KBR68H, Jakarta- Rumahku adalah Surgaku. Pepatah ini sepertinya masih jauh panggang dari api. Di Ibu kota Jakarta misalnya, warga Pluit yang mendiami pinggiran waduk harus membongkar sendiri hunian mereka lantaran pemerintah setempat berniat mengembalikan fungsi waduk Pluit Jakarta. Sementara menurut data pemerintah, hingga 2012 ini terdapat sekitar 75.000 rumah tidak layak huni.
Rumah tidak layak huni itu dengan mudah ditemui di setiap wilayah pedesaan, termasuk di perkotaan. Padahal rumah layak huni merupakan salah satu ukuran standar hidup layak setiap warga negara yang harus didukung pemenuhannya oleh pemerintah.
Persoalan ini juga sudah dimasukan dalam The International Covenant on Economical and Social Rights (CESCR) sebagai bagian dari Hukum HAM Internasional. Tujuannya melindungi hak-hak asasi manusia sehingga manusia dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan hidup sehat.
Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis berpendapat, banyak kasus sengketa lahan yang berujung pada penggusuran rumah terjadi di kota besar, seperti Jakarta. Namun, tak sedikit pula yang terjadi di perdesaan. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ada beberapa persoalan seperti kasus rumah dinas TNI dan rumah pegawai dengan institusi sebelumnya.
“Beberapa persoalan itu di antaranya dapat diselesaikan dan diakomodir oleh para pihak terkait. Namun, untuk rumah dinas TNI di beberapa tempat saat ini sengketa kepemilikan rumahnya masih belum terselesaikan. Rumah dinas ini merupakan suatu tipologi, atau jenis konflik kepemilikan rumah yang juga banyak terjadi di Indonesia,” tutur Nur Kholis dalam acara Reformasi Hukum dan HAM di KBR68H.
Tipologi atau jenis permasalahan konflik kepemilikan rumah yang kedua, terang Cholis, adalah warga yang menempati lahan-lahan kosong milik pemerintah. Semisal, di Waduk Pluit, lahan KPK, sepanjang bantaran rel kereta api, dan banyak tempat lain. Meski begitu, tegasnya, pemerintah tidak bisa serta merta menggusur warga tanpa mengindahkan hak-hak warga.
“Negosiasi yang kita lakukan dengan warga yang tinggal di lahan milik KPK misalnya, kita coba jelaskan bahwa lahan yang mereka tempati adalah milik KPK. Negosiasi dengan semua pihak terkait berjalan panjang, dan Alhamdulillah menghasilkan solusi. Kita tahu pemerintah punya hak terhadap tanah yang dimiliki, tapi pemerintah juga punya kewajiban untuk pemenuhan hak warganya,”tegasnya.
Mereka yang menempati lahan-lahan ini, kata Kholis, tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena, ada rangkaian panjang yang menyebabkan mereka menjadi seperti itu. Muaranya, tetap menjadi tugas pemerintah.
“Pandangan sebagian orang bahwa warga yang menempati tanah bukan miliknya adalah salah, dan tidak sepenuhnya benar. Karena, memang kondisi ekonomi mereka yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk membeli rumah dan tanah, hingga menyebabkan mereka menempati lahan-lahan kosong milik pemerintah. Dan itu tidak bisa disalahkan begitu saja! Pemerintah punya tanggung jawab untuk memenuhi hak mereka. Hak bekerja, dan memberikan peluang bagi mereka untuk bisa hidup lebih baik,” tegas Kholis.
Kewajiban pemerintah atau negara, tutur Kholis, bagi masyarakat yang tidak memiliki rumah antara lain dengan memberikan rumah yang layak bagi mereka.
“Kita tidak bisa melihat akar masalah ini secara sepotong, bahwa mereka menempati lahan yang bukan haknya. Minimal, pemerintah bisa menyediakan rumah yang layak bagi mereka. Jika, negara tidak memiliki anggaran untuk pengadaan itu sama sekali. Mungkin saja bisa meninggalkan mereka. Tapi, jika kebutuhan pokok ini tidak dipenuhi, akan menimbulkan dampak lain, seperti kekerasan, dan penolakan penggusuran yang berakibat munculnya korban jiwa. Padahal, itu semua dijamin dalam UU,” katanya.
Beberapa kebijakan yang ada saat ini, kata Kholis, masih merugikan masyarakat. Implementasi UU Perumahan Rakyat yang ada saat ini perlu diawasi, agar bisa lebih berpihak pada rakyat.
“Meski UU itu bertujuan untuk memenuhi hak kepemilikan rumah bagi rakyat. Namun, hal itu perlu dikoreksi kembali. Faktor kepentingan yang lebih besar, kadang justru merugikan masyarakat. Semisal pembangunan waduk Pluit. Pembangunan Waduk itu memang sangat penting untuk mengatasi banjir. Namun, ketika ada permasalahan, harus ada komunikasi yang baik dan kooperatif, serta solutif bagi semua pihak,” jelasnya kembali.
Midun, seorang warga Waduk Pluit, Jakarta Utara mengatakan, mengakui bahwa lahan yang ditinggalinya saat ini adalah milik pemerintah DKI Jakarta. Pria asal Brebes ini beralasan, kepindahannya ke Jakarta untuk mencari penghidupan lebih baik. Meski begitu, ia juga mendapat fasilitas KTP, dan listrik dari PLN selama tinggal di Waduk Pluit.
“Semua warga di Jakarta adalah pendatang. Saya tinggal di sini sejak kecil. Kami berharap bisa mendapat penghidupan yang lebih baik saat berada di Jakarta, karena kehidupan di kampung yang serba susah,” ujar Midun.
Midun membantah, jika saat ini warga yang ada di Pluit tengah membongkar temapt tinggalnya.
“Belum ada pembongkaran rumah saat ini. Berdasarkan informasi yang kami terima, saat ini pemerintah DKI tengah membangun rumah susun. Waktu pembangunan tersebut berkisar dua tahunan. Jika, rumah susun itu telah selesai, kami akan dipindahkan ke sana. Info soal penggusuran yang beredar saat ini adalah tidak benar. Itu dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab,” tegas Midun.
Sementara itu, Deputi Bidang Perumahan formal Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Paul Marpaung menjelaskan, kriteria rumah layak huni bagi warga adalah adanya kecukupan luas, bahan yang memadai, fentilasi dan pencahayaan yang cukup, serta sanitasi yang layak. Namun, hal ini masih banyak yang belum terpenuhi.
“Masih ada sekitar 7 juta rumah yang tidak layak huni bagi warga yang ada di Indonesia. Upaya pemenuhan itu dilakukan dengan program rumah swadaya, yang dulu dikenal dengan bedah rumah, yang bekerjasama dengan pemda, dan BPN, serta instansi terkait. Terutama untuk lokasi-lokasi tertentu, missal di Papua, Kemenpera bekerjasam dengan TNI dalam pelaksanaannya,” kata Paul.
Untuk rumah di perkotaan, kata Paul, solusinya adalah rumah susun. Mengingat minimnya lokasi di perkotaan.
“Kendalanya adalah kelangkaan tanah, dan perijinan dari pemerintah daerah. Mereka kebanyak setuju di atas kertas. Tapi, tidak pada implementasinya. Daerah yang berseberangan antara lain, dari 57 MoU yang kita tanda tangani, baru 12 yang tertangani dengan baik,” keluh Paul.
Komisioner Komnas HAM, Nur Cholis menegaskan, harus ada distribusi yang jelas dalam hal kepemilikan rumah bagi rakyat demi pemenuhan hak asasi atas kepemilikan rumah.
“Kepemilikan rumah layak bagi warga harus diatur oleh negara. Hal ini agar masyarakat mampu membeli rumah yang menjadi hak mereka, dan mencegah kepemilikan rumah oleh mereka yang sudah kaya, atau kelompok mampu, seperti yang terjadi di beberapa tempat. Negara harus tegas, dan cermat dalam pengawasan hal ini,” pungkasnya.
Editor: Doddy Rosadi
UU Perumahan Rakyat Belum Berpihak kepada Rakyat
KBR68H, Jakarta- Rumahku adalah Surgaku. Pepatah ini sepertinya masih jauh panggang dari api.

BERITA
Senin, 10 Jun 2013 16:25 WIB


UU perumahan rakyat, waduk pluit, hak perumahan wakyat
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai