Bagikan:

Menegakkan Pilar Kebijakan Transportasi Massal

Kemenhub menegaskan, penyiapan angkutan massal saat ini adalah bertujuan untuk efisiensi energi, lingkungan, peningkatan kinerja yang berkelanjutan.

BERITA

Kamis, 18 Jul 2013 16:42 WIB

Menegakkan Pilar Kebijakan Transportasi Massal

transportasi, Djoko Sasono, Dharmaningtyas, macet, transportasi massal

KBR68H, Jakarta- Transportasi sering disebut sebagai urat nadi perekonomian. Tanpa transportasi kegiatan perekomian tak bisa berjalan. Namun sayang, sistem transportasi perkotaan di Indonesia belumlah berbasis massal. Hanya bisa menampung sedikit orang. Kalaupun ada, kualitas dan jumlahnya belum banyak.

Melongok Jakarta, data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan kerugian akibat inefisiensi transportasi perkotaan di Jakarta mencapai Rp45 trilliun di tahun 2010 dan berpotensi terus akan membengkak menjadi Rp65 triliun/tahun pada 2020 jika tidak ada perbaikan siginifikan pada sistem transportasi.

Masyarakat juga merasakan kemacetan lalu lintas; cost berlebih dalam hal mobilitas manusia dan barang. Selain itu, dampak negatif juga dirasakan berkaitan dengan polusi udara yang semakin meningkat dan berdampak lanjut pada menurunnya kualitas kesehatan masyarakat yang terkena paparan polusi tersebut. Transportasi massal nan ramah lingkungan jadi solusi transportasi bagi masyarakat Indonesia. Seperti apakah modelnya? Bagaimana pembangunannya?

Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan, Kementerian Perhubungan, Djoko Sasono mengakui, kemacetan menjadi kendala transportasi di kota-kota besar, dan beberapa kota kecil di Indonesia, saat ini. Kata dia, hal ini patut segera ditangani, untuk memperbaiki kualitas transportasi di Indonesia, ke depan.

”Ini merupakan satu indikasi bahwa kita perlu segera mengambil langkah-langkah yang baik dan benar untuk mengelola transportasi perkotaan secara benar, dan baik, ”terang Djoko Sasono dalam acara Bumi Kita di Studio KBR68H, Kamis (18/7).

Pembangunan infrastruktur, jelas Djoko, tidak bisa selalu dilakukan, melainkan harus dimaksimalkan pemanfaatannya. Artinya, imbuh Djoko, pemanfaatan jalan harus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat, agar bisa menggunakan jalan itu. Ini dilakukan agar semua masyarakat bisa memiliki akses, dan kesetaraan untuk memanfaatkan jalan. Selama ini, minimnya akses itu disebabkan  karena terbatasnya akses masyarakat terhadap kendaraan pribadi, sehingga harus ditampung oleh kendaraan umum.

”Agar timbul kesetaraan, kita harus mendorong tumbuhnya pemanfaatan angkutan umum, atau kendaraan umum di perkotaan. Sehingga semua masyarakat, baik yang mau sekolah, bekerja, atau kegiatan lainnya bisa difasilitasi, ” katanya.

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengiyakan hal ini. Ketua Bidang Advokasi MTI, Dharmaningtyas berpendapat, Pemerintah terlambat dalam penyelenggaan transportasi publik. Hal itu terjadi sejak jaman kemerdekaan hingga era 90an. Saat itu,  ujarnya, angkutan umum masih diserahkan kepada swasta, sementara Pemerintah hanya sebatas regulator.

”Keterlibatan Pemerintah secara langsung dimulai sejak kemunculan bus TransJakarta dalam penyelengaraan transportasi secara langsung. Awalnya itu diserahkan kepada swasta, lalu sejak TransJakarta, Pemerintah sudah ikut langsung. Meskipun, sebetulnya, saya lupa juga, Damri dan PPD sebenarnya diselenggarakan oleh Pemerintah. Namun, waktu itu belum menggunakan sistem khusus, seperti jalur khusus, haltenya sudah dipastikan. TransJakarta ini juga mulai diterapkan dikembangkan di tempat lain. Kita harus jujur, kita terlambat, tapi tidak untuk diratapi. Namun, ini momentum Pemerintah untuk memulai mengembangkan sistem transportasi massal, baik di kota besar, atau kecil. Dan momentum itu bertemu juga dengan momen kenaikan BBM, yang mau tidak mau itu mendorong masyarakat untuk menghemat pemakaian BBM. Salah satu caranya, adalah dengan pengembangan transportasi massal, ”jelas Dharmaningtyas.

 Jika ini dilakukan, ujar Dharmaningtyas, secara otomatis akan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi yang akan mengurangi dampak pada lingkungan. ”Pengurangan dampak lingkungan itu akan terjadi secara otomatis, ” ujar alumni UGM ini.

Kemenhub menegaskan, penyiapan angkutan massal saat ini adalah bertujuan untuk efisiensi energi, lingkungan, peningkatan kinerja yang berkelanjutan. Transportasi massal, ujar Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Kementerian Perhubungan Djoko Sasono, adalah salah satu instrumen keberlanjutan. Sasaran  yang sebenarnya, antara lain efisiensi energi. Ini penting untuk didorong agar tumbuh. Itu juga telah diatur dalam UU nomor 22 tahun 1999.

”Langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh Kemenhub antara lain dengan memberikan bantuan kepada bis kepada kota-kota yang memang perlu segera diadakan angkutan massal. Sudah ada 16 kota, antara lain Bandung, Bogor, Yogja, Solo, Pekanbaru, dan Palembang. Yang luar biasa adalah Bandar Lampung, dan Jakarta yang dengan usahanya sendiri mengupayakan pengadaan transportasi massal, dan halte di wilayahnya. Sementara yang lain, diberikan bantuan bis, peralatan, dan penerapan ITS, yakni alat yang dipasang pada bis yang berfungsi memberikan sinyal pada lampu merah yang ada di perempatan jalan menjadi hijau ketika bis akan melintas. Dengan alat ini, bis akan jalan terus, tanpa terkena lampu merah. Dengan ini diharapkan masyarakat akan pindah ke public transport, dan akhirnya dapat memperbaiki kualitas udara,” jelas Djoko.

Djoko Sasono menyebut, saat ini Pemerintah mempunyai lima pilar kebijakan dalam pengembangan transportasi. ”Salah satunya penerapan angkutan massal, rekayasa lalu lintas, bagaimana kita mengatur lalu lintas, mengelola kebutuhan permintaan dengan transport demand management, kemudian memanfaatkan non motoris transport, pejalan kaki dan pesepeda, serta Gasifikasi. Semua ini penting, tapi harus dijalankan secara bersamaan. Bis pun jika tidak dikawal, juga akan berbahaya, jika dilihat kondisi lalu lintas saat ini. Jika menyoal isu lingkungan, kita juga harus bandingkan lebih efisien mana okupasi penggunaan bis dengan mobil biasa, itu dapat kita ketahui, serta dampaknya terhadap lingkungan,” katanya.  

Kebijakan pemerintah pusat tersebut, menurut Ketua Bidang Advokasi MTI, Dharmaningtyas, harus didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah. Karena, kata dia, kewenangan transportasi di daerah saat ini adalah wewenang Pemda, sementara Pemerintah Pusat hanya bertugas memantau, dan regulator.

”Banyak regulasi yang masih debatable saat ini, terutama jika menyangkut transportasi antar daerah. Namun, UU Otonomi Daerah disebutkan, sudah ada pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Semisal Busway, itu merupakan domain pemerintah daerah, sementara pemerintah pusat hanya mengatur di regulasi, implementasi tetap di daerah. Sekarang ini yang banyak berperan adalah daerah, dana pun sudah digelontorkan ke daerah, baik melalui DAU atau DAK. Namun, banyak daerah yang belum memahami tanggung jawab ini, ” tutup Dharmaningtyas.

Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Kementerian Perhubungan. 


Editor: Vivi Zabkie

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending