KBR68H, Jakarta - Pekan lalu, terjadi kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara. Sekitar 200-an tahanan kabur, diantaranya terdapat terpidana terorisme. Akibat kerusuhan lima orang terdiri petugas lapas dan tahanan tewas. Rusuh dipicu antara lain minimnya fasilitas yang diterima oleh tahanan, yaitu matinya listrik dan air. Akibatnya tahanan meluapkan emosinya dengan membakar lapas . Kemarahan tahanan juga dipicu oleh jumlah tahanan telah melebihi kapasitas. Lapas yang sedianya dihuni oleh seribuan tahanan, nyatanya dihuni oleh lebih dari 2 ribuan tahanan. Meski berstatus sebagai tahanan, tentunya mereka memliki hak yang sama sebagai warga negara.
Deputi Program Pusat Kajian Tahanan atau Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei berpendapat, kondisi Lapas di Indonesia saat ini rata-rata mengalami kelebihan kapasitas 200-300 persen. Selain kelebihan kapasitas, masalah lain yang masih terjadi di Lapas adalah kekerasan, pungutan liar , dan penularan ilmu kejahatan di dalam penjara, yang juga jadi kendala.
“ Contoh di Rutan Salemba, 1.500 hunian dihuni 3.500 orang, di, Cipinang 880 hunian dihuni sampai 2.900. Inilah kondisi actual lapas di Indonesia. Belum lagi kasus lain, semisal pelayanan di dalam rutan, pungli, kekerasan serta ilmu-ilmu kejahatan, karena adanya pencampuran tahanan. Hal ini, seharusnya tidak perlu terjadi jika ada pemisahan tahanan. Karena itu harusnya wajib dilakukan, dan sudah diatur secara internasional, yang mengatur pemisahan tahanan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, mulai yang berat, hingga ringan. Namun, over kapasitas yang terjadi menjadi penghambat proses pembinaan dan treatment keamanan, maka masalah yang harus segera diatasi adalah over kepasitas tersebut, saat ini, “ terang Gatot dalam acara Reformasi Hukum dan HAM di KBR68H, Senin (15/7).
Dari 33 Provinsi di Indonesia, tidak semua lapas mengalami kelebihan kapasitas. Kata Gatot, hal itu bergantung dari Kepala Lapas di masing-masing Provinsi.
“Ada beberapa Lapas yang tidak melebihi kapasitas, misalnya harusnya 800 diisi sampai 1300-1500, itu masih bisa diatasi. Proses treatmentnya pun berjalan. Hal ini kembali bergantung pada Kalapasnya, bagaimana mereka mengatur Lapas. Jika, mereka memiliki visi mengelola, akhirnya lapas itu menjadi baik, “ kata pria berkacamata ini.
Berdasarkan riset Center for Detention Studies (CDS) pada 2008, jelas Gatot, pihaknya sudah memberikan cetak biru rekomendasi perubahan pembaruan pemasyarakatan.
“ Dari data riset tersebut sudah dibuatkan Peraturan Menteri-nya untuk pelaksanaannya.”
Namun, kata Gatot, masalah over kapasitas, fasilitas mewah, kekerasan, dan narkoba di lapas hanya masalah yang ada di permukaan saja.
“Over kapasitas hanyalah masalah yang ada di permukaan. Ada masalah yang mendasar yang terjadi di Dirjen Pemasyarakatan. Berdasarkan riset kami, persoalan struktur organisasi, dan SDM menjadi persoalan lain yang juga harus dibenahi. Riset kami menunjukkan, bahwa Dirjen Pemasyarakatan hanya membuat standar saja. Sebagai contoh, standar membuka pintu bagaimana caranya ? Kemudian, dibuatlah standar membuka pintu lapas. Contoh lain soal bagaimana cara membuat lapas yang mampu menampung 2.000 ribu orang. Nah, kemudian dibuatlah kembali standar bangunan oleh Dirjen Pemasyarakatan. Jadi, selama ini Dirjen tidak langsung membawahi Unit Pelaksana, hanya mengedarkan standar yang dibuat, namun lemah dalam pengawasan. Meski pengawasan itu juga dilakukan, tapi di bawahi langsung Inspektorat Jenderal KemenkumHAM, “ tegas Gatot.
Kasus Tanjung Gusta, kata Gatot, memang berawal dari padamnya listrik seharian penuh, dan habisnya pasokan air di lapas. Namun, protes itu bukan ditujukan kepada petugas lapas, melainkan kepada pemerintah. Meski begitu, rusuh di lapas bukan hanya karena over kapasitas, hal itu juga bisa terjadi di lapas yang tidak over kapasitas, dengan berbagai sebab.
“Pada akhirnya narapidana di Tanjung Gusta juga mengakui bahwa memang ada akumulasi emosi sebelumnya yang disebabkan oleh PP 99/ 2012 soal Pengetatan Remisi. Tapi, secara teori pemicu konflik itu banyak hal, contoh di Nusakambangan pada 2009 juga terjadi kerusuhan, meski lapas itu tidak over kapasitas. Di Salemba, hampir tiap hari terjadi perkelahian, tapi karena petugasnya bisa mengatasinya, maka kerusuhan itu tidak meluas.”
Apa yang disampaikan oleh Gatot, dibantah oleh Dirjen Keamanan dan Ketertiban (Dir Kamtib) Kementerian Hukum dan HAM, Wibowo Joko. Semisal pernyataan soal ada perbedaan perlakuan antara napi koruptor dan pencuri ayam. Wibowo Joko menegaskan, perbedaan perlakuan itu tidak ada. Kata dia, semua napi mendapat hak yang sama.
“Semua diperlakukan sama, pada tataran haknya. Yang berbeda, adalah memang sudah dari asalnya. Dari luar sudah berbeda. Misal bekas Gubernur pakai baju levis, maling ayam pakai baju casual biasa. Itu perbedaan alam. Tapi, jika hak mendapat makan dan kesehatan. Semua sama, “ tegas Wibowo Joko.
Wibowo juga membantah, jika ada fasilitas berupa televisi, atau perabotan mewah lain di ruang tahanan.
“Tidak ada itu tv di tahanan. Yang ada adalah tv untuk ditonton bersama. Jika ada tahanan dikirimi ayam panggang, sementara napi lainnya dikirimi tempe oleh keluarganya, itu bukan perbedaan. Karena keluarga mereka mempunyai tanggung jawab masing-masing. Intinya semua warga binaan pemasyarakatan mendapatkan hak yang sama. ”
Pengetatan remisi bagi napi koruptor, narkoba, dan teroris yang menguat seiring dengan terjadinya pembakaran Lapas Tanjung Gusta, dinilai sengaja dimunculkan bersamaan dengan kasus pembakaran lapas. Deputi Program Pusat Kajian Tahanan atau Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei menjelaskan, PP 99/ 2012 itu tidak perlu dipermasalahkan, apalagi yang mempermasalahkan anggota DPR. Karena sudah ada PP 28/2006 tentang pengetatan remisi bagi Bandar narkoba, koruptor dan teroris.
“Jika ini dipermasalahkan, harusnya sejak dari dulu. Ini seperti aji mumpung saja ketika ada kasus Tanjung Gusta. Yang saya khawatirkan, narapidana di bawah tertipu, seolah-olah DPR membela mereka, padahal ini hanya membela koleganya, bukan mereka. Jika memang DPR membela mereka secara umum, harusnya DPR fokus pada penganggaran pembangunan lapas baru, kesehatan bagi napi, bukan soal PP, lagi. Ini masalah permukaan, dan tidak mendasar.”kata Gatot.
Editor: Doddy Rosadi
Kemenhukham Harus Punya Visi dalam Mengelola Lapas
KBR68H, Jakarta - Pekan lalu, terjadi kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara. Sekitar 200-an tahanan kabur, diantaranya terdapat terpidana terorisme.

BERITA
Senin, 15 Jul 2013 14:25 WIB


kelola lapas, tanjung gusta, kemenhukham, visi
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai