KBR68H, Jakarta - Pemerintah Indonesia, melalui PR Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) akan membeli lahan yang akan digunakan untuk peternakan di Australia senilai sekitar Rp 300 miliar. Menteri BUMN Dahlan Iskan menjelaskan pihaknya telah menunjuk RNI untuk mengelola peternakan tersebut. Saat ini proses studi kelayakan sedang dilakukan, sebelum investasi senilai Rp 300 miliar dimulai. RNI adalah BUMN yang bergerak di bidang agro industri, farmasi dan alat kesehatan, serta perdagangan dan distribusi. Kenapa pemerintah memilih Australia? Simak perbincangan penyiar KBR68H Novri Lifinus dan Rumondang Nainggolan dengan Dirut PT RNI Ismet Hasan Putro dalam program Sarapan Pagi
Sampai saat ini perkembangannya sudah sejauh mana?
Kita masih mendalami beberapa tawaran dari Darwin dan Perth untuk lokasi peternakan yang akan kita kembangkan di Australia. Jadi kita memang masih pada tingkat FS didalam mengkaji kemungkinan yang paling rasional dan paling menguntungkan bagi RNI di dalam pengembangan peternakan sapi sebagaimana yang diminta oleh Pak Dahlan Iskan agar kita mempunyai visi dalam mengamankan cadangan pangan nasional kita 5-25 tahun ke depan.
Kenapa dipilih Australia?
Indonesia ini negaranya memang diakui luas, penduduknya 230 juta sekarang ini. Tapi sebagaimana kita ketahui rentang tanah kita tidak sebanding dibandingkan dengan lautan yang kita miliki dan tanah kita itu terpisah-pisah rentangan daratnya. Kemudian bentangan darat yang memungkinkan untuk peternakan sapi dalam jumlah yang masif dengan skala yang sangat besar itu sangat terbatas, bahkan sulit didapat dalam kondisi yang sekarang ini. Kalaupun ada seperti di NTT maka ada problem yang sangat serius yaitu soal logistik, logistik kita sangat tidak efisien dibandingkan dengan logistik di negara-negara maju. Interaksi trading dengan Indonesia akan bersifat feedback bukan one way, maksudnya kalau kita mengangkut sapi dari NTT dibawa ke Jakarta itu ongkos logistiknya tiga kali lebih mahal dibandingkan dengan saya membawa sapi dari Darwin atau Perth itu dia pulang pergi angkut barang sehingga efisien . Kalau dari Kupang saya angkut sapi pulang ke sana kosong, itu tidak efisien. Belum lagi yang jadi masalah adalah bahwa mencari tanah dalam jumlah yang masif kita sangat kesulitan karena praktik otonomi daerah yang sangat luar biasa mempersulit investasi di dalam negeri. Saya itu sekarang ingin membangun Rumah Potong Hewan di dua lokasi, di Subang dan Kabupaten Majalengka itu sudah empat bulan izinnya tidak jelas diizinkan atau tidak. Itu baru bikin RPH satu dengan kapasitas 100 ekor, anda bisa bayangkan itu. Jadi banyak sekali praktik birokrasi pemerintahan daerah yang justru menghambat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, karena pemdanya sangat ingin sekali menjadikan investor sebagai cash cow dalam pendapatan di luar Pendapatan Asli Daerah.
Kalau disebutkan tadi ada ongkos yang lebih murah dari Australia dibandingkan dengan yang di dalam negeri , bisa dicontohkan?
Yang pasti kita itu sudah mencoba untuk mengangkut daging sapi dari Lombok ke Jakarta dengan pesawat udara itu per kilogram Rp 7.900, kalau darat Rp 5.000. Kemudian kalau menggunakan kapal itu Rp 12.000 per kilogram, jadi lebih mahal dengan angkutan laut dibandingkan dengan darat atau udara. Tapi masalahnya kalau dengan udara terbatas kapasitasnya, kalau dengan darat itu masalahnya jaraknya sangat jauh belum lagi pungutan-pungutannya tinggi sekali sehingga biayanya juga sangat besar. Kenapa, karena masih banyak pungli di jalan-jalan sepanjang dari Lombok ke Jakarta. Saya sudah praktik di lapangan jadi kita mengerti betul bagaimana hambatan yang akan kita hadapi kalau kita betul-betul ingin full mem-backup program pemerintah terkait ketahanan daging sapi ini.
Nanti jenisnya sapi Australia atau apa?
Sapi Australia.
Bedanya dengan sapi Indonesia apa?
Kalau sapi Indonesia itu sapi Bali, sapi Madura, sapi Aceh, sapi NTT. Itu kapasitas badannya sama dengan kita, orang Indonesia itu kecil-kecil sapinya pun kecil-kecil paling tinggi size-nya itu 300 kilogram. Sementara kalau sapi Simental, sapi Brahman atau sapi Limosin itu berat badannya bisa 1 ton. Kalau kita kembangkan di Australia kita tidak perlu menggunakan sistem kandang, dia di havana yang luas jadi akan sangat efisien. Kita tidak perlu lagi pakan yang harus kita siapkan karena di havana semuanya sudah sangat tersedia bagi kebutuhan sapi-sapi yang kita kembangkan. Berat badannya pertumbuhannya satu hari bisa 1 kilogram sampai 1,5 kilogram per hari, sementara sapi lokal paling tinggi 0,7 kilogram sampai 0,9 kilogram per hari.
Dalam setahun target produksinya berapa?
Untuk yang Australia ini kita belum ingin berandai-andai, kita masih melakukan kajian. Penawaran sudah banyak dari Kedutaan Australia, dari perusahaan multinasional dari Australia, perusahaan-perusahaan yang sedang tumbuh yang ditawarkan kepada kami untuk dikembangkan di Australia. Sebagai pebisnis saya tentu tidak ingin mengambil resiko terlalu tinggi dalam konteks investasi di sana. Tapi yang pasti Indonesia ini sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia membutuhkan ketahanan pangan. Ini ironi kita sebagai bangsa besar tapi sepuluh bulan tidak mampu menurunkan harga daging sapi di bawah harga Rp 90.000 per kilogram. Semua pejabat negara mengatakan akan, akan, akan tapi tidak pernah berhasil menurunkan harga itu. Akhirnya saya seminggu yang lalu kita melakukan kalkulasi kita bisa menjual daging sapi dengan harga Rp 70.000 itupun sudah untung besar. Anda mau tahu, daging sapi di Australia dibeli itu hanya Rp 20.000 per kilogram, dibawa ke Indonesia dijual Rp 95.000 per kilogram, berarti ada Rp 75.000 selisihnya. Indonesia sekarang ini Rp 95.000 bahkan minggu depan bisa Rp 100.000 karena mau puasa. Anda mau tahu di Pinang dan Kuala Lumpur harga daging sapi hanya Rp 47.500 per kilogram, padahal jarak antara Perth dan Darwin ke Pinang dan Kuala Lumpur itu lebih jauh dibandingkan dengan Perth dan Darwin ke Surabaya atau Jakarta. Kenapa harganya dua kali lipat, karena daging sapi yang kita impor itu basisnya Ahmad Fathanah, kalau Malaysia itu basisnya barokah.
Nanti untuk bisnis ini sepenuhnya dipegang oleh RNI atau ada keterlibatan pihak lain?
Pada saat final decision nanti kita akan mengetahui apakah full 100 persen dikelola oleh RNI atau join dengan perusahaan yang memang sudah mengembangkan sapi di sana. Yang penting buat kita adalah bagaimana ketahanan pangan daging nasional ini bisa terpenuhi sepanjang masa untuk jangka panjang, bukan saja 1-2 tahun tapi kalau bisa 50-100 tahun ke depan. Kita sadari bahwa Australia itu memang negara yang lahannya sangat bagus untuk pengembangan sapi apakah sapi betina produksi, sapi perah, sapi siap potong. Australia dan Selandia Baru itu merupakan negara yang potensi pengembangan sapinya luar biasa dan tumbuhnya sangat bagus untuk menjadi daya pasok yang maksimal bagi kepentingan sapi Indonesia. Sekali lagi, mengembangkan sapi di Australia jauh lebih efisien dibandingkan dengan kita mengembangkan di dalam negeri. Memang banyak sapi di Indonesia ini apakah di Kupang, Sumbawa, Lombok, Madura tapi pertanyaannya apakah sapi-sapi itu bisa saya beli, bisa saya potong saat diperlukan untuk kepentingan masyarakat ternyata tidak. Karena sapi itu bagi masyarakat kita adalah alat investasi untuk kepentingan kalau-kalau ada keperluan mendesak itu yang mereka jual.
Kapan kita bisa mengetahui keputusannya soal tempatnya di Darwin atau di Perth?
Kita berharap nanti tanggal 20 Juli pada saat kita menyerahkan kepada Pak Dahlan Iskan, proposal terkait dengan kesiapan untuk berinvestasi di Australia sudah dapat kita ketahui mana titik negara bagian yang memungkinkan untuk kita investasi dan partner yang bisa kita ajak join. Apakah kita akan menggunakan partner dari sana atau full 100 persen dari RNI itu masih dalam kajian yang sangat serius, belum juga kita memperhatikan aspek legal dari negara yang bersangkutan. Jangan sampai nanti kita sudah berinvestasi ternyata pedet atau sapi betina yang produktif yang kita kembangkan tidak bisa dibawa ke dalam negeri, itu juga masalah. Kedua yang juga penting adalah konsistensi regulasi Indonesia sendiri, jangan sampai nanti saya sudah kembangkan sapi di sana ternyata tidak dapat kuota ini konyol namanya. Jadi ini yang paling penting adalah membereskan dulu perangkat-perangkat regulator yang ada di Indonesia, agar jangan sampai nanti investasi kita untuk kepentingan yang lebih besar itu terganggu karena kepentingan pragmatis karena praktik transaksional yang ada di birokrasi kita.
Berarti tanggal 20 Juli ya?
Insya Allah 20 Juli kita sudah bisa launching ke publik tentang langkah strategi yang akan kita lakukan terkait dengan investasi sapi di Australia nantinya.
Ongkos Mengangkut Sapi dari NTT Tiga Kali Lebih Mahal Dibandingkan dari Darwin
KBR68H, Jakarta - Pemerintah Indonesia, melalui PR Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) akan membeli lahan yang akan digunakan untuk peternakan di Australia senilai sekitar Rp 300 miliar.

BERITA
Jumat, 05 Jul 2013 09:33 WIB


ongkos, angkut sapi, NTT, lebih mahal, darwin
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai