KBR68H, Jakarta - Para pemuka agama biasanya memiliki gelar tersendiri, seperti Bante untuk Budha, pendeta untuk Kristen, Romo untuk katolik dan Ustadz untuk Islam. Untuk mendapatkan gelar-gelar itu, seseorang mesti memenuhi persyaratan-persyaratan. Di antaranya seperti lulus S1 pendidikan agama atau teologi dan memiliki jemaat tersendiri yang mengakui. Namun, tampaknya mulai muncul kecenderungan baru di televisi, terutama saat Bulan Ramadhan hingga menjelang lebaran.
Lembaga penyiaran mulai memberi jatah atau slot siaran, terutama pada para penceramah di sekitar Ramadhan. Rumah produksi atau produser memilah para penceramah melalui casting dan melambungkan nama penceramah yang sesuai dengan kepentingan televisi-televisi swasta itu. Selain itu, mereka memberi julukan para penceramah itu dengan embel-embel, biasanya disebut ustadz.
Menurut pengamatan Direktur LSM Pemerhati Siaran Remotivi, Roy Thaniago, fenomena casting ustadz merupakan dampak dari runtuhnya rezim Orde Baru dan berganti menjadi era reformasi. Kata dia, era reformasi memberi keleluasaan terhadap media untuk mengemas isi siarannya. "Regulasi negara kehilangan kekuatan. Kemudian muncul kemungkinan-kemungkinan agar televisi definisi agama atau ustadz nya itu sesuai dengan keinginan mereka," asumsinya.
Hal itu ditambah dengan adanya anggapan yang sejak lama dipercaya, bahwa medium televisi itu sarat dengan unsur hiburan. Jadi sangat jarang ada televisi yang mengemas acaranya untuk hal-hal yang serius. Hingga pada akhirnya, setiap tayangan yang ingin ditampilkan di televisi pada akhirnya dituntut harus memenuhi kualifikasi dan unsur hiburan. Hal ini kata dia, berlaku untuk semua tayangan. Termasuk tayangan soal agama.
"Sehingga agama atau ustadz yang tampil di televisi harus melalui serangkaian seleksi sesuai dengan keinginan televisi yang bersangkutan. Jadi ada anggapan baru bahwa ustadz yang menarik adalah ustadz yang mampu menghibur. Itu sebabnya belakangan ada seleksi atau casting bagi para ustadz yang ingin tampil di televisi," paparnya.
Padahal, salah satu tujuan adanya televisi adalah untuk memberikan informasi ketimbang hiburan. Seiring perkembangan zaman, medium televisi dijadikan alat bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menunjukkan eksistensinya di masyarakat.
"Sehingga banyak anggapan yang menyebut bahwa salah satu cara untuk eksis adalah dengan tampil di televisi," ujarnya.
Rupanya, hal ini juga dirisaukan oleh salah satu Tokoh Nahdlatul Ulama, Slamet Effendi. Ia mengaku acapkali mendapat keluhan dari masyarakat mengenai selebritas ustadz yang tampil di televisi. Dari keluhan-keluhan itu kata dia, dapat diambil kesimpulan bahwa niat awal untuk berdakwah dikalahkan oleh unsur hiburannya.
"Sekarang ini lebih banyak ustadz yang lebih mengedepankan gaya (berceramah-red) ketimbang isi dan substansi dakwahnya," keluhnya.
Ia justru mengimbau agar para pemirsa bisa lebih selektif dalam memilih isi tayangan televisi itu sendiri. Karena menurutnya, stasiun-stasiun televisi itu hanya berperan menyajikan isi tayangan. Apabila isi tayangan itu tidak mendapatkan respons dari khalayaknya, maka dengan sendirinya acara itu akan berhenti.
"Televisi-televisi itu kan sangat bergantung pada rating. Kalau rating-nya rendah, mau tak mau mereka harus menghentikan tayangannya. Karena rating--bagi televisi berarti keuntungan," katanya.
Dampak yang paling dikhawatirkan dari fenomena itu adalah mengikisnya nilai-nilai keagamaan seseorang. "Nilai-nilai agama terancam terdegradasi dengan hiburannya. Padahal, televisi sudah begitu banyak menampilkan hal-hal yang menghibur. Jangan sampai aspek agama juga dikemas dengan cara seperti itu," tegasnya.
Roy juga sepakat dengan apa yang dilontarkan oleh Slamet. Pemirsa memiliki peran penting bagi sukses-tidaknya sebuah acara di televisi. Namun, pemirsa juga dituntut untuk lebih cerdas memilih tayangan yang ditampilkan oleh stasiun-stasiun televisi ini. "Jadi, jangan mencari agama di televisi. Carilah agama di medium-medium yang memungkinkan menampilkan agama secara utuh. Jangan meletakkan posisi televisi atau media sebagai satu-satunya sumber untuk memenuhi keingintahuan kita tentang agama," sarannya.
Apa yang dikatakan oleh Roy soal pencarian tentang agama juga disepakati oleh salah satu pendengar di Cakung, Jakarta Timur, Moses Simarmata. Menurutnya, televisi itu punya manajemen yang membentuk isi ataupun pesan yang ditayangkan di medium televisi. "Jadi target mereka sudah tentu bukan dakwah. Melainkan rating. Malah tak sedikit dari mereka yang tidak memahami arti Islam secara utuh," ujarnya.
Ketika Penceramah Harus Dicasting untuk Tampil di Televisi
KBR68H, Jakarta - Para pemuka agama biasanya memiliki gelar tersendiri, seperti Bante untuk Budha, pendeta untuk Kristen, Romo untuk katolik dan Ustadz untuk Islam.

BERITA
Jumat, 05 Jul 2013 10:57 WIB


penceramah, televisi, dicasting, bulan ramadhan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai