KBR68H, Jakarta - Pencucian uang dan korupsi adalah dua hal yang berdekatan karena uang hasil korupsi, sering “dicuci” oleh pelaku dengan cara memindahkan, mentransfer, membuat uang tersebut seolah-olah jauh dari si pelaku. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk menyembunyikan dan menyamarkan kekayaan pribadi sehingga menyulitkan pelacakan.
PPATK sebagai badan yang menjalankan investigasi keuangan, turut memberantas pencucian uang dengan menerima laporan transaksi keuangan, menganalisis, mendalami kemudian meneruskan ke penegak hukum atau instansi terkait. PPATK bisa melakukan investigasi atas dasar permintaan lembaga lain dalam rangka pemberantasan TPPU, namun kebanyakan investigasi dilakukan atas dasar inisiatif PPATK.
Berikut wawancara Perspektif Baru dengan Wimar Witoelar sebagai pewawancara dengan narasumber Yunus Husein, bekas ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang sekarang bekerja sebagai staf khusus Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Sebenarnya apa hubungan antara korupsi dengann pencucian uang?
Jadi memang hubungannya sangat erat, terutama di Indonesia. Dari laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transkasi Keuangan (PPATK), sumber utama pencucian uang itu masih dari hasil korupsi. Biasanya kalau orang sudah korupsi, jumlahnya banyak dan tidak akan dia telan sendiri. Biasanya akan dia bagikan kepada keluarga, teman, orang separtai atau siapa juga yang perlu dia bagi. Seperti kasus terakhir yang melibatkan pelaku, yang kemudian membagi-bagikan uang kepada sejumlah wanita. Tindakan memindahkan, mentrasfer dan atau membelanjakan uang hasil tindak pidana seperti hasil korupsi, itu masuk dalam kategori pencucian uang. Pelaku utamanya bisa mencuci uang hasil kejahatan sendiri, yang dinamakan self laundring. Contoh kasus ini adalah Bahasyim Assifie yang kasusnya sudah diputus Pengadilan Jakarta Selatan dan sekarang ada di Mahkamah Agung.
Kemudian ada kasus lain yaitu Wa Ode Nurhayati, anggota Badan Anggaran DPR. Sedangkan kasus yang sekarang sedang berjalan di KPK adalah kasus porlantas yang melibatkan Djoko Susilo, kemudian kasus Ahmad Fathanah dan Lutfi Hasan Ishaaq. Mereka dakwaannya sama, yaitu korupsi ditambah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Apa yang membedakan orang yang melakukan pencucian uang dengan orang yang mentransfer untuk keperluan biasa?
Kalau mencuci uang, sumbernya selalu dari sumber tidak sah seperti tindak pidana. Lalu uang hasil tindak pidana tersebut, selalu disamarkan dan hasilnya dijauhkan dari diri si pelaku. Misalnya dipecah-pecah, ditransfer, diberikan kepada orang lain, untuk sumbangan. Itu adalah contoh mencuci uang dengan cara umum.
Kalau sumbangan bukannya uang akan habis dan ia akan rugi?
Biasanya ada kepentingan juga di sana. Jadi kegiatan memecah dan memindah uang (layering), dalam rangka menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kekayaan itu sendiri, dengan tujuan mempersulit pelacakan.
Tracing tentunya dengan bantuan bank?
Yang membantu tidak hanya bank, karena ia hanya salah satu dari penyedia jasa keuangan. Selain Bank ada non-bank seperti perusahaan pembiayaan (finance), asuransi dan sekuritas.
Semua lembaga keuangan?
Bukan hanya lembaga keuangan, juga penyedia barang dan jasa seperti dealer mobil, perusahaan real estate, toko perhiasan dan balai lelang. Mereka sudah mulai melaporkan transaksi mencurigakan.
Jadi semua lembaga keuangan itu berkewajiban memberikan keterangan kepada PPATK?
Kalau penyedia jasa keuangan itu ada dua hal yang harus dilaporkan. Pertama laporan transaksi keuangan mencurigakan. Yang kedua batasan transaksi tunai senilai Rp. 500.000.000,00. Jika penyedia transaksi barang dan jasa, ukuran kebijakannya hanya sampai Rp. 500.000.000,00, seperti membeli rumah atau perhiasan.
Dalam bisnis, jumlah Rp. 500.000.000,00 tidaklah terlalu besar dan dalam seminggu volume transaksi senilai ini bisa dengan mudah dicapai. Jadi banyak aliran yang harus ditelurusi?
(Batasan itu) kalau dalam transaksi tunai (cash), dalam arti uang yang ada harus tersentuh. Tapi jika transaksi mencurigakan, itu tidak mengenal jumlah. Ada empat kriteria untuk dapat disebut transaksi mencurigakan. Pertama, jika menyimpang dari profil, karakteristik atau pola transaksi nasabahnya.
Jadi nasabah yang tidak biasa mentransfer dalam jumlah besar, tiba-tiba mentransfer dalam jumlah besar?
Misalnya kita ambil contoh pegawai pajak golongan 3A dengan gaji Rp. 12,5 juta melakukan transaksi milyaran rupiah, sudah tentu ini aneh dan akan dilaporkan. Dulu kita pernah mendapat laporan dari perusahaan asuransi, ada seorang perwira bintang dua membeli unit link, yaitu gabungan antara produk asuransi dengan investasi. Dia membayar annual fee sebesar Rp. 750 juta setiap tahun. Rp. 250 juta untuk asuransi dan Rp. 500 juta juta untuk investasi. Ini dilaporkan juga, karena waktu itu pendapatannya hanya Rp. 10 juta. Nah itu termasuk menyimpang dari karakteristik atau profilnya.
Dalam hal itu dilihat dari keanehan transaksinya, belum dilihat dari asal-usul uangnya. Harus ada presumption of crime untuk menelusurinya. Apa itu bisa ditelusuri tanpa ada dugaan dia mendapat uang dari mana?
Jadi bank tidak harus tahu dia mendapat uang dari tindak pidana mana, yang penting memenuhi kriteria yang pertama yaitu menyimpang dari profil, karakteristik atau pola transaksi dari nasabah. Yang kedua, jika transaksi itu dilakukan untuk menghindari pelaporan. Misalnya Anda dapat warisan Rp. 600 juta, sedangkan batasan maksimal transaksi tunai itu Rp. 500 juta. Takut dilaporkan karena melakukan transaksi tunai, maka dia setor ke bank dalam dua tahap. Di pagi hari dia setor Rp. 300 juta, dan di sore hari dia kembali menyetor Rp. 300 juta. Jadi uang tersebut dipecah atau structuring. Kegiatan ini, jika di Amerika dan Australia dianggap pidana, jika di Cina hanya dilaporkan saja. Jadi structuring itu sudah dianggap tidak halal, karena dengan memecah transaksinya dianggap mencurigakan. Jadi jika mendapat uang warisan seperti tadi, laporkan saja apa adanya.
Jadi mendapat hibah atau warisan memang salah satu alasan yang dipakai pejabat. Tapi mendapat warisan ini kan juga tidak boleh terlalu sering. Transaksi juga bisa dianggap mencurigakan jika transkasi itu dilakukan terkait dengan hasil pidana, misalnya mereka tertangkap tangan menerima hasil suap. Atau transaksi itu tidak jadi dilakukan, juga bisa dianggap mencurigakan. Misalnya pernah ada salah satu pejabat di Surabaya yang membawa uang satu koper. Ia membawa uang milyaran dan akan membuka rekening, dan dikasihlah formulir oleh petugas bank. Ia isi semua kecuali sumber dana. Ia tidak mau isi dan marah karena ditanya soal sumber dana. Ia akhirnya tidak mau membuka rekening. Padahal di pasal 19 Undang-Undang no. 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menyebutkan, jika seseorang membuka rekening harus menyebutkan sumber dananya. Ia harus memberikan informasi akurat dan tujuannya buka rekening itu untuk apa. Nah si pejabat tersebut menolak dan marah-marah, akhirnya dia tidak jadi membuka rekening. Nah justru karena dia tidak mau menyebut sumber dana tadi, walaupun batal membuka rekening, oleh pihak bank dilaporkan juga ke PPATK.
Pihak bank melaporkan dengan menelepon PPATK?
Selain telepon bisa juga melalui online. Hal ini dilakukan dalam rangka financial disclosure, maka semboyan kita adalah "Kalau bersih kenapa risih, kalau sah kenapa resah".
Dari segi pelaporan, apa perbedaan antara tunai (cash) dan transfer?
Dari jenis laporan, transaksi mencurigakan itu segala macam yang terdeteksi tidak mengenal jumlah, bisa masuk suspicious. Jika satu lagi, laporan transaksi tunai itu jika jumlah Rp. 500 juta ke atas dan uangnya harus tersentuh secara fisik itu dilaporkan.
Apakah sikap calon nasabah juga bisa memancing penelitian?
Bisa. Memang secara psikologis, sikap-sikap nasabah itu bisa men-trigger untuk menimbulkan pelaporan-pelaporan tadi.
Kerja Anda sewaktu masih di PPATK seperti investigative agent?
Itu memang salah satu kerja PPATK yang dalam bahasa inggris disebut dengan Financial Intelligence Unit. Core function-nya adalah menerima laporan, menganalisis, mendalami, kemudian meneruskan ke penegak hukum atau instansi terkait. Jadi kerja kami itu bisa bottom-up bisa juga top-down. Bottom-up itu kalau sistem bekerja, ada indikasi transaksi-transaksi mencurigakan atau tunai yang dilaporkan. Dari hasil laporan kemudian kita analisis, berikan nilai tambah, nanti kalau sudah ada indikasi dugaan pidana, kita berikan ke penegak hukum. Tapi kalau top-down, transaksi itu tidak terdeteksi oleh industri di lapangan, tapi kita ketahui dari media, lalu kita mulai proses penelusuran. Jadi kita tidak selalu menunggu, bisa juga meminta. Makanya, di Undang-Undang no 8 tahun 2010 pasal 1 ayat 5, salah satu definisi transaksi mencurigakan adalah transaksi yang diminta oleh PPATK.
Kalau bank melapor dalam rangka transaksi yang mecurigakan, maka bank akan dilindungi. Bank akan punya immunity sehingga tidak bisa dituntut pidana dan perdata. Baik itu penyedia jasa keuangan ataupun penyedia barang dan jasa, kalau melapor mereka tidak bisa dituntut. Kalau tidak ada immunity, mana mau mereka melaporkan.
Tapi mungkin banyak orang yang belum tahu, PPATK itu mempunyai 4 produknya sesuai dengan pasal 44 Undang-Undang TPPU. Pertama, laporan hasil analisis. Ini yang paling populer. Ini bahan baku bagi penegak hukum untuk penyelidikan. Biasanya ini yang menjadi trigger.
Itu atas permintaan PPATK?
Kebanyakan inisiatif PPATK. Bisa juga atas dasar permintaan yang top-down seperti yang tadi dijelaskan. Jadi kalau kita umpamakan dalam permainan sepak bola, kerja PPATK untuk memberikan hasil analisis dan pemeriksaan seperti midfielder atau playmaker. Yang kedua adalah laporan pemeriksaan. Laporan pemeriksaan itu analisis ditambah hasil pemeriksaan, bisa hasil pemeriksaan dengan bank maupun orang, walaupun untuk memeriksa orang dilakukan bukan dengan upaya paksa. Yang ketiga, PPATK juga bisa memberikan informasi, bukan saja kepada penegak hukum tapi kepada instansi lain, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Kementerian Dalam Negeri, dalam rangka mencegah atau memberantas tindak pidanan pencucian uang.
Kenapa berhubungan dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), karena banyak sekali penyimpangan. Mendagri perlu dalam rangka pencegahan pemberantasan pencucian uang dan korupsi di daerah. Kita kasih. Kenapa kita memberikan laporan ini, karena Undang-Undang di pasal 90 memperbolehkan, dalam rangka mencegah atau memberantas TPPU.
Ketua DPR dulu juga pernah pernah meminta informasi dari PPATK. Saat itu Badan Kehormatan DPR memeriksa Wa Ode Nurhayati. Ketua Badan Kehormatan meminta kepada Ketua DPR, Marzuki Alie, untuk meminta informasi dari PPATK.
Dan terakhir, produk PPATK adalah rekomendasi dalam rangka memperbaiki sistem. Misalnya kita pernah memberikan rekomendasi dalam memperbaiki sistem anggaran. Hal ini dilakukan karena, diduga banyak penyimpangan di daerah terkait anggaran. Contohnya, ada anggaran yang harus habis tahun ini ternyata proyeknya belum selesai. Karena proyek belum selesai, pembayaran ditunda hingga tahun berikutnya. Karena anggaran sudah cair, ada orang-orang yang mengambil uang tersebut, dan disimpan di rekening pribadi. Nanti baru dibayar, setelah proyek selesai. Nah penggunaan-penggunaan rekening pribadi dalam rangka menampung hasil uang APBD seharusnya tidak boleh