Bagikan:

Otonomi Demi Kemajuan Kampus

BERITA

Jumat, 07 Jun 2013 14:40 WIB

Otonomi Demi Kemajuan Kampus

UU Pendidikan Tinggi, UU No 12 Tahun 2012, otonomi kampus, Universitas Pattimura, UNPATTI

KBR68H, Ambon-Kaku, kurang berkualitas, tak punya keleluasaan dan tak inovatif adalah gambaran dari kebanyakan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Sebabnya adalah pengelolaan yang belum baik. Padahal perguruan  tinggi memegang peranan penting untuk menciptakan individu yang berkualitas dan cakap demi kemajuan bangsa.

Untuk menjadi perguruan tinggi yang berkualitas dan mampu bersaing dengan luar negeri memang tidak mudah.  Di berbagai negara maju, perguruan tinggi pemerintah mempunyai otonomi, termasuk otonomi dalam pengelolaan keuangan. Otonomi yang dimaksud adalah mempunyai keleluasaan dan mandiri dalam mengelola perguruan tinggi.

Ketua Bidang Sosial dan Politik BEM Universitas Pattimura, Ambon, Irsad Sopalatu membenarkan birokrasi yang sangat kaku sangat terasa di kampusnya yang masih berstatus Satuan Kerja Pemerintah (Satker). Kondisi ini berakibat pada minimnya kualitas pendidikan yang diberikan para dosen. Kampus juga dirasa jadi kurang transparan.

"Transparansi informasi yang diberikan entah dari pihak dosen, ataupun dari pihak mahasiswa sendiri, yang sebenarnya hanya ingin menggunakan satu metode dan ini metode paling lama mendapatkan informasi itu yaitu aksi atau demonstrasi," tutur Irsad dalam Diskusi Publik membahas UU Pendidikan Tinggi di auditorium Unpatti (30/05).

Upaya untuk meningkatkan standarisasi sesuai dengan aturan pemerintah terus dilakukan oleh hampir semua Perguruan Tinggi Negeri, namun tidak semua Perguruan Tinggi dapat mengimplementasikan sesuai dengan aturan pemerintah tersebut. Pengamat pendidikan Universitas Pattimura Fredy  Leiwakabessy, menyebut kualitas Perguruan Tinggi di setiap daerah tidaklah sama. Fredy mencontohkan kualitas dosen atau pengajar di setiap Perguruan Tinggi (PT).

"Tidak semua dosen memahami secara baik metodelogi pembelajaran. Karena memang latar pendidikan dan spesifikasi bidang ilmu di masing-masing fakultas dan program studi mereka lebih memahami substansi ilmu dibanding dengan metodelogi pembelajaran" kata Freddy dalam diskusi bertajuk ”Mencari Pola Pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri Ideal; Kajian Atas UU Pendidikan Tinggi.”

Birokrasi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
Tim Teknis Perancang Peraturan Pelaksanaan UU DIKTI, Hadi Shubhan membenarkan ruwetnya birokrasi menyebabkan pengelolaam Perguruan Tinggi tidak dapat maksimal. Undang-undang Pendidikan Tinggi lah yang membuka jalan perbaikan birokrasi dan pengelolaan perguruan tinggi. Peguruan Tinggi, khususnya PTN, dengan UU ini bakal mendapat otonomi yang luas dalam mengelola kampusnya.

Hadi menyebut ada beberapa kategori bentuk perguruan tinggi yang dapat dipilih oleh PTN sesuai dengan Undang-undang tersebut, agar tidak terjadi ketimpangan antara Perguruan Tinggi Negeri yang sudah maju dengan yang belum. "Mulai dari Satker (Satuan Kerja) murni, kemudian Satker BLU (Badan Layanan Umum)  dan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH)," tutur Hadi.

Birokrasi yang kaku, memberikan dampak tak baik kepada mahasiswa ataupun Perguruan Tinggi. Irsad mengatakan kualitas Perguruan Tinggi dapat terpengaruh. Fredy pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh Irsad. Sehingga selain otonomi perlu diberikan kepada Perguruan Tinggi, mereka juga harus memperbaiki kualitas pendidikan dalam lingkup internal mereka.

"Kalau kita ambil contoh misalnya, unit perpustakan di Pattimura harus fleksibel pengelolaannya. Dan saya pikir upaya untuk sistem jaringan dan mengakses informasi semakin terbuka. Ini aturan-aturan yang mesti dibenahi, kemudian kita tidak boleh terjebak dengan mengejar apa itu birokrasi yang kaku. Tetapi kita harus berupaya melihat kualitas pengelolaan yang harus dikembangkan, kualitas layanan, kebijakan" jelas Fredy.

Kontroversi UU DIKTI
Pembuatan dan pengesahan Undang-undang Perguruan Tinggi ini memang menuai kontroversi. Aturan ini dianggap sebagai bentuk komersialiasasi dan liberalisasi pendidikan. Fredy menyebut, anggapan tersebut muncul akibat ketidaktahuan masyarakat atau mahasiswa itu mengenai konsep keadilan dalam aturan tersebut.

Hadi menyebut pemberian otonomi secara luas ini diberikan melalui dua cara yakni dengan akademik dan non akademik. secara akdemik sudah dijalankan, namun secara non akademik, misalnya meningkatkan kualitas dosen belum dapat dijalankan oleh semua Perguruan Tinggi, disebabkan tidak semua Perguruan Tinggi negeri memenuhi syarat. Masyarakat juga tak perlu khawatir akan rentannya praktik korupsi dalam pemberian otonomi ini. Karena Pemerintah menegaskaan pelaksanaan otonomi tersebut diawasi secara ketat.

Irsad Sopalatu mengatakan sebagai wakil mahasiswa ia mendukung Undang-undang Pendidikan Tinggi bila bisa mengantarkan pada pengelolaan perguruan tinggi yang lebih baik. Tapi ia berharap pemerintah, masyarakat dan mahasiswa terus mengawasi jalannya UU ini.

Perbincangan ini hasil kerjasama KBR68H, Tempo TV, BEM Universitas Pattimura dengan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending