KBR, Jakarta - Ketika masuk studio TV Tempo Rabu malam itu, Lini Zurlia dari Forum LGBT Indonesia mengumumkan, “ini pacarku.”
Pacar yang dia maksud adalah perempuan yang menganggap dirinya laki-laki. Dia berambut cepak, memakai celana cargo, dan lebih suka dipanggil ‘bang’. Katanya, “Panggil Pritz saja.”
Pritz duduk di kursi di sudut studio saat pacarnya bersiaran.
Perbincangan “Agama dan Masyarakat” KBR dan TV Tempo kali itu mengangkat “Menghapus Diskriminasi Lewat IDAHOT”. IDAHOT adalah hari internasional melawan ketakutan terhadap homoseksual dan kelompok waria. Heteroseksual adalah ketertarikan terhadap jenis kelamin lain, sementara homoseksual adalah ketertarikan tehadap jenis kelamin sama.
“Homoseksualitas bukan bagian dari gangguan kejiwaan,” kata Lini.
“Jadi sama dengan heteroseksual?” tanya presenter Mellie Chyntia.
“Sama,” kata Lini.
Sementara kata Lini masyarakat umum masih menganggap itu penyakit jiwa dan bisa disembuhkan. Bila ada seorang homoseksual, keluarganya akan berupaya mengubahnya kondisi itu lewat dukun atau terapi. Ada juga yang menganggapnya penyakit menular. Padahal kata Lini, “Kami punya banyak teman heteroseksual. Mereka tetap heteroseksual.”
Badan dunia PBB melalui WHO sudah menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa sejak 17 Mei 1990. Tanggal itulah yang jadi peringatan IDAHOT yang kini dilakukan di 120 negara. Tiga tahun setelahnya, pemerintah Indonesia pun mencabut homoseksualitas dari Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa.
Meski homoseksual dicatat bukan penyakit, Lini menyatakan bahwa kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender masih dapat diskriminasi.
“Ada 77 negara yang mengkriminalkan homoseksual,” kata narasumber satu lagi, Sekretaris Umum LSM LGBT Our Voice, Hartoyo.
Di Indonesia, LSM Arus Pelangi mencatat pada 2013 ada 89,3% LGBT yang pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksualnya. Ada remaja LGBT yang putus sekolah karena tak tahan diejek temannya, lalu dibuang keluarga. Sementara kelompok waria ditolak perusahaan terus menerus sehingga hanya buka salon atau jadi pekerja seks. Ditemukan pula perempuan lesbian yang diperkosa gigolo sewaan keluarganya dengan harapan orientasi seksnya bisa berubah.
“Saya kan lelaki feminin, sejak kecil saya mengalami kekerasan. Dibilang bencong atau banci. Jadi rendah diri,” tambah Hartoyo lagi.
Di Indonesia, pemerintah tidak melarang kelompok homoseksual secara spesifik. Tapi pemerintah dalam UU Pornografi menuliskan homoseksual sebagai “persenggamaan menyimpang.” Sementara dalam beberapa peraturan daerah perilaku homoseksual disamakan dengan prostitusi.
“Ini kan menunjukkan bahwa pengambil kebijakan nggak paham apa itu homoseksual,” kata Hartoyo.
Kelompok homoseksual juga mendapat tantangan dari tafsir agama yang menganggap homoseksual sebagai dosa.
“Dalam ayat-ayat kitab suci, tidak ada yang secara spesifik menyoal itu. Hanya merujuk pada peristiwa yang sama yakni Sodom dan Gomorah. Baik di Islam mau pun Kristen” kata Lini.
Pengamat keagamaan, Guntur Romli, melihat bahwa banyak agamawan yang dapat informasi keliru mengenai LGBT. Tafsir tunggal terhadap Sodom dan Gomorah jadi pembenaran kelompok tertentu untuk mendiskriminasi LGBT.
“Manusia cenderung memusuhi yang tidak mereka ketahui,” kata Guntur. Imbasnya adalah masyarakat memberikan stigma dan prasangka kepada LGBT. Masyakarat membenci LGBT hanya karena tidak tahu itu apa.
Guntur yang juga menulis buku Islam Tanpa Diskriminasi ini mengatakan LGBT sebetulnya dikenal dalam sejarah Dunia Islam. “Kalau kita membaca sejarah dan sastra di kalangan Islam, kehidupan LGBT dicatat dan apresiasi. Kitab-kitab ini tidak sampai ke Indonesia, itu masalahnya,” kata Guntur.
Dengan informasi terbaru bahwa homoseksual bukanlah penyakit, Guntur percaya teks agama perlu ditafsir ulang.
Tantangan ke depan, kata Guntur, adalah menyampaikan informasi yang benar mengenai LGBT. “Dan bagaimana pemuka agama juga mau terbuka pada informasi yang benar,” ujar Guntur.
Namun penafsiran ulang adalah sebuah perjalanan panjang. Sementara hak-hak dasar kelompok LGBT saat ini tidak dipenuhi oleh negara. LGBT masih ditolak perusahaan, diejek di tempat kerja, dipersulit untuk dapat layanan umum.
Itulah yang diangkat jadi tema IDAHOT 2014 di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (19/5) lalu. Siang itu lelaki feminin dan perempuan maskulin membentangkan bendera pelangi. Mereka berteriak, “Stop stigma, kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBT”.
Lini berujar, “Tidak apa-apa kalau tidak setuju, asalkan tidak melakukan kekerasan.”
“Hargailah kami sebagaimana kami menghargai heteroseksual,” kata Hartoyo.
Editor: Fuad Bakhtiar
Stop Diskriminasi LGBT
Ketika masuk studio TV Tempo Rabu malam itu, Lini Zurlia dari Forum LGBT Indonesia mengumumkan,

BERITA
Rabu, 04 Jun 2014 13:52 WIB


stop diskriminasi LGBT, idahot, idahot adalah hari internasional melawan ketakutan terhadap homoseksual
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai