Bagikan:

Christina Rantetana, Laksamana Perempuan Pertama di TNI AL

KBR68H, Jakarta - Perempuan yang satu ini pernah ada yang menjuluki sebagai Perempuan Serba Pertama.

BERITA

Senin, 22 Jul 2013 10:48 WIB

Author

Airlambang

Christina Rantetana, Laksamana Perempuan Pertama di TNI AL

Christina Rantetana, laksamana perempuan, TNI AL

KBR68H, Jakarta - Perempuan yang satu ini pernah ada yang menjuluki sebagai Perempuan Serba Pertama. Dialah Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan, Christina M Rantetana. Lahir sekitar 58 tahun silam di Tana Toraja, Christina merupakan perempuan pertama yang menjadi jenderal atau laksamana di TNI Angkatan Laut.

Christina yang dimasa kecilnya selalu ketakutan bila melihat tentara ini juga menjadi perempuan pertama yang pernah mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando TNI AL di luar negeri, yakni di Royal Australian Naval Staff Course di Sydney, Australia. Dan jadi yang pertama pula ketika ia mengikuti pendidikan singkat di Amerika Serikat. 

Dia juga menjadi anggota Korps Wanita Angkatan Laut pertama yang pernah mendapat tugas sebagai anggota DPR dari Fraksi Utusan TNI.  Kepada Jurnalis Tempo TV Alif Imam Nurlambang, Laksamana Muda TNI AL Christina M Rantetana berbagi cerita masa kecil dan pandangan-pandangan intelektualnya terhadap situasi Negara saat ini.

Masuk ke dunia militer banyak orang bilang ini dunia laki-laki, kemudian bisa mencapai level yang sangat tinggi. Bagaimana ceritanya?

Sebetulnya saya tidak pernah bercita-cita untuk masuk jadi anggota militer.
 
Jadi siapa yang mendorong kalau begitu?

Yang mendorong teman saya. Teman saya waktu itu ingin mendaftar, tapi di balik itu ada almarhum ayah saya. Saya ikut saja karena pada waktu itu terus terang saya itu saya orang yang takut sama tentara. Jadi waktu saya kecil rumah kami di pinggir jalan, jadi sering ada penyerangan-penyerangan terhadap kendaraan yang jalan dari Toraja ke Makasar dan oleh karena itu jadi daerah operasi tentara. Banyak sekali tentara berkeliaran di Sulawesi Selatan, jadi saya masih terbawa trauma itu melihat tentara. Tetapi karena diajak oleh teman saya ikut saja, dia bilang ke Angkatan Laut, saya bilang Angkatan Laut itu dimana, dia bilang di Paotre. Saya ikut daftar kok tiba-tiba saya yang iseng lulus, teman saya yang mengajak itu tidak lulus dan sampai sekarang tidak pernah ketemu. Terus saya ikut tahap kedua, alhamdulillah lolos juga. Waktu saya masuk pendidikan di Bandung baru saya mulai sadar ternyata mungkin jalan hidup saya harus seperti ini, dunia yang tidak pernah saya bayangkan kemudian saya harus masuk ke situ. Setelah pembukaan pendidikan saya komitmen pada diri saya bahwa ternyata dunia ini yang harus saya geluti.

Waktu itu berapa banyak perempuan?

Belum terlalu banyak mungkin di kami sekitar 1 persen, sekarang sekitar 2-3 persen. Kemudian tahun 1978 masuk pendidikan sampai dengan 1979, kemudian 1 April 1979 saya dilantik jadi perwira.
 
Operasi apa yang sempat diikuti?

Operasi Bhakti Surya Baskara Jaya pertama yang selalu dengan kapal perang ke daerah-daerah untuk memberikan pelayanan ke masyarakat di titik-titik pulau pertama dan kita yang pertama. Waktu itu perwiranya cuma saya sendiri dan empat orang Bintara yang perempuan dari sekitar 60 orang ABK dan tim yang harus menggunakan kapal perang yang masih sangat konvensional, KRI Pattimura waktu itu. Jadi beda dengan kapal-kapal sekarang yang ada kamar dan sebagainya, kita waktu itu berlima mau cari kamar di kapal saja harus cari pojok-pojok untuk tidur berlima sambil muntah, kapalnya jalan, muntah lagi, turun lagi, kerja lagi itu kerja kita selama tiga minggu.

Latar belakang pernah di Akper, itu lulus?

Iya lulus. Cita-cita saya sederhana, saya cuma ingin waktu itu menjadi kepala perawatan di suatu rumah sakit besar. Karena kalau lulusan Akper waktu itu sudah paling tinggi itu jadi kepala perawatan, saya sudah rencana ikut paman saya ke Luwuk Banggai. Luwuk Banggai waktu itu waktu itu belum ada lulusan Akper, beliau bilang saya pasti jadi kepala perawatan di sana akhirnya saya diajak.

Kenapa masih ada staf bidang ideologi? bukankah kita sebetulnya sudah menerima secara utuh Pancasila?

