KBR68H, Jakarta - Hari ini genap 67 tahun usia Korps Kepolisian. Berbagai lembaga dan kelompok masyarakat melakukan evaluasi terhadap kinerja satu tahun terakhir institusi bersemboyan Rastra Sewakotama ( abdi utama bagi nusa bangsa) itu. LSM Kontras menilai, Kepolisian sebagai institusi yang paling banyak terlibat kasus kekerasan terhadap warga sipil. Dari 100 tindakan penyiksaan, sebanyak 55 di antaranya diduga dilakukan polisi, 10 kasus oleh TNI, dan 35 kasus oleh sipir. Apakah benar insitusi Polri masih menjadi yang paling banyak terlibat kekerasan terhadap warga sipil? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Novri Lifinus dengan Anggota Kompolnas, Hamidah Abdurrahman dalam program Sarapan Pagi.
Pengaduan yang diterima Kompolnas cukup banyak, ada perbandingan dengan tahun sebelumnya?
Kalau dibandingkan tahun 2010-2011 memang lebih banyak. Karena pada saat itu ada sekitar 1.200 saran dan keluhan yang masuk ke Kompolnas, cuma memang agak sedikit beda. Jadi kalau saat sekarang ini mulai bulan Juni sampai bulan Desember kami menangani sekitar 478 kasus, bulan Januari sampai bulan Juni ini 278 kasus. Bedanya bahwa kami hanya memproses surat-surat yang ditujukan langsung kepada Kompolnas, bukan bersifat tembusan.
Kalau yang tembusan lebih banyak lagi?
Iya karena dia ditujukan ke komisi lainnya, kita hanya tembusan jadi tidak kita proses.
Hanya mengawasi atau hanya sekadar mengetahui?
Iya. Kita tahu bahwa ada laporan seperti itu tapi karena dia hanya tembusan, biasanya memang lalu mereka akan datang. Kalau mereka datang kami akan memprosesnya.
Dari data akhir tahun lalu hingga awal tahun ini dibandingkan tadi ada penurunan, tapi yang tidak menurun kasus apa saja?
Keluhan masyarakat masih sama bahkan menurut saya 90 persen ada di bidang reserse. Ada lima kategori, pertama adalah pelayanan yang buruk. Pelayanan buruk itu maksudnya terlalu lama batas waktu antara laporan polisi dengan penyelesaian kasus, itu ada yang sampai dua tahun, bahkan kemarin saya menemukan di Bogor itu di atas lima tahun baru diselesaikan. Kita tidak mengerti kendala apa, biasanya polisi memang menyampaikan kendalanya karena saksi-saksi atau alat bukti.
Apa ada pengaruhnya misalnya kecilnya anggaran untuk penyelidikan dan penyidikan Polri?
Tidak. Menurut saya tidak karena setiap mereka menyelesaikan kasus sampai penyerahan berkas ke jaksa mereka dapat biaya dan penyelesaian perkara di tingkat kepolisian ini untuk perkara-perkara biasa tidak membutuhkan biaya banyak, karena saksi dengan mudah didapat. Kecuali memang daerah-daerah luar Jawa yang kami temui misalnya di Aceh, Sulawesi, NTT itu memang biaya segitu apa artinya karena saksinya ada di luar Polda atau Polres. Kalau masih di Jawa saja saya melihat kecuali kasus-kasus yang rumit itu ya wajarlah untuk biaya segitu dan satu bulan mereka bisa menyelesaikan perkara cukup banyak.
Bidang Lantas bagaimana?
Bidang Lantas ini memang tidak termasuk perkara yang banyak dilaporkan masyarakat, paling hanya 1-2 persen. Jadi pelayanan-pelayanan di bidang administrasi menurut saya sudah cukup baik, karena ada beberapa Polres yang melakukan terobosan dan melakukan misalnya drive thru.
Kalau perbaikan masalah di internal Polri apa saja?
Saya lanjutkan dulu, jadi yang kedua adalah penyalagunaan wewenang ini yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan dalam kasus dan kekerasan dalam penyelidikan. Jadi seperti yang kemarin laporan dari Sumatera Barat ada empat kasus dimana tahanan ini mengalami kekerasan baik oleh polisi maupun sesama tahanan. Kemudian juga rekayasa kasus yang banyak dilaporkan seperti perdata menjadi pidana, kemudian orang yang melaporkan sebuah kejahatan dijadikan tersangka. Kemudian deskresi yang berlebihan, menurut saya seperti kasus Ari Wibowo itu deskresi yang berlebihan jadi polisi mengambil tindakan menurut penilaiannya sendiri. Kemudian juga korupsi seperti kasus simulator dan beberapa kasus korupsi yang kita temui. Kalau masalah internal Polri cukup kompleks, pertama tentang SDM yang jadi sorotan kami. SDM itu yang nomor satu adalah pemenuhan personel untuk suatu wilayah ini tidak merata, katakanlah sampai ada pameo polisi-polisi yang ada di Polda Metro Jaya meskipun mereka tidak menjabat tapi lebih senang ada di situ daripada harus keluar wilayah. Sementara itu ada wilayah-wilayah yang membutuhkan banyak personel ternyata tidak cukup.
Soal kesejahteraan ya?
Soal jumlah personel. Kita tahu bahwa ada program satu polisi satu desa, itu juga terpaksa banyak polisi yang merangkap. Faktor kedua adalah anggaran, anggaran Polri secara keseluruhan ini memang kalah dibandingkan beberapa negara lainnya. Sehingga ibaranya kalau kita gambar seperti piramida terbalik, kemudian sampai ke Polsek tinggal pucuk-pucuknya saja. Saya pernah ke Polsek dimana Pak Timor pernah bertugas di sana, di Gayamsari Semarang itu kondisinya seperti itu, mungkin Pak Timor suatu hari harus datang melihat Polsek Gayamsari.
Terkait kinerja Polri saat ini berhubungan juga dengan pimpinan saat ini?
Kalau saya baca secara normatif sepuluh program revitalisasi yang dicanangkan Pak Timor bagus sekali. Banyak hal penekanan salah satunya adalah pelayanan prima agar polisi dicintai masyarakat, masalahnya adalah itu tidak sampai ke bawah. Jadi sepuluh program revitalisasi itu ada supremasi hukum, integritas personel, kecepatan penanganan itu tidak sampai ke level bawah. Saya tidak mengerti, Kompolnas sendiri sedang berusaha untuk mempelajari itu kenapa reformasi Polri dan juga sepuluh program revitalisasi ini tidak sampai ke tingkat bawah. Jadi seolah-olah hanya mengambang saja di tingkat atas,tetapi ketika sampai di lapangan yang dilakukan oleh para Bintara dan seterusnya itu ya kembali lagi ke budaya yang sudah ada.
Artinya pembangkangan perintah?
Mungkin seperti itu tetapi ini tidak menjadi sebuah perhatian dari pimpinan Polri. Saya pikir di Hari Bhayangkara ini mungkin Kapolri perlu mengevaluasi pelaksanaan revitalisasi itu mana yang berhasil dan mana yang tidak, kalau yang tidak ya dicarikan jalan keluarnya. Supaya apa yang dipikirkan oleh Pak Timor tentang polisi ini menjadi sosok yang dicintai masyarakat, bukan hanya dibutuhkan tetapi dicintai masyarakat itu juga jadi etos kerja para Bintara yang ada di bawah. Jadi mereka tidak akan memukul tahanan, tidak melakukan rekayasa.
Terkait pergantian pucuk pimpinan, siapa yang pantas menjadi Kapolri berikutnya?
Kita membuka email masyarakat yang cukup banyak. Tetapi memang rata-rata mereka susah mencari sosok pengganti Pak Timor karena mereka melihat calon-calon yang ada itu mempunyai catatan-catatan bagi masyarakat. Kompolnas harus objektif, kami melihat di tingkat perwira tinggi misalnya ada tiga jenderal berbintang tiga yang sangat memadai untuk seandainya presiden melaksanakan pergantian Kapolri. Saya kira memang yang penting seorang Kapolri itu dia punya komitmen, dia harus berani, dia harus tegas itu saja kalau rencana kerja sudah bagus.
Beberapa tahun lalu Polri punya program Quick Wins dalam peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Anda melihat perkembangannya bagaimana?
Itu sama. Jadi Quick Wins berhenti pada tingkat tataran atas, dalam berbagai kasus misalnya ada gap yang terjadi di level bawah sehingga tidak sampai pesan-pesan Kapolri.
Berarti gagal Kapolri dalam revitalisasinya?
Tidak gagal seluruhnya, seperti Densus 88 berhasil.
Kompolnas: Polisi Masih Terlalu Lama Menyelesaikan Sebuah Kasus
KBR68H, Jakarta - Hari ini genap 67 tahun usia Korps Kepolisian. Berbagai lembaga dan kelompok masyarakat melakukan evaluasi terhadap kinerja satu tahun terakhir institusi bersemboyan Rastra Sewakotama ( abdi utama bagi nusa bangsa) itu.

BERITA
Senin, 01 Jul 2013 10:12 WIB


kompolnas, laporan masyarakat, reserse, penyelesaian kasus
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai