“Kami adalah manusia. Kami adalah warga NKRI dan kami adalah orang sasak asli di sini yang lahir. Kami sudah mengungsi selama lebih dari 7 tahun, tepatnya tanggal 4 Februari 2006 sampai sekarang. Kami mengalami amuk massa sama seperti di tempat tempat lain. Tapi rupanya amuk massa di NTB lain dengan di daerah lain. Kami mengalami penyerangan, pengrusakan, penjarahan, pembakaran aset warga, penganiayaan dan pembunuhan. Padahal eksistensi Ahmadiyah di NTB sejak 1952.”kata salah seorang jemaat Ahmadiyah di Transito Nusa Tenggara Barat, Nasiruddin Ahmadi.
Nasiruddin mengatakan, kepengurusan Ahmadiyah di NTB terbentuk sejak tahun 1970. Dan selama itu pula warga Ahmadiyah hidup berdampingan dengan warga sekitar. Bahkan, tegas Nasiruddin, hampir 32 tahun kami hidup di basis terbesar NTB, Nahdhatul Wathon. “Ketika tiang guru hidup, kami sangat harmonis” kenang Nasiruddin.
Malang tak dapat dielak. Genderang kebencian yang bermula di tahun 1998 memuncak pada tahun 2002, tiga tahun setelah peristiwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Parung, Jawa Barat. “Peran media memang sangat luar biasa. Belum lagi keluarnya Fatwa MUI. Ancaman dan kekerasan semakin meningkat,” kata Nasiruddin. Padahal, kami masih kerabat dengan warga lain, imbuh Nasiruddin.
Kini mereka menanti respon serius pemerintah setempat, juga pemerintah Pusat. Sebut saja penawaran relokasi ke pulau Gilitangkong. “Kami sudah dua, tiga kali survey ke sana dengan dana sendiri, nyebrang perahu, ternyata memang tidak ada pulau itu. Masyarakat setempat juga tidak tahu,” terang Nasiruddin. Belum lagi, kata Nasiruddin, janji akan melibatkan warga Ahmadiyah sebagai peserta transmigrasi, juga hanya sebatas janji. Termasuk janji membeli aset warga yang justru menuding warga Ahmadiyah meminta harga tinggi.
“Bagaimana dengan jatah hidup kami? KTP sebagai barang berharga bagi kami sampai sekarang kami tidak mendapatkan hal itu."katanya.
Sedangkan segala pengurusan administrasi warga negara dan akses penerima bantuan membutuhkan kartu sakti tersebut. Nasiruddin mengatakan, pihaknya tidak pernah tersentuh bantuan pemerintah, mulai dari bantuan raskin, tabung gas, bahkan BLSM.
“Harapan kami laksana jatuh ke lubang tidak ada dasar. Bagaikan kami berlayar tanpa ada pantainya. Bagaikan kami berjalan tanpa ada tepinya,” tutur Nasiruddin.
Tak berhenti di sini, pengabaian terhadap warga Ahmadiyah di Transito NTB pun berlanjut. Pemerintah setempat menyebut mereka hanya sebagai warga titipan sehingga tak perlu dilibatkan dalam pemilihan walikota. Sedangkan untuk pemilu 2014 mendatang, mereka diikutsertakan dengan alasan sebagai wrga NTB.
Diskriminasi terhadap warga Ahmadiyah juga diterima oleh anak anak mereka. Seperti tes baca Alquran yang ditetapkan kepada warga Ahmadiyah saat mereka masuk ke Sekolah Dasar. Berkat pendekatan orangtua, kini, mereka tak lagi menerima perlakuan berbeda di bidang pendidikan. Hanya saja, imbuh Nasiruddin, anak anak Ahmadi di Transito dan Kamp Pengungsi Praya Lombok Tengah kesulitan membeli alat tulis dan biaya masuk sekolah saat tahun ajaran baru tiba.
Represi, Bukan Konflik Agama
Belum lama ini Presiden SBY berjanji akan memimpin langsung upaya rekonsiliasi antara penganut Syiah dan kelompok yang menentang mereka di Sampang, Madura akhir Juli nanti. Ini juga baru sekedar janji yang diterima ratusan warga Syiah Sampang yang kini mengungsi di Rumah Susun Puspa Agro, Sidoarjo Jawa Timur. Lokasi ini menjadi tempat pengungsian kedua setelah sebelumnya mereka diungsikan di GOR Sampang pascapenyerangan dan pembakaran dusun mereka di Nangkernang 16 Agustus 2012.
Koordinator Kontras Haris Azhar punya ukuran proses rekonsiliasi. Ini didasarkan pada pengalaman bangsa ini dalam melakukan proses rekonsiliasi konflik di Ambon, Aceh, dan Lampung. “Semuanya tergantung dari pemerintah. Kedua, kita khawatir rekonsiliasi melupakan hak-hak para korban,” terang Haris.
Misalnya, kata Haris, hak keperdataan seperti aset, tanah, rumah, pendidikan, pemulihan sosial dan ekonomi mereka, termasuk hilangnya masa kecil korban selama mengungsi.
Namun, Haris menyayangkan proses rekonsiliasi itu. Rekonsiliasi, menurut Haris, justru seringkali membangun konsepsi publik -di luar Sampang dan Syiah- yang berarti orang syiah juga melakukan kekerasan.
Padahal, menurut Haris, kasus yang dialami Ahmadiyah dan Syiah Sampang adalah represi, bukan konflik. “Ahmadiyah dan Syiah terus menerus menjadi obyek kekerasan.” Pertanggungjawaban negara harus memenuhi hak setiap warga negara. Dalam konteks kekerasan atas nama agama, tegas Haris, ini bukan konflik, melainkan soal penegakan hukum dan perlindungan terhadap mereka yang merupakan pertanggungjawaban negara. Diantaranya menjaga keamanan dan menyediakan kebijakan yang menjamin keberadaan mereka.
"Yang terjadi hari ini pemerintah Pusat dan daerah membangun kebijakan yang justru meligitimasi ketidakamanan bagi mereka. Dan menganggap mereka patut dipinggirkan secara fisik dan non fisik. Ini soal eksistensi. Soal manusia yang dicabut dari akar kehidupannya,” tegas Haris.
Jika pun ada respon dari pemerintah, Haris menilai kualitas respon itu sangatlah buruk. Haris mencontohkan ada sejumlah aparat kepolisian yang kadang justru menyediakan informasi kepada para penyerang.
Jika represi terhadap warga Syiah dan Ahmadiyah tak juga berhenti, rekonsiliasi hanya akan menjadi basa basi petinggi negeri ini.
“Harapan kami adalah kami ingin hidup. Mendapatkan jaminan keamanan, kapan dan dimanapun kami tinggal, tanpa itervensi dan intimidasi dari siapapun. Kami sudah lakukan itu, ada sejumah kami pindah ke Sumbawa, ke Sulawesi, Kalimantan, tapi karena tidak ada jaminan keamanan, ya, kami diserang lagi,” pungkas Nasiruddin.
Editor: Doddy Rosadi