Pertanyaan yang bagus. Ada yang menarik waktu baru-baru ini kami di Undip, mereka bilang seharusnya kita malu berbicara lagi soal ideologi. Karena apa, harusnya ideologi bangsa dan ideologi negara yang sudah kita canangkan itu dibangun di atas kesadaran bersama dengan empat konsensus, yaitu Pancasila dan harusnya sudah selesai. Pancasila adalah dasar negara dan ideologi bangsa, kemudian UUD ’45 termasuk amandemennya jadi satu kesatuan, kemudian bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Harusnya kita tidak persoalkan itu, yang harus dipersoalkan bagaimana mengisi di ujung yang 17 Agustus ke sana ini. Sekarang kita kembali mengutak-atik ini, kapan kita membangun.
 
Barangkali juga memang ada yang keliru di dalam proses 67 tahun ini?


Kalau kita mau katakan seperti itu ya akan banyak kalau kita mau bongkar seperti itu. Tetapi menurut saya harusnya kita berpikir visioner, apa yang sudah selesai dan apakah ada masalah tidak. Kalau kita lihat empat konsensus dasar itu Pancasila apakah ada agama yang bertentangan dengan itu, tidak ada. Coba kalau kita mau buat federal pasti tercerai berai bangsa ini, saya yakin, karena negara federal itu sejarah terbentuknya berbeda contoh Amerika yang tadinya beberapa negara sekarang 50 negara bagian.

Itu yang menjadi tugas dari bidang ideologi saat ini?

Persis.

Di dalam politik bagaimana?

Makanya saya heran kalau ada yang menolak ideologi Pancasila untuk dijadikan ideologi atau dasar dari ormas alasannya nanti mengekang dan sebagainya. Dimana nilai-nilai dari lima sila dari Pancasila, menurut saya tidak ada yang mengekang. Sebetulnya Pancasila itu jauh lebih dulu dan lebih dalam dibanding Declaration of Human Rights dari PBB. Kita sudah punya itu sejak tahun 1945, deklarasi PBB tahun 1947.

Di dalam politik Islam misalnya ketika masuk ke politik maunya menerapkan dasar syariah, begitu juga Katolik dalam politik harus taat pada gereja. Bagaimana?

Itulah persoalannya. Makanya sudah sangat cerdas pendahulu kita memilih ideologi negara, dimana itu menjadi rumah bersama bagi kita. Karena apa, kalau Katolik memaksakan ideologinya yang dipakai bubar kita. Oleh karena itu mereka dengan sangat cerdas memilih ideologi itu yang menjadi ideologi yang dalam mengelola bangsa ini.

Ancaman dan gangguan strategis apa sekarang ini?

Saya bilang gangguan strategisnya adalah kalau kita tetap belum mau berjiwa besar mengakui eksistensi Pancasila ini menyatukan. Selama kita masih malu-malu menyatakan nilai-nilai ideologi negara itu ideologi yang mempersatukan maka itu menjadi persoalan. Karena kelompok manapun semua akan memaksakan kehendaknya. 
    
Sekarang banyak sekali desakan itu dengan alasan bahwa di daerah ini mayoritas muslim atau di daerah timur mayoritas Kristen maka saling mengekan minoritas lainnya. Pendekatan apa yang diterapkan?

Pendekatan kita harus mulai dari atas. Jadi penyelenggara negara harus berani mengatakan ini adalah ideologi yang harus menjadi pemersatu bagi kita. Sepanjang tidak dimulai dari atas orang di daerah mengatakan apa kata kalian di Jakarta, mereka bilang begitu.

Tapi top-down ini kadang-kadang berarti pendekatan keamanan ya?

Tidak juga. Top-down itu bisa pendekatan keamanan bisa pendekatan kesejahteraan, tapi ini pendekatan ideologis. Ideologi yang menjadi ideologi bagi bangsa Indonesia dimana itu yang akan menyatukan kita.

Contoh GKI Yasmin, tidak ada ketegasan dari penyelenggara negara dengan alasan otonomi daerah ini bagaimana?

Padahal urusan agama bukan urusan di otonomi tapi urusan pusat. Sehingga kewenangan itu ada di pusat, putusan Mahkamah Agung sudah memenangkan itu tetapi kenapa tidak dieksekusi. Sekarang kalau orang mengatakan dimana negara kita jadi bingung mau jawab apa.

Biasanya ideologi negara kalau dari militer kerap kali dipegang oleh matra darat. Kenapa kini ada di matra laut?

Sebenarnya juga tidak. Jadi biasanya dari dulu selalu dikatakan saudara tertua itu Angkatan Darat dan memang jumlahnya lebih besar dan mungkin berkiprah di dunia politik pada zamannya, sehingga itu diidentikkan dengan Angkatan Darat padahal sebetulnya adalah TNI. Mungkin saya karena punya pengalaman anggota DPR. Kembali lagi juga saya sebenarnya tidak suka politik, kami ditunjuk. Jadi semua orang waktu itu ingin jadi anggota DPR RI, karena saya boro-boro mau kursus sospol karenag memang tidak suka. Akhirnya saya masuk lagi ke dunia yang saya tidak suka, mau tidak mau saya tanamkan lagi pada diri saya harus jadi anggota dewan yang bukan 5D (Datang Daftar Duduk Diam Duit).

Anda bertekad untuk tidak 5D?


Saya bertekad untuk tidak 5D dan alhamdulillah. Silahkan tanya yang pernah sama-sama saya di dewan seperti Pak Hatta Rajasa, Pak Muhaimin Iskandar, Pak Suryadharma Ali. Saya selalu berusaha untuk to do my best sesuai kemampuan saya, apapun yang saya kerjakan.   

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending