Bagikan:

Empat Rapor Merah Intoleransi, Wahid Institute: Ini Peringatan bagi Pemerintah

Rapor merah terakhir disampaikan pelapor khusus PBB tentang kebebasan berkumpul dan berorganisasi, Maina Kiai.

BERITA | PILIHAN REDAKSI | NASIONAL

Kamis, 12 Jun 2014 17:33 WIB

Author

Agus Luqman

Ilustrasi. (KBR/Danny)

Ilustrasi. (KBR/Danny)

KBR, Jakarta – Wahid Institute mengaku prihatin dan sedih dengan rapor merah intoleransi yang kembali diterima Indonesia. Rapor terakhir ini datang dari pelapor khusus PBB tentang kebebasan berkumpul dan berorganisasi, Maina Kiai. Laporan ini disampaikan dalam Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-26 yang dimulai awal pekan ini. Menurut Maina Kiai, situasi hak berkumpul masyarakat minoritas di Indonesia seringkali tidak dijamin oleh negara. Ditambah lagi kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah, Bahai, Kristen dan Syiah mesti menghadapi serangan fisik dari kelompok militan Islam. 

“Ini seperti membenarkan apa yang selama ini kita laporkan,” kata M. Subhi, peneliti Wahid Institute. 

Tiga rapor merah sebelumnya diterima saat sidang Universal Periodic Review (UPR) tahun 2012, lalu di sidang review hak sipil politik di tahun yang sama, lalu pada Mei 2014 dalam sidang Komite HAM PBB untuk hak sosial dan budaya. 

Apakah Anda menilai citra Indonesia di mata internasional semakin buruk karena rapor merah ini? 

“Memang mau tidak mau ini menjadi semacam peringatan bagi pemerintah yang menurut saya selama ini seakan-akan diam. Pemerintah yang selama ini seakan-akan tidak mau mengakui situasi yang sesungguhnya di dalam negeri. Karena itu implikasinya adalah dunia internasional akhirnya “ikut campur” menilai dan mengkritisi situasi yang ada di Indonesia.” 

Sebelumnya sudah ada tiga rapor merah, sekarang yang keempat. Apakah ada langkah-langkah yang nyata dari pemerintah untuk memperbaiki nilai yang buruk itu?

“Itu menunjukkan bahwa di dalam negeri tidak ada perubahan yang berarti, tidak ada kemajuan yang signifikan sehingga rapornya begitu terus. Bahkan kalau kita lihat secara fakta di lapangan misalnya indikasi yang ada justru malah banyak kasus-kasus intoleransi di Indonesia yang belum selesai, banyak korban intoleransi yang nasibnya masih terkatung-katung. Jadi itu menjadi indikator bagi banyak pihak untuk menilai, memang belum ada bahkan tidak ada kemajuan.”

Riset Lingkaran Survei Indonesia beberapa waktu lalu menunjukkan kalau selama hampir 10 tahun pemerintahan SBY, kasus kekerasan terkait dengan masyarakat sipil ini meningkat pesat dan sekitar 85 persen berlatar belakang agama. Di pucuknya, tentu ini tanggung jawab Presiden. Kalau di level bawah, ini tanggung jawab polisi atau yang lainnya? 

“Yang pasti memang karena ini berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak beragama. Jadi secara konstitusi ditegaskan bahwa hak beragama itu menjadi tanggung jawab negara, ini bukan tanggung jawab dalam arti jika ada tindakan yang melanggar hak-hak beragama maka negara yang harus bertanggung jawab. Tentu saja menurut saya kalau situasinya seperti ini presiden yang paling bertanggung jawab.”

Dengan rapor merah ini, perlu ada tekanan internasional kepada Indonesia untuk bisa memperbaiki kondisi toleransinya di Indonesia?

“Mungkin kita perlu menunggu respon dari pemerintah. Ini kan baru kemarin kita terima laporannya, jadi kita perlu mendengar sudut pandang pemerintah terhadap situasi seperti ini.” 

Menurut Anda, apa kira-kira yang akan disampaikan pemerintah kepada perwakilan dari PBB? apakah akan mengakui kondisi sebetulnya?

“Saya kurang tahu juga. Tapi menurut saya kita beri kesempatan kepada pemerintah untuk menjelaskan, ini semacam mempertanyakan situasi dan memberikan penilaian. Jadi pemerintah silahkan memberi tanggapan dan biasanya seperti itu. Jadi pemerintah diberi waktu untuk memberi tanggapan terhadap penilaian yang dilakukan oleh PBB.”

Dari Wahid Institute ada yang memantau secara khusus pembahasan di Dewan HAM PBB?

“Yang melakukan pemantauan ada jaringan kita di pemantau isu-isu kebebasan beragama dalam konteks advokasi internasional. Kita sendiri juga memperoleh informasi yang cukup akurat dari mereka, ini berjejaring jadi kita salah satu yang masuk di dalam jaringan tersebut.” 

Setelah ada rapor merah, selanjutnya apa? 

“Kalau dari pengalaman sebelumnya biasanya PBB memberi waktu kepada Indonesia untuk memberi jawaban. Setelah itu biasanya ada semacam rekomendasi-rekomendasi dari PBB.” 

Dari sebelumnya apakah rekomendasi yang tiga rapor itu apakah dijalankan? 

“Saya kira tidak ada upaya yang serius dari pemerintah. Kalau melihat kekerasan meningkat, kasus-kasus banyak yang belum selesai.” 

Dari pandangan Anda terhadap 3-4 bulan yang tersisa ini apakah masih ada waktu bagi pemerintah sekarang untuk paling tidak memperbaiki apa yang masih cacat dari catatan itu? 

“Pasti masih bisa.” 

Apa yang harus dilakukan selama waktu yang tersisa?

“Menurut saya kemauan dari pemimpin kita untuk menyelesaikan. Ini masalahnya di kemauan politik dari kepala negara untuk menyelesaikan kasus-kasus yang ada. Karena sebetulnya kalau kita lihat kasus per kasus ini sebetulnya di tingkat hukum ada yang selesai atau bahkan presiden sebelumnya presiden pernah menjanjikan akan menyelesaikan. Jadi secara janji sudah ada tinggal direalisasikan.”        

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending