Bagikan:

IC3D: Kedua Capres Punya Cara Berbeda Tangani Masalah TKI

Kalau TKI saya melihat cara berpikirnya berbeda antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi.

BERITA

Rabu, 25 Jun 2014 10:57 WIB

Author

Vitri Angreni

IC3D: Kedua Capres Punya Cara Berbeda Tangani Masalah TKI

Capres, debat, ketiga, pilpres, TKI

KBR, Jakarta - Debat capres sudah memasuki jilid tiga. Kali ini, tema yang diangkat adalah Politik Internasional dan Ketahanan Nasional. Kedua capres yang tampil tanpa cawapres ini, membahas beberapa hal seperti politik luar negeri, konflik Laut Cina Selatan hingga masalah TKI. 

Teuku Rezasyah, pengamat Hubungan Internasional dan Executive Director Indonesia Center for Democracy, Diplomacy, and Defence (IC3D) mengatakan kedua capres punya pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah TKI. Menurutnya, Prabowo masuk dari akar masalah sementara Jokowi lebih fokus pada prosedur penempatan.

Berikut wawancara Teuku Rezasyah selengkapnya dalam Program Sarapan Pagi KBR (23/6).

Apa catatan Anda yang paling menonjol pada debat capres jilid tiga (22/6)?

“Banyak catatannya. Sempat mendengar statement tentang TKI, kemudian statement tentang Laut Cina Selatan. Kalau TKI saya melihat cara berpikirnya berbeda antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi. Pak Prabowo melihat dari akar masalah. Beliau melihat bahwa TKI berangkat ke luar negeri karena faktor keterpaksaan, negara belum mampu memfasilitasi kebutuhan mereka yang kebanyakan TKI itu masyarakatnya sangat miskin. Sedangkan Pak Jokowi langsung mengatakan harus dibereskan prosedur penempatan. Kelihatan secara konstruksi berpikir yang berbeda kalau Pak Prabowo melihat akar masalah, Pak Jokowi melihat suatu proses yang terjadi.”

“Memang secara teori ini adalah teori yang dianut pemerintah Indonesia, kalau menghadapi sesuatu itu akar masalah dulu yang dikenali baru dari situ proses. Itu adalah keunikan dari Pak Prabowo melihat akar masalah dan Pak Jokowi melihat proses. Unik dari Pak Prabowo adalah menghendaki akselerasi dari proses itu sendiri, misalnya beliau mengatakan mereka yang akan bertolak itu harus disertifikasi. Disertifikasi itu bukan orang-orang yang akan bertolak tapi juga lembaga yang melakukan sertifikasi tersebut. Sehingga dengan demikian yang berangkat itu adalah benar-benar orang yang siap pakai. Oke disini juga saya akui ada suatu standar yang diharapkan oleh Pak Prabowo.”

“Sedangkan Pak Jokowi pada saat mengatakan proses tersebut langsung menyarankan perlindungan yang tegas. Namun beliau mengatakan bahwa perlindungan ini hanya dapat dilakukan oleh KBRI. Ini agak berat karena idenya bagus memang tanggung jawab KBRI adalah melindungi warga negara Indonesia yang ada di luar negeri dan memfasilitasi mereka. Cuma masalahnya ide perlindungan ini sangat sulit dilaksanakan, misalnya kasus yang terberat TKI yang ada di Malaysia dan Arab Saudi itu aparatur KBRI terbatas jumlahnya hanya sekitar 50 orang masing-masing KBRI. Mereka sangat sulit memegang TKI yang jumlahnya jutaan itu, itu ada yang resmi dan tidak resmi.”

“Jadi ini Pak Jokowi bagus adanya tetapi untuk melakukan itu perlu suatu resolusi dalam birokrasi Indonesia. Sebenarnya akan lebih baik kalau Pak Jokowi mengatakan itu tapi disambung lagi dengan sebuah “how to do that,” jadi sebenarnya bisa diperkuat misalnya dengan melakukan resolusi dalam sistem birokrasi Indonesia. Misalnya melindungi TKI dengan suatu sinergi total antara Kementerian Luar Negeri dengan kementerian-kementerian yang berhubungan dengan internasional. Dengan demikian ujung tombaknya benar KBRI, memang harus diakui bahwa sekitar 90 persen masalah TKI itu di dalam negeri. Jadi kalau Pak Prabowo mencoba mencari akar masalah dan ditiadakan keberangkatan TKI kecuali benar-benar dipekerjakan maka proses itu yang harus dibenahi walaupun proses itu mahal adanya.”

Di bagian yang lain dua-duanya seperti masih terpaku dengan pola yang ada saat ini misalnya dengan moratorium?

“Kata kunci moratorium semalam  tidak keluar, mereka menyebutnya stop. Pengertian stop itu bahasa umum apapun bisa di-stop, tapi kalau moratorium itu suatu keputusan hukum dari pemerintah RI, yang itu tidak sempat dibahas lebih lanjut. Memang moratorium itu bisa terjadi secara alamiah kalau kita benar-benar melakukan suatu proses yang benar-benar sistematis, sehingga keluar itu benar-benar memiliki kualifikasi khusus untuk bekerja misalnya kalangan perawat, tenaga-tenaga kuliner itu mungkin. Tapi dengan kita sertifikasi tidak sembarangan kita kirim. Saya juga sayang juga karena memakan waktu yang sangat terbatas sehingga kita tidak bisa mendeteksi secara detail aspek-aspek yang sebenarnya mereka ingin sampaikan.”

Jadi sudah ada gambaran soal TKI ini?

“Kalau saya dari akademis lihatnya konsep ya. Karena suatu kebijakan itu akan sangat baik kalau memiliki konstruksi berpikir yang bagus. Kalau saya melihat bagaimana kedua kandidat tersebut semalam berdialog, bagaimana pun saya yakin bahwa mereka benar-benar memikirkan nasib bangsa.”

Soal konflik Laut Cina Selatan sampai sekarang masih jadi perdebatan di dunia maya kalau Pak Jokowi dianggap tidak mampu menjawab dengan baik. Padahal kalau dari pendukung Prabowo menyebutkan Natuna juga jadi rebutan. Bagaimana?

“Saya rasanya kalau dengan kedua elit yang sampai level capres, saya tidak berani mengatakan mereka tidak qualified. Namun kalau kita teliti secara mendalam memang ada slip of the tongue dari Pak Jokowi, beliau menyebutnya laut Tiongkok. Ini statement yang sangat berbahaya, seolah-olah lautnya punya Tiongkok misalnya Laut Jawa lautnya Indonesia tapi di sekitar Jawa. Ini agak sensitif dan harus diklarifikasi. Ke depan saya berharap slip of the  tongue tidak terjadi lagi. Memang tidak pas kalau kita mengatakan Indonesia tidak punya kepentingan di situ.”

“Namun Pak Jokowi juga bagus mengatakan bahwa dalam urusan ini kita harus memperhatikan kepentingan RRC itu benar juga. Karena RRC suatu negara yang super power dan bersengketa dengan empat negara ASEAN itu. Disitu benar juga cuma Pak Jokowi tidak sempat meng-eksplore lebih lanjut bahwa diplomasi kita bisa kita lakukan meng-engage Cina. Jadi selain kita terlibat dalam suatu dialog multilateral namun kita juga secara bilateral meng-engage Cina. Pak Prabowo benar adanya dengan mengatakan sebenarnya kita terlibat walaupun tidak seterlibat negara-negara ASEAN yang lain.”

Jadi tidak benar bahwa nanti pulau Natuna akan diambil alih?

“Dari pihak Cina selama ini tidak pernah ada klaim akan mengambil Natuna. Di luar perairan Natuna masih dalam economic exclusive zone Indonesia itu ada garis pemisah dibuat pemerintahan Cina berwujud sembilan titik itu. Sembilan titik ini yang ingin dikuasai Pak Prabowo, memang kita tidak punya klaim atas wilayah Laut Cina Selatan tapi kalau kita lengah maka zona kita akan berkurang, bahkan lebih dari itu. Karena Pak Prabowo latar belakangnya militer biasa berpikir strategis dan waspada. Jadi hal-hal ini yang sebenarnya Pak Prabowo tidak sempat buka lebih lanjut karena faktor waktu dan saya lihat Pak Prabowo bicara langsung keluar dari pikiran.”             

(Baca juga: Soal TKI, Prabowo: Saya Sependapat dengan Jokowi)    





Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending