berkaitan dengan upaya pencegahan, itu adalah tugas Direktur Bimas Polri, ““ jelas Ronny Frenky.
Berkaca dari kasus DS, bocah yang saat ini baru menginjak usia 12 tahun itu, terpaksa harus menikmati dinginnya lantai penjara dengan tahanan dewasa, saat polisi pemproses kasus pencurian yang disangkakan pada dirinya dan rekannya. Kasus ini sempat menjadi perdebatan berbagai kalangan, terlebih setelah vonis 2 bulan lebih atas diri DS. Pendamping DS, Darwis mengatakan, pascakejadian hukum yang dialami oleh DS, kini orangtua DS enggan menerimanya kembali di rumah, karena malu dengan status DS. Orangtua DS pun, imbuh Darwis, tidak lagi memperpanjang masalah ini.
“Berdasarkan informasi yang kita terima, ibu angkatnya tidak mau lagi tinggal dengan anak yang mencuri, malu katanya. Saat ini, DS tinggal bersama kami di kos-kosan, “ tutur Darwis, yang juga merupakan pekerja media.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alfons Kurnia mengatakan, berdasarkan catatan lembaganya, ada beberapa persoalan dalam proses peradilan terhadap anak saat ini. Peradilan ini bukan hanya pada polisi, tapi juga pada jaksa dan hakim.
“Masih sangat minimnya pemahaman dari aparat kepolisian terkait dengan proses terhadap kepidanaan anak. Anak sebagai kelompok rentan, oleh sebab itu dia harus diperlakukan berbeda dengan kelompok lainnya. Kalau kita lihat saat ini kecenderungannya, ketika terjadi sebuah perbuatan pidana, polisi harusnya melihat, apakah si anak ini bisa dipertanggungjawabkan secara hukum atau tidak, berdasarkan pasal 45 ? Dan itu juga ditegasakan dalam Undang-undang sistem peradilan anak, dan UU nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Nah, ini batasan umur yang bisa diminta pertanggungjawaban adalah 12 tahun. Pemahaman, pengetahuan, atau kapasitas aparat kepolisian terkait hal ini masih sangat lemah. Ini bisa dilihat dari banyaknya kasus anak yang berlanjut ke persidangan, tanpa konsultasi terlebih dulu dengan Bapas, “ terang Alfons dalam acara Reformasi Hukum dan HAM di KBR68H, Senin (1/7).
Namun, hal ini dibantah oleh Kepolisian Indonesia. Juru bicara Mabes Polri, Ronny Frenky mengakui minimnya pengetahuan hukum aparat polisi yang berada di daerah menjadi penyebab berlanjutnya proses hukum terhadap DS bocah 11 tahun asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Namun, Bekas Karowassidik Mabes Polri ini menilai, ketidakpahaman ini juga diduga akibat minimnya sosialisasi Undang – Undang di tingkat daerah, terutama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Padahal, UU ini telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, bahwa batas minimal mempidanakan anak adalah usia 12 tahun, dari semula 8 tahun.
“Polisi yang melakukan pemberkasan perkara ini tidak paham, karena tidak pernah memperoleh pendidikan atau mengikuti perkembangan Undang-Undang yang baru, nah kemudian diserahkan Kejaksaan, ternyata jaksa juga sama, nah yang lebih lagi adalah hakim yang memutuskan. Tapi, akhirnya ada pemantauan dari media massa, akhirnya dia bisa diluruskan kembali. Jadi, sosialisasi penanganan terhadap kasus anak ini belum sampai ke aparat penegak hukum. Jadi pembuat UU sudah membuatnya, padahal aparat penegak hukum belum semua mengetahui, tak bisa disalahkan juga, “ tegas Ronny Frenky.
Direktur YLBHI, Alfons Kurnia sepakat, jika ada pemahaman Undang-Undang yang lemah dari aparat kepolisian, terutama di daerah. Namun, yang terpenting saat ini adalah seberapa jauh aparat kepolisian saat ini melakukan proses sosialisasi.
“Ini sebenarnya tanggung jawab negara, tanggung jawab lembaga kepolisian, tidak boleh menyalahkan pihak lain. Apakah memang aparat kepolisian ini sudah memiliki pemahaman terhadap penanganan kasus anak. Harus ada sertifikat dari Mabes Polri, bahwa penyidik yang menyidik mempunyai perspektif terhadap anak. Jika tidak, ini akan menjadi persoalan, “ ujarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh YLBHI dan beberapa LBH lain di Indonesia, kata Alfons, memperlihatkan kecenderungan bahwa yang namanya pemahaman baik di aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaaan, atau hakim itu bersifat pyramid.
“Artinya hanya yang atas yang mengetahui, di bawahnya tidak banyak yang tahu. Untuk itu, institusi yang paling tinggi harus memberikan pemahaman dalam bentuk training, dan hal lain agar mereka memahami cara menangani kasus yang melibatkan anak, dan kelompok rentan, “ tegas Alfons.
Untuk itu, YLBHI meminta kepada kepolisian agar melakukan pengembangan kapasitas hingga tingkat Polsek. Jangan sampai pemahaman-pemahaman Undang-undang dan peraturan lain hanya di tingkat pusat, tapi tidak sampai ke daerah. Untuk jangka panjang, Polri harus memberikan kenyamanan kepada masyarakat, bukan sebaliknya. Sesuai dengan slogan yang didengung-dengungkan selama ini. Terutama menjelang pergantian kepemimpinan Polri dalam waktu dekat. Jangan hanya digunakan untuk kepentingan politik.
Editor: Doddy Rosadi
Pemahaman UU oleh Personil Polri di Daerah Masih Lemah
KBR68H, Jakarta- Polri baru saja merayakan HUT Bhayangkara ke-67. Semoga kinerja Polri makin lebih baik lagi, sebagai garda terdepan pelayan masyarakat.

BERITA
Selasa, 02 Jul 2013 13:34 WIB


hut bhayangkara, pemahamam UU, polisi di daerah
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai