KBR68H, Jakarta- Selama dua dasarwasa ini, Indonesia menjadi salah satu pemasok pekerja migran terbesar di dunia. Berdasarkan data organisasi perburuhan dunia, ILO lebih lebih dari 500 ribu orang meninggalkan Indonesia untuk bekerja di luar negeri di tahun 2011. Namun nyatanya bukan uang yang mereka dapat, banyak perlakuan tidak baik seperti penyiksaan, pemerkosaan dialami oleh mereka. Padahal Pekerja migran ini merupakan penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.
Pada tanggal 16 Juni lalu, orang-orang di seluruh dunia memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) internasional pasca diadopsinya Konvensi ILO No. 189 tentang kerja layak PRT.Namun yang mengherankan, Indonesia belum juga meratifikasi konvensi tersebut. Mengapa dan apa dampak positif yang diperoleh Indonesia jika meratifikasi konvenan tersebut?
Staf Bagian Hukum dan Administrasi, Migrant Care, Bariyah menegaskan, pihaknya saat ini masih terus mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT), itu. Dengan diratifikasinya konvensi itu, Indonesia akan memiliki nilai tawar ketika menempatkan pekerjanya di luar negeri.
“Kita berharap besar dengan pengesahan konvensi itu, akan ada perubahan, bahwa PRT itu bukan pembantu. Tetapi, pekerja. Di mana seorang pekerja itu mempunyai banyak hak untuk dilindungi, termasuk hak mendapatkan upah yang layak. Karena, sejauh ini Indonesia belum punya standarisasi terhadap upah yang layak. Belum lagi jam kerja bagi PRT, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri masih belum ada kejelasan waktu. Mereka bahkan bekerja selama 24 jam dalam sehari. Untuk itu, UU PRT penting untuk segera disahkan, “ tutur Bariyah, dalam acara Reformasi Hukum dan HAM di KBR68H, Senin (24/6).
Keseriusan pemerintah dan DPR untuk mempercepat pengesahan UU Pekerja Rumah Tangga (PRT) hingga saat ini masih dipertanyakan?. Padahal, RUU ini sudah diajukan sejak 2010. Namun, hingga kini belum jelas kapan akan disahkan.
“Meski selalu masuk dalam Prolegnas setiap tahunnya, arah RUU ini malah semakin tidak jelas. Banyak pula anggota DPR yang menolak. Padahal, secara tidak langsung pejabat, DPR, banyak yang menggunakan jasa mereka. Sejauh ini kita belum bisa melihat keseriusan DPR untuk mengesahkan RUU PRT, “ tegas Bariyah.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) beralasan, masih menunggu ajakan DPR untuk membahas tentang UU PRT. Kepala Biro Hukum Kemenakertrans, Sunarno mengatakan, Kemenakertrans sependapat dengan adanya perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri.
“Pemerintah sudah mempersiapkan opini untuk mendukung penyelesaian RUU itu. Namun, itu merupakan inisiasi DPR dalam menyusunnya. Pemerintah juga akan memberikan masukan secara komperehensif jika rancangan Undang-Undang itu telah disampaikan kepada Pemerintah. Namun, hingga kini belum ada RUU yang diserahkan ke Pemerintah, “ tutur Sunarno.
Pemerintah, imbuh Sunarno, masih mencermati konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT), karena diperlukan kehati-hatian dalam menentukan kebijakan.
“Saat ini masih dibahas dengan sejumlah lembaga terkait. Termasuk soal pengupahan, jaminan keselamatan, dan banyak hal tentang kelayakan bagi pekerja. Namun, memang karakteristik rumah tangga ini masih banyak didominasi hubungan pekerjaan. Untuk itu, kebijakan yang akan dikeluarkan juga harus hati-hati agar tidak kontra produktif dengan kondisi riil yang ada di Indonesia, “ tegas Sunarno.
Menurut Staf Bagian Hukum dan Administrasi, Migrant Care, Bariyah mengatakan, ada hal berbeda antara hubungan kekeluargaan dan pola kerja. Kata dia, ini hanya soal keseriusan pemerintah dan DPR dalam menuntaskan RUU PRT.
“Pandangan adanya pola kekeluargaan itu salah besar. Ada rasa pesimis yang ditunjukkan Pemerintah dan DPR. Bukan menjadi masalah, apakah pekerjaan itu berhubungan dengan kekeluargaan. Namun, hubungan itu tidak seharusnya dijadikan hambatan. Karena hal itu jelas berbeda. Ini adalah mengenai aturan pekerja, dan majikan. Stigma pembantu, terhadap pekerja rumah tangga masih melekat hingga kini. Padahal, mereka adalah pekerja yang layak dilindungi dan memperoleh hak yang sama, “ jelas Bariyah.
Komisi Tenaga Kerja DPR menampik tudingan ketidakseriusan dalam pembahasan RUU PRT. Anggota Komisi Tenaga Kerja DPR, Poempida Hidayatullah mengatakan, tahapan pembahasan RUU tersebut saat ini sudah dalam tahap harmonisasi dan sinkronisasi dengan Badan Legislasi.
“Komisi Tenaga Kerja telah rampung membahas RUU itu, dan saat ini tinggal harmonisasi di tingkat Baleg. Setelah itu akan diserahkan ke Pemerintah, dan pemerintah akan mengirimkan wakilnya untuk melakukan pembahasan itu, serta beberapa Kementerian terkait, dan kemudian akan ada pembahasan untuk dibuat pansus, “ terang Poempida.
Namun RUU PRT ini, imbuh Poempida, tidak secara khusus mencantumkan konvensi ILO nomor 189. Tapi, Poempida mengklaim, semua kebutuhan PRT telah terakomodir dalam RUU tersebut.
“Semangat atau konten RUU ini bertujuan untuk meningkatkan taraf pekerja rumah tangga yang semula bukan sektor formal, menjadi formal. Termasuk hak dan perlindungan negara juga akan diatur. Bukan hanya pekerja rumah tangga wanita, tapi pekerja laki-laki juga. Jadi, semua yang ada di lingkungan rumah. Perlindungan itu antara lain masa kerja, cuti, dan besaran gaji sesuai dengan wilayah masing-masing, “ jelas Poempida.
Pengawasan pelaksaan RUU PRT itu nantinya, ujar Politisi Parta Golkar ini, harus didukung oleh semua pihak. Karena tidak mungkin semua ditangani oleh Kemenakertrans, karena jumlah pengawas yang mereka miliki terbatas.
“Harus ada semacam basis, atau aktivitas dari para pemberi kerja atau mereka yang memperkejakan PRT untuk memberikan laporan atau kontrak kerja, agar mudah dilakukan pengawasan. Ini yang perlu dilakukan, selain keterlibatan masyarakat setempat. Jika ini terealisasi, maka ini merupakan gebrakan baru bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia, “ tegasnya.
Staf Bagian Hukum dan Administrasi, Migrant Care, Bariyah berharap, ada ketegasan dari pemerintah agar RUU ini ketika disahkan nanti tidak menimbulkan polemik. Terutama soal ketetapan besaran gaji yang masih disesuaikan dengan daerah, bukan ditetapkan oleh pusat. Salah satu poin ini dinilai dapat memicu konflik pekerja dan yang memperkerjakan. Selain itu, Bariyah juga meminta, agar dilakukan pengawasan yang ketat, dan pemenuhan hak-hak lain yang menjadi kewajiban pemrintah, agar PRT juga mendapat perlakuan sama.
Editor: Doddy Rosadi
PRT Bukan Pembantu, Tetapi Pekerja
KBR68H, Jakarta- Selama dua dasarwasa ini, Indonesia menjadi salah satu pemasok pekerja migran terbesar di dunia.

BERITA
Senin, 24 Jun 2013 14:46 WIB


PRT, kovenan, pekerja rumah tangga, migrant care
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai