Anak-Anak Gipsi Laut Filipina Mendapat Kesempatan Pendidikan

Selasa, 23 Jul 2013 15:17 WIB

Secara tradisional orang Badjao di Filipina disebut sebagai gipsi laut karena gaya hidup yang tergantung pada lautan. Mereka tinggal dalam rumah panggung di tepi laut dan mencari uang dengan menangkap ikan. Tapi hasil tangkapan mereka sekarang ini menurun. Dan karena mereka tidak berpendidikan, mereka tidak bisa cari pekerjaan lain. Koresponden Asia Calling KBR68H Kak Jofelle Tesorio dan Ariel Carlos pergi ke Palawan dan bertemu dengan orang-orang setempat yang berupaya membuat perubahan. Orang Badjao dikenal sebagai gipsi laut karena mata pencahariannya berhubungan dengan lautan. Tapi hasil tangkapan laut di Palawan enggak lagi melimpah. Tanpa pendidikan dan keterampilan, orang Badjao kesulitan mencari pekerjaan. Dan demi menghidupi keluarga, banyak orang tua yang memperbolehkan anak-anak mereka mengemis.Tidak ada jumlah resmi berapa banyak Sobat Teen kita dari suku Badjao ini yang sekarang ini bekerja di jalanan. Tapi sangat mudah menemui mereka di persimpangan jalan yang ramai di depan mal kota. Kak Jofelle Tesorio dan Ariel Carlos enggak bisa berbicara dengan anak-anak ini karena mereka takut ditangkap polisi. Dekat pesisir pantai ini ada tempat penitipan anak milik pemerintah, yang dikelilingi gubuk-gubuk kayu.Guru bernama Nasuraya Adjarani-Zabanal yang berusia 37 tahun, sedang mengajar anak-anak Badjao dasar-dasar membaca dan menulis. Dia sudah mengajar Sobat Teen dari suku ini di sini selama 15 tahun lebih. Saya sebenarnya bukan guru, tapi saya ingin membantu orang lain, membantu anak-anak Badjao supaya mereka tahu kehidupan mereka bakal lebih baik lagi nantinya. Mereka tidak akan menjadi nelayan seumur hidup seperti nenek moyangnya, kata Bu Guru Nasuraya.Sebagian murid-muridnya akan menyelesaikan TK, tapi kemiskinan bakal menghalangi mereka meneruskan sekolah. Hanya segelintir saja yang berhasil meraih gelar sarjana dan bekerja di luar komunitasnya.Cesar Havli, 49 tahun, adalah orang Badjao dan ayah dari sembilan anak. Dulu ia seorang nelayan, tapi sekarang menjadi petugas kebersihan jalan, untuk mencari penghasilan tambahan.Tapi uang itu masih belum cukup untuk seluruh keluarga. Atau untuk menyekolahkan semua anak-anaknya. Bagi para orang tua seperti kami yang hanya punya pendidikan dasar, kami ingin kehidupan anak-anak kami lebih baik lagi. Kami ingin mereka semua tamat dari universitas. Isteri saya tidak bisa membaca dan menulis. Tapi kenyatannya kami tidak punya uang yang cukup untuk menyekolahkan mereka, sebagian harus putus sekolah, alasan Pak Cesar.Pildausa Ruth Jalar adalah President Asosiasi Federasi Badjao. Kami sudah mencoba beberapa kali supaya anak-anak tidak ke jalanan dan mengemis, tapi kami tidak bisa apa-apa. Waktu polisi menangkap atau mengejar mereka, besoknya mereka kembali lagi. Kalau para orang tua menghentikan mereka, saya pikir itu akan berhasil. Tapi kebiasaan ini sudah diterima dalam masyarakat. Anak-anak mengemis bersama ibu atau nenek mereka, katanya.Kepala desa Teofilo Mahilum mengatakan, mereka sudah melakukan berbagai cara untuk mencoba menghentikan anak-anak Badjao mengemis di jalanan.Ada beberapa operasi anti-mengemis yang dilakukan tiga kali seminggu. Yang kami lakukan adalah mengumpulkan anak-anak yang mengemis di jalanan dan mengembalikan mereka pada keluarga masing-masing. Waktu kami mengumpulkan mereka, kami biasanya membawa mereka ke aula desa dan cari tahu mengapa mereka mengemis. Kami tanyakan apa yang dilakukan orang tua mereka. Mereka selalu bilang orang tau mereka tidak memaksa, tapi mereka sendiri lah yang ingin membantu kelaurganya. Setelah itu, kami biarkan mereka pulang dan kami berbicara dengan orang tua nya, kata Kepala desa Teofilo.Ia mengklaim, upaya ini berhasil menurunkan jumlah anak yang mengemis karena anak-anak ini terus diawasi. Anak dan orangtua pun mendapatkan konseling.Pemerinta kota berencana untuk membuat program mata pencaharian berkelanjutan untuk orang Badjao, tapi masih belum diterapkan.Sementara itu, Asosiasi Federasi Badjao menawarkan jalan keluar lewat pariwisata. Mereka bisa jual mutiara kepada para wisatawan. Saya sering lapor ke media kalau ada pemandu wisata yang melarang anak-anak ini menjual mutiara di daerah-daerah tertentu. Saya berjuang demi mereka. Saya harap pemerintah akan memberikan mereka lebih banyak kesempatan, katanya.Namun guru bernama Nasuraya mengatakan para orang tua harus bertindak lebih banyak lagi. Kalau Anda memberikan mereka bantuan keuangan, Anda harus tahu apa yang mereka akan lakukan dengan uang itu, dan kalau mereka bisa menghasilkan uang di tempatnya. Ini bukan persoalan mengajarkan mereka bagaimana mencari ikan, tapi juga bagaimana menjual ikan itu. Karena bagi sebagian orang yang ingin membantu, mereka hanya ingin keluar dan menyuruh mereka bagaimana menggunakan uang itu. Yang mestinya dilakukan dengan uang itu adalah memberikan pelatihan untuk mata pencaharian mereka, jelas Bu Guru Nasuraya.Tapi untuk sekarang ini, guru Nasuraya cukup senang kalau anak-anak Badjao mau belajar menulis dan membaca. Saya ingin mereka belajar menulis namanya dan tidak sekadar memberikan cap jempol di kertas. Itulah impian saya yang paling besar. Saya selalu katakan itu waktu saya lihat mereka menulis nama mereka, saya akan senang sekali. Saya katakan sama mereka semestinya kalian tidak mengemis selamanya. Saya ingin mereka mendapatkan pendidikan, paling tidak tamat SMU, supaya mereka punya jalan hidup yang lain. Saya tidak mau mereka bertumbuh, berkeluarga dan punya anak-anak yang mengemis, tutup Bu Nasuraya. (Asia Calling)
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai